Mohon tunggu...
Enrique Justine Sun
Enrique Justine Sun Mohon Tunggu... Freelancer - Technical Information Student • Psychology and Philosophy Enthusiast • Organizational Activists

Jendela Pendidikan Merubah Masa Depan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kupas Tuntas Korupsi: Warisan Budaya atau Penyakit Politik???

15 Agustus 2024   16:21 Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Islam masuk dan berkembang di Nusantara, praktik korupsi tidak serta-merta hilang. Sistem pemerintahan Islam yang diadopsi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara juga tidak luput dari praktik korupsi. Pejabat-pejabat agama pun tidak jarang terlibat dalam praktik yang tidak etis ini.

Masa Kolonial: Korupsi Sistematis

Kedatangan penjajah Belanda ke Nusantara membawa sistem pemerintahan yang koruptif. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik dan eksploitatif. Pejabat-pejabat kolonial seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, seperti melakukan pungutan liar, menjual jabatan, dan mengeksploitasi sumber daya alam. Rakyat pribumi pun tidak luput dari praktik korupsi, terutama dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam.

Faktor-faktor yang Mendorong Korupsi di Masa Lalu:

  • Sistem pemerintahan yang sentralistik: Kekuasaan terpusat pada penguasa atau kolonial, sehingga pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan menjadi lemah.
  • Lemahnya hukum dan penegakan hukum: Tidak adanya sistem hukum yang kuat dan konsisten membuat pelaku korupsi sulit untuk dihukum.
  • Orientasi pada kekuasaan dan kekayaan: Nilai-nilai budaya yang mengutamakan kekuasaan dan kekayaan mendorong orang untuk melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk korupsi.
  • Kesenjangan sosial yang tinggi: Kesenjangan sosial yang besar antara penguasa dan rakyat menciptakan ketidakadilan dan mendorong terjadinya praktik korupsi.

Masa Kolonial dan Korupsi

Masa kolonialisme Belanda di Indonesia adalah periode yang sangat kelam bagi sejarah bangsa Indonesia. Selain eksploitasi sumber daya alam yang masif, sistem pemerintahan kolonial juga sarat dengan praktik korupsi yang sistematis. Pejabat-pejabat kolonial, baik yang berasal dari Belanda maupun pribumi yang menjadi kaki tangannya, seringkali menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.

Salah satu bentuk korupsi yang paling menonjol adalah pungutan liar. Rakyat dipaksa membayar berbagai jenis pajak dan retribusi yang tidak jelas peruntukannya. Selain itu, praktik jual beli jabatan juga marak terjadi. Jabatan-jabatan penting seringkali diberikan kepada mereka yang mampu membayar sejumlah uang suap. Praktik nepotisme juga menjadi hal yang lumrah, di mana keluarga dan kerabat pejabat kolonial diberikan berbagai fasilitas dan keuntungan.

Sistem kontrak kerja yang diterapkan oleh pemerintah kolonial juga rentan terhadap praktik korupsi. Kontrak-kontrak proyek seringkali diberikan kepada perusahaan-perusahaan Belanda atau kepada pengusaha pribumi yang memiliki hubungan baik dengan pemerintah kolonial. Proses tender yang tidak transparan dan adanya kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha membuat praktik korupsi semakin merajalela.

Dampak Korupsi pada Masa Kolonial

Praktik korupsi yang meluas pada masa kolonial memiliki dampak yang sangat buruk bagi masyarakat Indonesia. Korupsi menyebabkan kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Selain itu, korupsi juga menghambat perkembangan ekonomi dan sosial di Indonesia.

Warisan Korupsi Masa Kolonial

Praktik korupsi yang terjadi pada masa kolonial meninggalkan warisan yang buruk bagi bangsa Indonesia. Budaya korupsi yang sudah tertanam dalam masyarakat sulit untuk dihilangkan dalam waktu singkat. Selain itu, struktur pemerintahan yang dibangun oleh pemerintah kolonial juga rentan terhadap praktik korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun