Mohon tunggu...
Miduk Theresia
Miduk Theresia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Sanata Dharma

Saya seorang mahasiswa S1 Psikologi yang tertarik pada isu-isu kesehatan dalam lingkungan sosial dan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bukan Mistis, Bukan Gila, lalu Sebenarnya Epilepsi Itu Apa?

20 April 2023   23:11 Diperbarui: 21 April 2023   11:50 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Otak manusia terdiri dari milyaran sel neuron yang berkomunikasi dengan cara saling bertukar bahan kimia satu sama lain. Pada proses pertukaran bahan kimia pada sel otak, otak menghasilkan muatan listrik (aktivitas listrik). Ledakan tiba-tiba akibat aktivitas listrik di otak ini merupakan kondisi kejang yang dapat menyebabkan seseorang mengalami sensasi atau gerakan baru. Kejang yang berulang merupakan gejala atau tanda dari seseorang mengalami epilepsi.

Epilepsi mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Meskipun demikian, banyakdi antara kita belum memahami secara pasti apa itu epilepsi. Ketidakpahaman inilah yang memicupandangan dan stigma yang buruk terhadap penderita epilepsi di Indonesia bahkan di dunia. 

Pada beberapa negara masih ditemukan adanya kesalahpahaman, diskriminasi, serta masih adanya stigmasosial yang negatif terhadap penderita epilepsi (Maryanti, 2016). Bahkan dalam beberapa budaya didunia, epilepsi sering diartikan sebagai pengalaman spiritual dan identik dengan masalah kejiwaan. DiIndonesia sendiri, epilepsi biasa dikenal sebagai "ayan". Masih banyak masyarakat Indonesia yangmengira dan berasumsi bahwa epilepsi bukanlah suatu kondisi penyakit atau masalah kesehatan,melainkan masuknya roh jahat, kesurupan, guna-guna atau suatu kutukan (Maryanti, 2016).Berdasarkan kesalahpahaman ini, penting bagi diri kita untuk meningkatkan pemahaman terkaitkondisi medis epilepsi secara lebih dalam dan luas.

Pengertian Epilepsi
Dilansir dari World Health Organization (WHO), terdapat 50 juta kasus epilepsi di dunia. Di Indonesia, prevalensi kasus epilepsi sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk dengan angka insiden 50 per 100.000 penduduk. Ada 1,8 juta pasien epilepsi yang diperkirakan membutuhkan pengobatan. Lantas, apa sih pengertian dari epilepsi? 

Menurut Gyutin dan Hall (dalam Yunita, 2017) Epilepsi merupakan penyakit neurologi yang terjadi secara menahun. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal usia, gender, ras, sosial dan ekonomi. Epilepsi juga merupakan koleksi gangguan fungsi otak yang beraneka ragam atau disebut badai listrik yang terjadi di otak (Lukas, 2016). Hal ini sejalan dengan FK-KMK UGM (2022) yang menyatakan bahwa epilepsi merupakan gangguan sel otak akibat dari aktivitas kelistrikan yang berlebihan. Jadi dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit
neurologi yang bisa menyerang siapa saja yang gangguannya terjadi di sel otak akibat dari badai listrik di otak.

Epilepsi pada umumnya ditandai dengan kejang-kejang secara tiba-tiba. Secara umum kejang dibagi menjadi dua tipe yaitu, kejang kejang umum dan kejang parsial. Tipe kejang umum adalah kejang yang mempengaruhi otak secara menyeluruh. Jenis kejang umum yang paling sering dijumpai adalah kejang tonik-klonik yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran, otot menjadi kaku, dan bahkan hilangnya kendali terhadap beberapa fungsi tubuh. Lalu ada tipe kejang parsial, yaitu kejang yang hanya mempengaruhi sebagian otak.

Salah satu jenis kejang parsial adalah kejang parsial sederhana. Kejang parsial sederhana terjadi dalam kondisi sadar dan seringkali digambarkan sebagai suatu aura. Kejang ini menimbulkan gejala seperti mencium atau merasakan sesuatu yang tidak biasa dan melihat kedipan cahaya. Kemudian jenis kejang parsial lainnya adalah kejang parsial kompleks, yang dimana kejang ini dapat menimbulkan gejala seperti memandang dengan tatapan kosong serta menjadi tidak responsif terhadap lingkungan sekitar.

Penyebab Epilepsi
Berdasarkan jurnal Laily Irfana (2018) penyebab epilepsi dibagi menjadi tiga yaitu:
1.  Idiopatik: epilepsi terjadi ketika tidak adanya lesi struktural pada otak atau terjadinya defisit neurologik. Pada kategori ini, individu kemungkinan memiliki predisposisi genetik
dan biasanya berhubungan dengan usia.
2.  Kriptogenik: kondisi yang sering dianggap sebagai simtomatik namun belum diketahui penyebabnya.
3.  Simtomatik: epilepsi terjadi karena kelainan/lesi struktural pada otak seperti cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, serta kelainan degeneratif.                                                          

Dampak Epilepsi
Adapun dampak dari penyakit epilepsi yaitu munculnya gangguan kognitif pada penderita epilepsi atau yang dikenal dengan epileptogenesis yang dapat mempengaruhi aktivitas perkembangan otak yang normal seperti maturasi kanal ion dan reseptor, synaptic pruning, serta dendritic and axonal refinement.

 Gangguan fungsi kognitif pada orang dengan epilepsi bisa saja terjadi akibat dari epilepsi itu sendiri atau sebagai efek samping dari obat anti epilepsi yang diberikan (Luvina Syakina, 2020). Selain itu ada dampak psikososial terhadap penderita epilepsi yang dimana beberapa dari mereka sering merasa terstigmatisasi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan bias sosial budaya terhadap epilepsi, sistem kesehatan ,dan jumlah ketentuan perawatan, ketentuan kesempatan yang sama, dan perlindungan hukum bagi penderita epilepsi (Jacoby, 2005).

Penanganan Epilepsi
Lalu bagaimana cara untuk mengobati dan menangani kondisi epilepsi ? Obat anti epilepsi menjadi sarana penanganan yang tepat dalam mengurangi gejala kejang pada penderita epilepsi. Namun, hampir sebagian besar obat anti epilepsi memiliki efek samping serupa yaitu penurunan atau gangguan fungsi kognitif (Syakina & Hawari, 2020). Lalu ada pula penanganan berupa pertolongan yang dapat kita berikan pada pasien epilepsi saat gejala kejang kambuh. 

Bila menemukan pasien kejang atau penderita epilepsi di tempat umum, anda dapat mengamankan bagian tubuh seperti kepala pada penderita epilepsi dengan menggunakan media yang empuk seperti bantal atau jaket tebal. Berikan ruang kepada orang tersebut dan longgarkan benda atau pakaian di sekitar area pernapasan terutama di sekitar leher. Selain itu, jangan menahan gerakannya dan temani hingga orang tersebut sadar kembali. Jika selama 2-3 menit pasien tidak kembali sadar, maka segera minta penanganan dan pertolongan dari tenaga medis ahli atau dokter.

Melalui pembahasan ini dapat kita simpulkan bersama bahwa, epilepsi bukanlah suatu penyakit yang berkaitan dengan pengalaman spiritual bahkan identik dengan perilaku yang merujuk terhadap ketidakwarasan pada diri seseorang melainkan penyakit neurologis pada otak. Epilepsi dapat diderita oleh siapa saja, mengingat penyakit ini terjadi karena masalah aktivitas listrik di otak manusia. Melalui pemahaman ini kita dapat menghapus stigma buruk dan peduli epilepsi dengan menciptakan lingkungan yang bersifat positif dan suportif untuk penderita epilepsi.

Daftar Pustaka
Andrianti, P. T., Gunawan, P. I., & Hoesin, F. (2016). Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan
Pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2013. Sari Pediatri, 18(1), 34-39.
Gunawan, D. P. (2014). Gambaran tingkat pengetahuan masyarakat tentang epilepsi di kelurahan
mahena kecamatan tahuna kabupaten sangihe. e-CliniC, 2(1).
Irfana, L. (2018). Epilepsi Post Trauma Dengan Gejala Psikotik. Medical and Health Science
Journal, 2(2), 47–54. https://doi.org/10.33086/mhsj.v2i2.589
Jacoby, A., Snape, D., & Baker, G. A. (2005). Epilepsy and social identity: the stigma of a
chronic neurological disorder. The Lancet Neurology, 4(3), 171-178.
Kerr, M., Gil‐Nagel, A., Glynn, M., Mula, M., Thompson, R., & Zuberi, S. M. (2013).
Treatment of behavioral problems in intellectually disabled adult patients with epilepsy.
Epilepsia, 54, 34-40.
Lukas, A., Harsono, H., & Astuti, A. (2016). Gangguan kognitif pada epilepsi. Berkala Ilmiah
Kedokteran Duta Wacana, 1(2), 144-152.
Maryam, I. S., Wijayanti, I. A. S., & Tini, K. (2018). Karakteristik Klinis Pasien Epilepsi Di
Poliklinik Saraf Rsup Sanglah Periode Januari–Desember 2016. Callosum Neurology, 1(3),
91-96.
Syakina, L., & Hawari, I. (2020). Pengaruh fungsi kognitif terhadap kualitas hidup orang dengan
epilepsi pada Komunitas Peduli Epilepsi Indonesia di Depok periode November
2017–Maret 2018. Tarumanagara Medical Journal, 2(1), 110-116.
Universitas Gajah Mada (UGM). (2022). Kenali penyebab dan penanganan epilepsi. (diunduh 8
april 2023). Tersedia dari
https://fkkmk.ugm.ac.id/kenali-penyebab-dan-penanganan-epilepsi/
World Health Organization (WHO). (2023). Epilepsy. [diunduh 8 april 2023]. Tersedia dari:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy
Wulan Maryanti, N. C. (2016). Epilepsi dan Budaya. Buletin Psikologi, 24(1), 23.
https://doi.org/10.22146/bpsi.16358
Yunita, M. M. (2017). Penerapan Rational Emotive Behavior Therapy (Rebt) Untuk
Meningkatkan Psychological Well-Being Pada Penderita Epilepsi Grandmal. Psibernetika,
9(2). https://doi.org/10.30813/psibernetika.v9i2.470 

Penulis : Amelia Puspa Widyaningrum, Miduk Theresia Lumbantobing, Gabriela Kinanti Chrisandari, Sagung Ayu Ananda Winantari, Josafat Airell Abimanyu, dan Benedicta Marsellina Putriantoro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun