Sabtu, 1 Februari 2014
Akhirnya pagi datang juga. Tidur saya semalam tidaklah nyenyak. Awalnya sih nyenyak, sebelum saya menyadari ada yang mendengkur hebat di kamar ini. Astaga, dengkuran orang itu keras sekali. Saya berkali-kali terbangun karenanya. Resiko menginap di dormitory, kita tak tahu sebelumnya teman sekamar bakal seperti apa kebiasaannya, dan mesti siap menerima segala keburukannya. Ya sudahlah. Yang penting sekarang sudah pagi, dan semoga hari ini dia check out, karena saya masih ada satu malam di sini.
Perjalanan pertama hari ini adalah ke Little India, yang sebenarnya saya jadwalkan di hari pertama namun batal. Dengan menggunakan MRT, Little India tidak terlalu jauh dari Chinatown. Saya turun di stasiun MRT Ferrer Park. Jalanan di sekitar stasiun agak lengang. Lantas saya berjalan mencari Serangoon Road yang merupakan jalan utama di Little India. Di sebuah sudut perempatan Serangoon Road, terdapat Masjid Angullia. Bagi saya, di sebuah negara dimana Islam bukan menjadi mayoritas seperti Singapura, objek masjid selalu menjadi menarik. Desain Masjid Angullia cukup sederhana, tidak banyak ornamen, cenderung masif sebagaimana bangunan-bangunan khas padang pasir.
[caption id="attachment_354444" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Angullia"][/caption]
Di seberang Masjid Angullia, geliat bisnis di Little India mulai terasa. Salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Little India adalah Mustafa Centre yang buka 24 jam. Saya masuk ke dalamnya. Segala macam barang dijual disini, dari pakaian, jam tangan, sepatu, kebutuhan sehari-hari, sampai alat elektronik juga ada. Ada yang menggelitik saya ketika melihat-lihat tempat jualan CD/DVD. Ada banyak DVD film horror Indonesia yang dijual disini. Yang pasti semuanya original. Dan yang membuat saya terkejut, ada DVD serial Cinta Fitri berbagai season yang dijual dalam puluhan seri DVD. Bahkan saya belum pernah melihatnya di Jakarta.
[caption id="attachment_354445" align="aligncenter" width="300" caption="Mustafa Centre"]
[caption id="attachment_354446" align="aligncenter" width="300" caption="DVD Serial Cinta Fitri di Mustafa Centre"]
Keluar dari Mustafa Centre, saya mencari tempat makan yang menjual menu khas kawasan ini. Walau demikian, saya masih memperhitungkan kira-kira bakal doyan atau tidak. Maklum, lidah saya kurang adaptif terhadap makanan-makanan luar Indonesia. Pilihan saya jatuh pada ABM Restaurants yang terletak di samping Mustafa Centre. Melihat menunya, saya sudah agak keder, bakal tertelan atau tidak. Apalagi saya tidak menyukai menu-menu daging kambing yang sepertinya dominan disini, plus bumbu kuahnya yang sangat menyengat. Akhirnya saya mencari amannya saja, memesan nasi briyani dengan lauk ikan dan telur. Saya kira menu ini bisa mengakomodasi rasa penasaran terhadap masakan India, namun tetap memelihara lidah saya. Hehehe. Nasi briyani kurang lebih hampir sama dengan nasi kuning di Indonesia, hanya saja menggunakan beras yang bentuknya lebih lonjong. Dan porsi yang disuguhkan sungguh besar. Saya meminta penjualnya untuk mengurangi nasi hingga setengahnya. Nasi briyani ini dilengkapi dengan kuah dan potongan sayur semacam acar. Bagi saya, rasa kuahnya terlalu tajam. Jadinya, saya hanya menuangkan sedikit saja di atas nasinya. Total harganya sekitar 10 SGD termasuk minuman teh tarik dingin.
[caption id="attachment_354447" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi Briyani"]
Saat sedang makan, ada seorang laki-laki yang menghampiri saya. Dia adalah warga lokal Singapura keturunan India. Dia bergabung di meja saya dengan hanya memesan segelas minuman. Rupanya dia sudah mengenal pemilik restoran, dan berada di dalam restoran karena sedang menunggu orang. Usianya kurang lebih 50 tahun. Mengetahui saya datang dari Jakarta, dia juga bercerita mempunyai pengalaman dengan Jakarta. Dia pernah bertanding sepak bola di Senayan. Ya, dia adalah mantan pemain sepak bola Singapura tahun 80an, dan sekarang menjadi pemilik restoran di Little India juga. Kami saling bercerita. Menarik juga bisa bercakap-cakap panjang lebar dengan orang lokal, apalagi dia bisa berbahasa Melayu, jadi lidah saya tak perlu belibet karena mesti bicara bahasa Inggris.
[caption id="attachment_354449" align="aligncenter" width="300" caption="ABM Restaurants"]
Saya melanjutkan perjalanan di sepanjang Serangoon Road yang didominasi pertokoan. Ada sejumlah kuil Hindu juga disini. Saya mencari Masjid Abdul Gafoor yang letaknya di Dunlop Street. Alhamdulillah ketemu. Berbeda dengan Masjid Angullia, Masjid Abdul Gafoor ini lebih berornamen. Arsitekturnya khas Asia Selatan dengan warna yang mencolok.
[caption id="attachment_354450" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Abdul Gafoor"]
Inilah bagian dari Singapura bercita rasa India. Dari orang-orangnya, makanannya, bangunannya, suasananya, semua cukup mewakili India. Puas berkeliling di Little India, sudah saatnya untuk meninggalkan kawasan ini. Secara keseluruhan, saya telah berjalan kaki lumayan jauh. Tadi perjalanan saya berawal dari stasiun MRT Ferrer Park, sekarang berada di stasiun MRT Little India untuk melanjutkan perjalanan. Yup, menjadi backpacker mesti memiliki fisik kuat untuk sanggup berjalan kaki jauh. Tujuan saya selanjutnya adalah Kampong Glam di daerah Bugis.
[caption id="attachment_354451" align="aligncenter" width="300" caption="Little India (1)"]
[caption id="attachment_354452" align="aligncenter" width="300" caption="Little India (2)"]
[caption id="attachment_354453" align="aligncenter" width="300" caption="Little India (3)"]
Begitu keluar dari stasiun MRT Bugis, pemandangan berupa gedung-gedung modern langsung menyambut. Meski demikian, ruang-ruang terbuka di kawasan ini juga mudah dijumpai. Inilah yang membuat jalan kaki menjadi menyenangkan karena jalanan terasa luas. Selain Kampong Glam-nya, daerah Bugis juga dikenal sebagai pusat perbelanjaan. Ada Bugis Junction, Bugis Village, dsb. Saya tak berminat berkeliling ke tempat-tempat belanja, jadi langsung menuju ke Kampong Glam.
[caption id="attachment_354454" align="aligncenter" width="300" caption="Bugis Junction"]