Mohon tunggu...
Ruaida Halim
Ruaida Halim Mohon Tunggu... -

There is Nothing Special

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesta Meriah Pengundang Bencana

11 Maret 2016   08:58 Diperbarui: 11 Maret 2016   09:07 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Anakmu, payah. Kalau dia terus menghalangi, kau tidak dapat uang!” kata si brewok berbisik pada ayah. Kumisnya naik turun seiring hembusan keras dari rokok kreteknya. Dasar! Dia pikir aku tidak mendengar hasutan jahatnya.

“Hanya sedikit, kok. Tidak banyak. Percayalah, Mir!”

Kata-kata ayah benar-benar membuatku marah. Sedikit? Tidak banyak? Apakah ada yang pernah menghitung? Apakah mereka pernah menanam kembali pohon-pohon yang sudah mereka tebang? Miris. Dadaku tiba-tiba sesak. Terdengar jelas kicauan burung-burung kecil, gaduh,  riuh memecah sunyi . Terbayang tupai-tupai yang berlari ketakutan mencari tempat berlindung, seperti tontonan sirkus kelas dunia. Mendebarkan. Seperti dihantam godam ratusan kilo, kepalaku pusing. Berputar-putar. Angka-angka fantastis pun menari erotis di pelupuk mata.

Pada November kali ini, ada 150 calon anggota legislatif yang maju dalam pesta demokrasi yang diusung oleh 15 partai untuk 30 desa. Setiap partai mengajukan 10 calon yang akan duduk sebagai wakil rakyat di DPRD. Untuk satu baliho membutuhkan sepuluh batang perancah, satu spanduk, tiga batang. Satu bendera, satu batang dan satu buah umbul-umbul sebanyak satu batang.

Kayu perancah yang dihabiskan oleh partai untuk baliho, spanduk, bendera dan umbul berjumlah 10.800 batang. Angka ini jumlah dari baliho 4.500 batang (10 batang x 15 partai x 30 desa), spanduk 1.350 batang (3 batang x 15 partai x 30 desa), bendera 450 batang (1 batang x 15 partai x 30 desa) dan umbul-umbul 4.500 ( 10 buah x 15 partai x 30 desa). Sedangkan untuk para caleg, kayu yang dipakai berjumlah 2.550 batang yang berasal dari baliho 1.500 batang ( 10 batang x 150 caleg ), spanduk 450 batang (3 batang x 150 caleg), bendera 300 batang (1 batang x 2 buah x 150 caleg) dan umbul-umbul 300 batang (1 batang x 2 bh x 150 caleg). Total kayu yang terpakai adalah 13.350 batang.

Wow, inikah yang sedikit? Inikah yang namanya tidak banyak? Dalam kurun waktu 5 tahun, 13.350 batang kayu di tebang, dibinasakan secara “legal”. Ini belum seberapa. Angka yang di dapat hanya dari pemilihan caleg. Bagaimana jika ditambah dengan pemilihan bupati, gubernur bahkan sampai pemilihan presiden yang tentu saja memiliki jadwal yang berdekatan. Bahkan, yang lebih gila dan mencengangkan adalah pemilihan-pemilihan tersebut berada dalam kurun waktu 5 tahun itu. Kapankah pembantaian ini berakhir? Bilakah kekejaman terhadap alam ini berhenti? Apakah yang terjadi dengan hutan dan pantai kita jika ini dibiarkan terus menerus? Gersang dan tandus, ya! Langganan bencana, ya. Padahal setiap pohon membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tumbuh sempurna. Belum sempat besar, dibabat. Belum sempat tinggi, ditebang. Lalu, hutan yang menjadi bagian paru-paru bumi, paru-paru kehidupan dunia, hutan yang mana? Hutan maya?

Setelah pesta berakhir, rongsokan kayu tak berguna ini melapuk buruk di mamah waktu. Sebagian masyarakat meminta untuk dijadikan kayu bakar. Selebihnya terbuang sia-sia. Tak bisa dijadikan pagar karena pendek, tak dapat digunakan sebagai bahan bangunan sebab sudah terpotong-potong.

Kemudian bencana datang tanpa memberi salam. Banjir bandang menyapu rata material yang menghadang. Yang mati, banyak. Manusia, hewan ternak dan tanaman tumpas. Rumah, sekolah, kantor dan tempat ibadah rusak parah. Semua mengalami kerugian yang sangat besar.

Diskusi saling menyalahkan pun menjamur di radio, di televisi, di warung kopi, di halte-halte, di kantor-kantor pemerintah, di lorong-lorong jembatan hingga di komplek perumahan elit. Ketika bencana sudah dialami, saat musibah sudah di telapak tangan, semua langsung sepakat jika penggundulan hutan harus dihentikan. Lho, aksi demonstrasi kemarin itu panggung komedikah? Cuma lucu-lucuan? Protes keras di radio apakah hanya seperti lagu lawas yang membosankan? Spanduk-spanduk itu, apakah serupa surat cinta anak pubertas? Tak bermakna? Tak berarti?

*

Jam sudah menunjuk ke angka sembilan dan ayah belum pulang. Was-was pun  menjalari lekuk alam pikirku. Jangan-jangan ayah mabuk lagi bersama si gendut itu. Pastilah ayah berjudi di rumah Ko Atiam. Ah, semoga saja tidak. Baru saja aku menutup jendela depan yang kacanya pecah dihantam badai kemarin, bunyi nyaring klakson terdengar dua kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun