Tanganku masih enggan meraih bibir gelas kopi ini. Ahh, ke mana saja Pak Tua ini. Ingin sekali rasanya ku awali ritual ini bersamanya.Â
Kulirik lagi jam tangan kulit yang menempel di tanganku. Satu - satunya peninggalan almarhum ayahku. Pukul 06.20 wib. Masih ada waktu sebelum aku beranjak dari tempat ini.
Entah mengapa, hatiku menahan seluruh tubuh ini untuk segera beranjak dari warung kopi. Sampai akhirnya, tepukan halus di pundakku, mengguncang senyum di bibirku.
Pak Tua t'lah tiba. Si Mbok dengan sigap mengaduk - aduk kopi milik Pak Tua yang bahkan belum dipesannya. Pak Tua meraih bibir gelasnya, perlahan ia menghangatkan tubuhnya dengan meniup - niup kopi yang ada di hadapannya.
Aku mengamat - amati Pak Tua dengan tidak sabar. Ia terkekeh melihat gelagatku, seperti biasanya.Â
"Berita apa yang kau bawa hari ini, Hanif !"
Suaranya yang tegas, memecah rasa di dalam dadaku, yang sedari tadi ingin menyeruak.
"BBM turun lagi, Pak Tua." Jawabku lantang.
"Lantas .... ?" Tanyanya singkat
Aku bingung, belum siap dengan jawaban dari pertanyaannya itu.Â
Ia menyeruput kopinya, menghirup aroma kopi itu dalam - dalam.Â