Karto menarik nafas dalam. Sebentar -- sebentar pria setengah baya itu memperbaiki posisi duduknya di kursi tunggu. Raut gelisah terpancar dari wajahnya, keringat dingin mulai turun dari pinggiran kepalanya, lantas ia pun menyekanya dengan tangan kirinya. Sementara di tangan kanan yang mulai basah Karena keringat itu, digenggamnya selembar kertas putih berukuran setengah bagian kertas A4.
Karto menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari seseorang. Tak berselang lama, Kang Juki muncul di pintu masuk TPS. Ia tersenyum sumringah demi dilihatnya Karto, pun sebaliknya. Karto bangkit berdiri menghampiri Kang Juki, lalu bersama -- sama keluar dari sana.
"Ini, Kang." Karto mengulurkan kertas yang sedari tadi digenggamnya.
Kang Juki menerima kertas itu, lantas ia pun tergelak mengetahui kertasnya sedikit lembab terkena keringat dari tangan Karto. Ia menepuk -- nepuk punggung Karto. Lalu ia meninggalkan Karto di luar, sementara itu ia sendiri masuk kembali ke area TPS.
"Kang, tunggu siapa ?" Tanya Amran. Dia adalah salah satu aktivitis partai.
"Tidak, Nak Amran." Karto terkejut punggungnya ditepuk oleh Amran dari belakang.
"Ohh, kalau begitu, ayo masuk ke dalam." Ajaknya.
"Sudah, Nak." Karto menunjukkan ujung jari kelingkingnya yang berwarna ungu tua.
Di usianya yang tak lagi muda, Karto Sudah beberapa kali mengikuti pemilihan. Kali ini ia harus memilih Bupati dan Wakil Bupati di daerahnya. Itu yang membuatnya agak gugup. Karto mengaku tidak terlalu mengenal sosok -- sosok yang akan dipilihnya.
Ia masih ingat obrolannya dengan Emon saat bersama -- sama mencari rumput kambing.
"Kang, nanti pemilihan mau pilih siapa ?" Tanya Emon
"Belum tahu, Mon. Kalau kamu ?"
"Wah, itu rahasia, Kang." Jawabnya.
"Tadi bilangnya rahasia, tapi kamu nanya sama saya ?" Karto merasa kesal. Emon hanya tertawa melihat tingkah Karto.
Beberapa saat yang lalu di bilik suara, mata Karto terbelalak. Ia melihat gambar lima pasang calon bupati dan calon wakil bupati di daerahnya. Keringat dingin mulai turun dari kepalanya yang sudah beruban.
"Visi saya adalah menjadikan kabupaten ini sebagai kabupaten sejahtera, aman, dan bersih dari KKN." Terngiang kembali ucapan Paket nomor 1.
"Pilih saya agar ekonomi bisa meningkat dengan mengundang para investor." Ujar Paket Nomor 2.
"Kang, nanti jangan lupa pilih Paket Nomor 3 ya. Itu masih keluarga dengan kita." Bujuk Poniman.
Sementara Amran dan Rusdi yang berulang -- ulang juga meyakinkannya untuk memilih Paket Nomor 4 dan Nomor 5.
Karto memejamkan matanya. Waktu lima menit yang diberikan padanya seperti sangat singkat. Ia mengucapkan sebait doa, sebelum akhirnya paku itu dengan sukses melubangi gambar salah satu pasangan bupati dan wakil bupati.
Karto keluar dari bilik suara, melangkah menuju kotak suara, lalu mencelupkan jari kelingkingnya pada botol tinta sebagai bukti keikutsertaannya dalam pemilihan.
"Karto !" Pekik Kang Juki. Ia melambaikan tangan.
Karto terkejut, dilihatnya Kang Juki sudah ada di luar tenda TPS. Ia lega majikannya juga bisa ikut memilih pemimpin daerahnya. Ia juga yang berhasil meyakinkan majikannya agar mempercepat urusannya di ibu kota dan mengorbankan lima menit untuk memilih. Karto bergegas menghampiri Kang Juki lalu mereka berjalan bersama -- sama.
"Karto, siapa yang kamu pilih tadi ?" Kang Juki tiba -- tiba menghentikan langkahnya.
"Rahasia, Kang." Jawab Karto malu -- malu.
Kang Juki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia teringat, setiap hari Karto selalu bertanya padanya tentang paket pilihannya. Namun, diam -- diam Kang Juki mengakui bahwa ucapan Karto benar. Lima menit mungkin waktu yang sangat sedikit. Namun, lima tahun adalah waktu yang panjang untuk dijalani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H