Â
Kakiku berjalan menelusuri jalanan yang temaram dengan sinar rembulan. Lampu - lampu kota yang redup seolah menyembunyikan kemilau khas sudut ibu kota. Cahaya warna warni yang terpancar dari laju kendaraan, hanya datang dan pergi tanpa pernah benar - benar singgah. Tinggal saja sepotong anak manusia yang bertingkah pongah.Â
Pohon - pohon yang tinggal beberapa, berdiri angkuh dan enggan menyapa. Kucing - kucing riang berlari mengejar mangsa berekor panjang keluar masuk lorong yang gelap, sesekali hampir saja bertabrakan dengan sepasang kaki yang beku, miliknya. Perempuan yang tengah bermimpi tentang surga.Â
Langkah - langkah kecilku, tak lagi riang seperti terang yang ku rindukan. Seringkali ku sembunyikan kedua bola mataku di balik ketiak mama yang hangat. Tapi, sejak semalam, lorong gelap itu enggan membagi kehangatan pada tubuhku yang kurus tergerus peradaban. "Dingin!" Protesku. Tapi mama hanya membalasnya dengan senyum. Tak ada lagi buaian manja, tak ada lagi sorot mata yang memaksaku bersembunyi di balik ketiaknya yang hangat.Â
Tadi, saat aku bermain, beberapa anak mulai bercerita tentang lomba menghias telur dan mencari telur emas di Gereja. Esok adalah hari Paskah. Di mana setiap orang akan berpesta merayakan kebangkitan Yesus. Sepasang telinga kecilku mulai menangkap sejumput harapan. Mataku nanar membayangkan aku dan anak - anak lainnya mulai gila mencari telur - telur yang tersembunyi.Â
Tapi ketika lampu Gereja dipadamkan, seketika harapan itu berubah menjadi khayalan. Aku hanyalah seseorang yang hidup di bawah kerasnya kehidupan. Aku hanyalah anak - anak yang terlahir untuk menanggung pilu yang bernama kemiskinan. Jalanan adalah halaman bermain, di mana masih bisa ku korek sedikit keramahan yang tertinggal dari tangan - tangan kalian.Â
Telur emas ! Aku berteriak - teriak di dalam hatiku. Berharap pagi yang mulai merambat, akan datang sedikit terlambat. Untuk pertama kalinya, aku berseru pada sesuatu, yang mungkin kalian sebut, Tuhan. Aku hanya minta telur emas itu. Sebagai hadiah Paskah untuk mama. Mungkin akan ku gadai telur emas itu esok hari. Lalu ku bungkus sebuah baju untuk mama. Atau biar ku tukar saja telur emas itu dengan dua buah nasi bungkus untuk perut - perut kami yang membuncit, busung digigit angin malam.Â
Tapi, mama melarangku mengambil yang bukan rezeki kami. Ku urungkan niatku untuk mencuri. Tepat ketika sorot mentari jatuh berkilauan di tanah yang basah karena embun, saat aku kembali ke sudut Gereja setelah beberapa kali percobaan, aku melihatnya di sana. Sebutir telur emas.Â
Aku bersorak. Telingaku tertutup rapat - rapat. Takut kalau nanti seseorang berteriak memanggil namaku dengan sebutan, pencuri ! Semoga saja mama belum bangun dari tidurnya yang nyenyak semalam. Saat mama membuka matanya, akan ku berikan hadiah ini untuknya.Â
Mama masih terbaring di sana. Di antara lembaran - lembaran kardus yang lembab. Aku heran, mengapa sepagi ini Mama masih belum bangun, tapi aku akan menunggu saja, di sana di balik ketiaknya yang hangat. Aku mendekati mama dan bergerak masuk ke dalam celah kedua tangannya. Bahkan kini, mama terasa makin dingin. Ingin ku geser mentari agar mendahulukan sinarnya yang hangat bagi kami pagi ini. Aku butuh kehangatan. Itulah yang terjadi. Aku benar - benar merasa hangat. Bahkan kehangatan itu mengalir di kedua pipiku, terus jatuh ke tangan mama yang kaku dan dingin.Â
Ohh, aku tahu. Begitu caranya. Aku akan terus menangis, sampai mama kembali menjadi hangat. Aku takut membayangkan, jika mama terus saja menjadi sedingin ini. Tak akan ada lagi tempat untuk bersembunyi, saat aku merasa takut pada kegelapan yang menari - nari dalam pentas malam di tempat ini.Â