Mohon tunggu...
Marfu Muhyiddin
Marfu Muhyiddin Mohon Tunggu... profesional -

MindMapper, Presenter, Writter, Public Speaker, Islamic Studies, Creative Teaching, Owner www.marfu78.com dan www.blogmindmap.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

5 Kesalahan dalam Penerapan Pendidikan Karakter

11 November 2013   20:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:17 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah penerapan pendidikan karakter di sekolah sudah sesuai dengan konsep dan teorinya?

Kenakalan remaja lagi-lagi mencoreng wajah pendidikan nasional.   Maraknya  tawuran antar pelajar, bullying senior kepada yunior di sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku tak bermoral lainnya adalah corengan-corengan yang paling mengguratkan hitam. Saling menyalahkan pun terjadi antara berbagai pihak. Sekolah dituding mandul membentuk karakter siswa. Orang tua dituduh abai dalam mengawasi anak di luar jam sekolah. Pemerintah dianggap paling bersalah karena kebijakan kurikulum yang hanya berorientasi pada intelektual bukan emosional dan spiritual. Dan seterusnya saling menyalahkan tak kunjung berhenti sampai hari ini.

Semua tentu bersedih, kecewa, bahkan marah dengan fenomena menyedihkan ini. Sebagai bentuk evaluasi dan reformasi pendidikan, pemerintah telah menetapkan pendidikan karakter sebagai program nasional yang harus diterapkan pada seluruh level pendidikan. Maka pendidikan karakter pun menjadi buah bibir. Serta merta sekolah-sekolah dari kota sampai pelosok beramai-ramai menerapkan pendidikan karakter. Namun, alih-alih meredam gejala karakter buruk dan destruktif pada para pelajar, wajah pendidikan nasional justru kian coreng moreng. Bukan sekadar tawuran, bahkan nyawa siswa yang lenyap sia-sia menjadi pemandangan dan berita yang lebih dari sekadar memilukan.

Rupanya, penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah hanya mengikuti trend, tidak dibarengi dengan konsep kurikulum yang jelas serta pemahaman guru yang komprehensif. Setidaknya, penulis mencatat kesalahkaprahan berikut ini dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah.

Pertama, Penerapan pendidikan karakter tidak diawali dengan perumusan yang jelas dan tegas tentang karakter inti yang akan dibangun atau dikehendaki oleh sekolah. Dalam diskursus pendidikan karakter ini disebut dengan core values. Ketika ditanya, ”karakter apa  yang akan dibangun?” banyak sekolah kebingungan menjawabnya. Atau menjawab dengan jawaban yang ngambang dan bias. demikian pula dengan pemerintah melalui Depdiknas yang juga terlalu luas dan akhirnya tidak pasti ketika menetapkan 18 karakter yang harus dimiliki siswa. Konsep yang tidak jelas dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan karakter. Dalam rumusan 18 tersebut hal yang sebenarnya bukan karakter dalam konteks pendidikan karakter masih dijejalkan dengan paksa.

Pada sisi ini harus diakui, Depdiknas, kemudian sekolah, dan para guru tidak memiliki kualitas untuk memahami konsep dan kurikulum pendidikan karakter. Seharusnya, sekolah memiliki otonomi untuk merumuskan karakter inti yang akan dibangunnya, bukan dipaksa harus menerapkan 18 karakter yang terlalu bias dan mengambang tersebut. Misalnya, sekolah A menetapkan akan membangun karakter berikut: Jujur, Santun, Peduli, dan Tanggung Jawab. Setiap sekolah boleh menetapkan karakter inti yang berbeda.

Kedua, pendidikan karakter tidak diawali dengan promosi program kepada pengguna jasa pendidikan dan stakeholder. Dalam hal ini adalah orang tua, masyarakat, korporasi/instansi, dan pemerintah. Setelah melakukan perumusan yang jelas dan tegas secara otonom, sekolah semestinya mempromosikan karakter inti yang akan dibangun itu, terutama kepada orang tua siswa. “Ini lho karakter yang akan dibangun di sekolah kita. Bapak/Ibu silakan mengawasi dan mengevaluasi apakah karakter ini nantinya muncul dalam diri anak-anaknya atau tidak. Tolong bantu dan kawal kami dalam program ini.” Demikian misalnya, ditegaskan oleh kepala sekolah kepada orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah.

