Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Panggil Saja Namaku, Ning!

7 April 2017   16:28 Diperbarui: 8 April 2017   00:00 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="https://www.google.co.id/search?q=gadis+purnama&client=ms-android-lenovo&prmd=inv&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwivwa-GgpLTAhWBq48KHYo5B1wQ_AUIBygB&biw=360&bih=559#imgrc=qxTDokT62u33oM:"][/caption]

Kedua pasang bola mata itu tertuju padaku. Bocah kecil yang tersudut di pojok kamar. Raut muka mereka tampak jelas, ada seurat gusar terlukis di mata yang menatap nanar. 

Perempuan itu lantas menutupi kedua telinganya. Ia seperti kesakitan. Sementara lelaki itu, memberingas dan menghempaskan semua barang yang ada di dekatnya. 

Aku terlalu kecil. Terlalu lemah untuk bisa memahami peristiwa senja itu. Tapi entah mengapa, setelah puluhan purnama ku lewati, ingatan masa kecil itu tak pernah sirna. 

Sejak purnama pertama, aku hanya berteman dengan perempuan itu. Ia tak pernah mencoba mendekatiku. Orang yang mengurusku, hanya seorang perempuan lain yang sudah kendor kulit - kulitnya. Tubuhnya tidak setegap perempuan itu. Tapi, belaiannya masih nyaman kurasakan di sekujur tubuhku. 

Entah mengapa, suatu malam aku merasa sangat kesakitan. Seluruh tubuhku kaku. Tidak bisa ku gerakkan. Tepat di malam bulan purnama. Ketika aku membuka kelopak mataku, aku melihat perempuan itu. Dia sedang berdiri di keramaian jalan raya. Dari arah berlawanan, sebuah sepeda motor melaju dengan kencang dan menabraknya hingga terlempar sejauh beberapa meter. 

"Aaaarrgghhh !!!!!" Pekikku.

Aku berlari menghampiri tubuhnya. Darah segar keluar sangat banyak. Dia tak sadarkan diri. Untuk pertama kalinya, aku mencoba menyentuh perempuan itu. 

Tapi aku tak bisa !

Nafasku tersengal. Peluhku bercampur dengan air mata yang mengalir deras. Tiba - tiba aku melihat seseorang dengan wajah yang sama persis denganku tengah terbaring di atas tempat tidur. Ia bahkan mengenakan pakaian yang sering kupakai. Angin dingin berhembus dari sela - sela jendela kamarku. 

Aku pun akhirnya tersadar saat perempuan muda itu menyentuh tanganku. 

Untuk pertama kalinya, sejak puluhan purnama terlewati, kulit kami bersentuhan. Tangannya halus dan lembut. Kedua bola matanya bahkan terlihat lebih besar dan berkaca - kaca. Aku memandangnya tak putus. Ledakan - ledakan udara di rongga mulutku, menyeruak mencari jalan. 

"Siapa namamu ?" Tanyanya. 

Aku bergeming.

Suara malaikat kah ? Begitu indah dan sejuk di telingaku. 

Dia menatapku. 

"Siapa namamu ?" Dia bertanya lagi. Kali ini suaranya benar - benar bergetar. 

"Panggil namaku, Ning!" Ujarku nyaris tak terdengar. 

"Hening Pramoedya Kinanti" Bisiknya. 

"Kau telah kembali, Ning!" Katanya lagi. 

Aku hanya bisa tersenyum.

Dia turun dari tempat tidurku. Berlalu begitu saja dari hadapanku. Sepertinya tadi dia menghilang di balik pintu. 

Perempuan tua itu datang menghampiriku. Ia duduk di tepi tempat tidur. 

Ia seolah memahami kebingunganku. Ia mengusap keningku yang berkeringat. Merapikan rambutku yang panjang dan memberiku minum. 

"Siapa namamu ?" Aku mendengar suaranya untuk pertama kali. 

"Panggil namaku, Ning." Jawabku.

Ia tersenyum. 

Ia memberikan sebuah album foto jumbo. Foto kami bertiga. Aku, laki - laki itu dan perempuan itu. 

Imajinasiku membumbung tinggi. Menembus batas kesadaran yang disekat dengan ruang dan waktu. Roh ku melayang menggapai ambang batas kefanaan. Seketika, aku tersadar dengan semua hal yang terjadi selama ini. 

Malam itu, aku dan lelaki itu pergi ke sebuah tempat. Lalu dalam perjalanan, dia melihat perempuan itu berdiri di jalan. Dia bergegas menghampirinya. Namun, dia kehilangan kendali sampai menabrak perempuan itu. Aku melihat darah segar keluar begitu banyak. 

Saat itu, aku pun terlempar tak jauh dari perempuan itu. Kepalaku terbentur dengan cukup keras. Barisan foto berikutnya tampak gelap. Seiring tubuhku yang kembali lemah. Aku tak sempat menutup album foto itu, pun tak bisa bicara apapun lagi. 

Semuanya kembali seperti sedia kala.

Hening. 

Seperti namaku ... 

"Mungkin suatu saat, jika kalian bertemu denganku, panggil saja namaku, Ning!"

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun