Mohon tunggu...
Theresia Iin Assenheimer
Theresia Iin Assenheimer Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dari dua putra

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cicitnya Mbah Salam Harus Bayar 20 Dollar untuk Melihat Candi Borobudur

21 Juni 2022   05:14 Diperbarui: 24 Juni 2022   06:46 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibuku berasal dari Salam Magelang

Simbah atau orang tua dari ibu, tinggal di Salam Magelang. Adik dari mbah Kakung di Blabak, Magelang.  Rumah orang tua ada di jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Biasanya kalau kami ke Borobudur selalu mampir ke simbah Blabak dan simbah Salam.

Lima belas tahun lalu, anak- anak  masih sekolah dasar, Michael 8 tahun dan Philipp 11 tahun.  Kami ingin ke Borobudur.
Kami ektra bangun pagi- pagi, sebelum matahari tinggi dan panas kami berangkat dari Yogya ke arah Magelang, ke Borobudur.

Dari jalan Kaliurang ke arah Borobudur. Suami senang menyetir mobil dari Yogya ke Borobudur karena jalannya lebar dan bagus , meskipun bukan jalan tol.
Hari masih pagi ketika kami sampai ke tempat parkir halaman candi Borobudur, belum terlalu panas.

Terkejut dengan harga tiket masuk Borobudur untuk tourist asing

Saat itu saya belum memiliki hp yang canggih seperti sekarang.  Saat ini dengan handy, bisa langsung mendapat informasi berapa harga karcis masuk, bahkan mungkin karcis  masuknyapun  bisa dibeli secara  online.

Saat itu tidak, karena saya betul- betul naif dan tidak tahu berapa harga masuk candi Borobudur. 

Saat di loket petugas langsung melihat kami. Petugas langsung menunjukan bahwa suami dan anak- anak ke loket wisatawan asing dan saya di loket di seberang yang lebih sederhana.
Karena Finanz Ministerinnya atau mentri keuangan di keluarga kami saya, maka sebelum saya bayar untuk saya, saya ke loket wisatawan asing untuk membayar suami dan anak- anak. 

Petugas loket saat itu menyodorkan 3 karcis, masing- masing 20 dollar, saat itu masih 20 dollar.
Saya kaget, marah dan sedih campur aduk.
Hampir menangis saya coba tawar dan menanyakan apakah anak- anak saya juga harus membayar 20 Dollar?
Petugas mengatakan ya dan mengatakan ya karena Candi Borobudur merupakan warisan budaya  UNESCO. Bukankah anak- anak ibu juga berkebangsaan Jerman dan berpaspor Jerman?

Dengan sedih dan sedikit emosional saya katakan ya, tapi kakek dan neneknya orang Salam dan Blabak. Blabak tidak jauh dari Borobudur, sekitar 5 Kilometer, sedangkan Salam sekitar 20 Kilometer dari Borobudur.

Saya minggir sebentar berdiskusi dengan suami dan anak- anak. Saya jelaskan apakah benar- benar ingin naik ke candi  Borobudur dengan harga 20 Dollar perorang, sedangkan mama 20 ribu rupiah.

Saat itu, lima belas tahun lalu, belum dibagi zona satu dan zona dua. Jadi satu tiket masuk untuk semua. Juga tidak dibedakan harga pelajar dan harga umum.

Saya mulai menghitung,  bertiga 60 Dollar, 1 dollar lebih dari satu juta. Saat itu 15 tahun lalu dollar lebih tinggi dari euro.

Mungkin karena kaget, sedikit emosi dan anak- anakpun belum mengerti benar mengapa harus berpanas- panas naik ke candi Borobudur, kami putuskan untuk tidak membeli tiket.
Akhirnya kami putuskan untuk berjalan-jalan saja di luar pagar dan menikmati candi Borobudur dari kejauhan.

Setelah capek jalan-jalan di sekitar candi, kami mampir ke rumah simbah di Blabak. Di sana anak-anak bergembira boleh memancing gurami di kolam ikan.

Kekecewaan tidak masuk dan naik ke candi  Borobudur pun terobati.

Rela membayar 25 dollar

Liburan berikutnya, anak- anak sudah lebih besar dan lebih mengerti dan dari rumah sudah berniat, biarpun harganya 20 kali lipat dari harga mama. Kami  naik ke candi Borobudur dengan diterangkan Guide. 

Setelah anak- anak besar dan menikmati candi Borobudur dengan diterangkan Guide, anak-anakpun bilang, "Mama lohn sich, 20 dollar, Borobudur ist so wunderschoen ". Yang artinya, Mama 25 dollar seimbang , Borobudur sungguh indah"

Saat ini, bila kami pulang selalu ke candi Borobudur dan  Prambanan, meskipun cicitnya mbah Salam harus membayar 25 dollar, harga saat ini.

Anak- anak dan kamipun begitu mengagumi dan bangga dengan candi Borobudur yang indah megah dan terpelihara baik.

Kadang kami saling meledek, karena saya yang berpaspor hijau membayar hanya 50 ribu rupiah, melalui loket sederhana. Loket wisatawan asing, di mana- anak- anak dan suami antri, antriannya tidak panjang, lebih adem, mungkin dengan AC dan mendapat soft drink dan dengan alunan musik. 

Sebenarnya kalau perbedaan harga tiket wisatawan asing 20 kalilipat mahalnya dari wisatawan domestik kurang adil juga. Mengapa, karena saat ini tidak sedikit wisatawan domestik yang berpenghasilan jauh lebih tinggi dari wisatawan asing.

Warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negri, mereka berpenghasilan euro, dollar, franken dan sebagainya, tetapi karena masih paspor Indonesia, membayar harga wisatawan domestik.

Tidak semua wisatawan asing berpenghasilan  tinggi lho.  Anak- anak saya yang masih sekolah dan student malah belum berpendapatan, tetapi harus juga membayar 25 dollar. Harga tiket masuk 15 dollar hanya untuk anak- anak di bawah 10 tahun.

Apabila suatu saat tiket naik ke candi Borobudur menjadi 100 dollar, sayapun bisa mengerti supaya tetap terawat, terjaga dan tidak rusak. Sayang  sekali kalau sampai rusak dan tidak terawat baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun