Kokok ayam jago di ujung kampung, memecah keheningan Yang sepanjang malam terisi dengan dialog di televisi mini Banyak argumen yang dilontarkan                     Tetapi kami terduduk dalam rumah dengan keheranan    Ketika Bapak mentri berkoordinasi dengan para pejabat berdasi, yang katanya dipilih dari daerah kami              Tapi kami tak pernah turut merasakan hasil berdemokrasi
Malam itu kami tidur dengan gelisah                   Entah karena menahan dingin yang tak karuan,        Sambil menyepak nyamuk - nyamuk yang bernyanyian       di dekat telinga,Â
Atau karena menahan lapar, akibat semalam tak dapat makan. Kata Bapak, hidup lagi susah. Kemarau yang panjang sangatlah tak bersahabat dengan kami,  lahan kering samping rumah tak lagi bisa kami tanami.                 Yang bisa kami lakukan sehari - hari mengais rezeki di lahan orang kaya. Padahal waktu kedatangannya, dia pun sama seperti kami, tak punya apa - apa. Agaknya, yang dia punya adalah nasib yang berbeda. Buktinya, kini ia menuai di tempat ia tidak pernah menanam. Sementara jejak - jejak lumpur bercampur keringat, itulah hal yang kami ingat setiap saat
Mata kecilku mengintip di sela langit - langit berlubang, Â Â Â Â Â bermain lincah menari - nari, menggapai bintang yang terang
Kupandang wajah tua bapakku, yang tertidur menahan dingin dan beban tanggung jawabnya di pundaknya.               Kutarik selimut usang satu - satunya, peninggalan almarhumah ibu saat dipulangkan dari rantauan di negeri orang. Aku masih kecil saat itu, ketika ibu tiba - tiba pulang   tanpa bawa banyak uang, katanya kerja di negeri orang      tapi hanya namanya sendiri yang dibawa pulang            kini baru aku tahu, ibuku lari dikejar agensi, dituduh jadi TKW tak resmi, karena uang setoran dimakan sendiri
Benarkah hidup di zaman sekarang ini susah ?Â
Ahh, aku tak percaya.Â
Kawanku bercerita, ada orang yang gajinya ratusan juta     entah apa pula kerjanya. Yang aku dengar dia makan gaji buta.Â
Bapakku belum lagi terbangun. Padahal kokok ayam bertalu - talu. Ku goncang badannya yang makin kurus. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Dan ku bimbing bapak duduk perlahan di atas selembar tikar alas tidur kami yang berlubang digigit tikus
Nak, kau tak tidur semalam ? Ujarnya lirih. Aku menggeleng dan tersenyum dalam diam. Bibirku bergerak perlahan, Â Â Â Â Pak, hari ini aku ambil raport di sekolah. Bapak mengamati wajahku yang kusembunyikan dalam rasa ragu.Â
Sudah lebih dari sebulan lalu, itupun seingatku  ...          Saat aku menemukan bapak tergeletak di gundukan tanah merah yang ada di samping rumah. Tempat istirahat terakhir dari ibuku yang sudah almarhumah