Tanpa promosi karakter, pendidikan karakter hanya akan menjadi tanggung jawab sekolah belaka padahal tidak demikian adanya. pendidikan karakter adalah tanggung jawab semua. Tanpa promosi pula bahkan tidak mustahil pendidikan karakter hanya lipstik belaka.

Ketiga, ini adalah kesalahan paling umum yang dilakukan para guru. Setiap kali mendengar kata pendidikan maka yang tersirat dibenaknya adalah mata pelajaran. Atau dengan kata lain, pendidikan diidentikkan dengan mata pelajaran. Pendidikan lingkungan hidup dipahami sebagai mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup (PLH), pendidikan keselamatan lalu lintas diartikan mata pelajaran keselamatan lalu lintas, pendidikan anti korupsi ditafsirkan mata pelajaran pendidikan anti korupsi. Begitupan pendidikan karakter dianggapnya sebagai mata pelajaran baru. Kesalahan ini tentu akibat dari ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap pendidikan karakter. Akhirnya menjadi semakin gemuklah daftar nama mata pelajaran dan beban belajar anak di sekolah.

Sejatinya, pendidikan karakter adalah sebuah program bukan mata pelajaran. Sebagai program, pendidikan karakter semestinya merasuki, mewarnai, dan menjiwai seluruh komponen dan istrumen pendidikan di sekolah. Maka sejatinya, semua guru adalah guru karakter. Semua kegiatan adalah kegiatan karakter. Semua staf adalah staf karkater. Semua pemandangan adalah pemandangan karakter. Hingga pembantu sekolah dan tukang jualan pun memiliki peran karakter.

Keempat, menurut saya ini adalah kesalahan paling menggelikan. Dengan dalih integrasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, maka dibuatlah kebijakan Silabus dan RPP berbasis karakter. Isinya, 18 karakter amanat pemerintah harus dicantumkan dalam Silabus dan RPP. Banyak guru dan kemudian sekolah merasa telah menerapkan pendidikan karakter dengan cara ini. Padahal bila dikaji dan ditelaah secara seksama pencantuman 18 karakter tersebut sama sekali tidak menyiratkan integrasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran. Sangat  mudah dan instan, cukup dengan menambahkan komponen “Karakter Yang Dibentuk” pada RPP. Selesai.

Bila yang dimaksud adalah integrasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran atau ke dalam kegiatan belajar mengajar, maka seharusnya karakter inti yang dibangun sekolah itu termuat secara menyatu dengan indikator atau tujuan pembelajaran, bukan  sebagai daftar khusus yang sekadar tempelan. Sebab  pada indikator dan tujuan belajar itulah hasil belajar diukur.

Kelima, tidak dipahami secara utuh perbedaan karakter dengan kebiasaan, keterampilan, dan kompetensi. Dalam 18 rumusan karakter amanat Depdiknas keempat hal yang berbeda bercampur aduk. Karakter dalam diskursus pendidikan karakter setidaknya harus memenuhi dua syarat berikut: 1) berupa perilaku atau sikap yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan orang lain. Maka membaca bukan karakter sebab itu hanya bersifat internal tidak untuk berinteraksi; 2) sikap tersebut bersifat universal dan transenden. Artinya bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat melampaui perbedaan suku, ras, dan agama. Maka cium tangan misalnya bukan karakter sebab bagi suku tertentu mungkin tidak berlaku. Aspek karakter bukan pada cium tangan tetapi pada sikap hormat. Sebab suku, ras, dan agama apapun sama-sama mengajarkan sikap hormat.

Nah, apakah menurut Anda masih ada kesalahan lainnya?

Sumber tulisan:

http://www.marfu78.com/masalah-dalam-penerapan-pendidikan-karakter.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun