Dialog Ben dan Ti
Halaman sekolah itu begitu luas, rapi, bersih, dan asri. Tetapi lama sekali halaman itu menjadi sepi, setelah corona datang menghantui. Tak ada lagi kaki yang sibuk berlari kesana-kemari. Dalam hening sepinya hari, terdengar dialog dari hati antara Ben dan Ti.
"Ti, tahu nggak kok aku dikerek terus setiap hari? Apa sih maksudnya?"
"Ya biar kamu berkibar terus Ben."
"Untuk apa berkibar terus?"
"Ya biar orang tahu."
"Tahu apa?"
"Ya tahu bahwa kamu masih ada."
"Terus?"
"Terus apaan?"
"Kalau sudah tahu gimana?'
"Ya gak gimana-gimana."
"Jadi untuk apa aku di sini?"
Ben mulai meradang. Pertanyaannya yang serius ditanggapi dengan tidak serius oleh Ti. Ia geram. Tubuhnya yang bergoyang-goyang oleh angin sengaja dipukul-pukulkan ke badan Ti.
"Hai Ben. Ngapain kamu ini?"
"Nggak ngapa-ngapain."
"Kok kamu gitu sih sama aku?"
"Gitu gimana?"
"Nah itu, dari tadi badanku kau pukuli."
"Ini kan bukan kehendakku sendiri."
"Jadi kehendak siapa?"
"Ya kehendak dia."
"Dia siapa?"
"Entah."
Gantian Ti yang merengut, merasa dicuekin oleh Ben.
Suasana menjadi hening. Ben diam. Ti tak mengeluarkan suara apapun. Masing --masing sibuk dengan ingatannya. Ben ingat tangan-tangan kecil yang pernah menatangnya hingga ia sampai di puncak. Ada Ari, Ira, Adi, Susi, Sofi. Masih banyak lagi nama yang pernah menyentuh dirinya. Lama sekali mereka tak menyentuh Ben.
Ia juga ingat dengan Dina yang pernah melakukan kesalahan terhadap dirinya. Dina pernah membuat dirinya terbalik. Bukan lagi merah putih, tetapi putih merah. Waduh...saat itu Ben merasa pusing tujuh keliling. Padahal Ben itu 100 persen Indonesia, nah kalau dibalik apa jadinya.
Ben kasihan denga Dina. Wajahnya yang putih semakin memutih karena takut dimarahi bu guru. Â Tetapi untunglah hal itu tak terjadi. Bu guru dengan sigapnya membantu Dina untuk membetulkan letak Ben yang tebalik. Senyum bu guru itu lho yang membuat wajah Dina adem.
"Ti, kamu kok diam saja. Melamun ya?"
"Iya."
Ternyata Ti juga melamun. Ia ingat sama anak-anak yang suka iseng. Yang sering memukul-mukul dirinya dengan pensil. Kalau dipukul memang Ti bisa mengeluarkan suara yang nyaring, tetapi sakitnya itu lho, membuat badannya tak utuh lagi. Ti ingin membalasnya tetapi itu tak bisa ia lakukan. Maka Ti diam saja, sampai pada akhirnya bu guru menyuruh anak itu berhenti memukul dirinya. Ti lega....ia tak sakit lagi.
"Ti, sudah selesai belum melamunnya?'
"Sudah."
Ben dan Ti sudah selesai melanglang dunia lamunan mereka masing-masing. Â Tetapi mereka tetap diam membisu. Karena sebenarnya masing-masing menyimpan rindu. Rindu mendengar celoteh mulut-mulut mungil pemilkik masa depan itu. Mereka yang dari pertengahan bulan Maret tak datang lagi ke sekolah ini telah membuat diri Ben dan Ti kesepian. Tak pernah didengar lagi suara menghentak "Hormat grak!". Tak pernah lagi didengarnya lagu kebangsaan berkumandang mengiringi Ben mengangkasa. Tak pernah lagi ada anak yang memeluk Ti atau memukul-mukulnya. Semua tak ada. Sepi. Ben dan Ti termenung sambil berharap kapan akan ada upacara bendera di halaman yang luas ini. Ben dan Ti tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Namun mereka tetap berharap dan selalu berharap.
(Ben, bendera. Ti, tiang bendera)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H