Mohon tunggu...
Theresia Asri Luberingsih
Theresia Asri Luberingsih Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

PNS RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dukungan Psikologis di Masa Pandemi pada Keluarga Pasien Kritis

20 Juli 2021   22:19 Diperbarui: 22 Juli 2021   01:18 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bila kondisi stres seseorang tidak segera tertangani maka dampak psikologisnya akan lebih serius dan dapat menimbulkan gangguan mental berkelanjutan. (Photo by Ben White on Unsplash)

Beberapa pekan terakhir, saya mendampingi beberapa teman yang sedang kesulitan karena anggota keluarganya kritis akibat infeksi Covid-19.

Reaksi awal mereka biasanya syok dan terkejut karena merasa pasien kemarin baik-baik saja tetapi kenapa tiba-tiba drop dan harus masuk bangsal isolasi Intensive Care Unit (ICU).

Mereka bingung, cemas, menangis dan tidak tahu harus berbuat apa. Pikiran negatif selalu membayangi dan membuat mereka semakin cemas dan tertekan.

Gelombang virus corona yang kedua ini sangat mengguncangkan negeri kita tercinta ini.

Seperti yang dilansir oleh sebuah media online (cnnindonesia,2021), Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyatakan pandemi virus corona di Indonesia telah memasuki gelombang kedua. Kondisi itu ditandai dengan kasus konfirmasi Covid-19 yang tembus 21.342 orang pada Minggu (27/6). 

Sebagai perbandingan, pada puncak kasus pertama pada Januari-Februari 2021, kenaikan dari titik kasus terendah sebesar 283 persen dan sampai puncaknya dalam waktu 13 pekan.

Sedangkan pada puncak kedua ini, kenaikan dari titik kasus terendah mencapai 381 persen atau hampir 5 kali lipatnya dan mencapai puncak dalam waktu 6 minggu.

Apalagi setelah masuk jenis virus Covid-19 yang terbaru yaitu varian delta yang sangat mudah menular tersebut, sehingga jumlah orang yang terkonfirmasi positif menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. 

Bila gelombang yang kemarin nampaknya hanya beberapa orang yang kena virus berbahaya ini, namun sekarang hampir sebagian besar dari mereka, bahkan teman-teman terdekat kita, saudara-saudara kita, orangtua kita bahkan kita sendiri dan keluarga inti terkonfirmasi positif karena sebegitu menularnya penyakit ini dengan mudahnya. Bahkan tak sedikit dari mereka harus di rawat di ruang ICU rumah sakit karena kondisinya yang kritis.

Keberadaan pasien kritis yang dirawat di ruang perawatan intensif dapat berdampak negatif bagi kondisi fisik dan psikologis keluarganya. Mereka kurang merawat dirinya sendiri, makan tidak teratur, nafsu makan berkurang, susah tidur, kecemasan bahkan depresi.

Menurut Dwi Nur Rahmantika Puji,dkk (2019) dalam jurnalnya yang berjudul Pengalaman Keluarga selama Proses Pendampingan Pasien di Ruang GICU, menyatakan ada empat tema pengalaman keluarga dalam mendampingi pasien kritis.

Pengalaman yang pertama yaitu takut tidak dapat bertemu pasien lagi, karena semua orang tahu bila pasien sudah dirawat di ruang ICU karena kritis maka persentase kematiannya cukup tinggi. Pengalaman yang kedua adalah keluarga merasa kasihan melihat pasien terpasang banyak alat. 

Perasaan ini membuat keluarga cemas dan overthinking akan kondisi pasien. Sedangkan pengalaman yang ketiga adalah mereka terpaksa meninggalkan rutinitas hariannya untuk menemani pasien di ruang ICU.

Meskipun pasien ICU tidak bisa ditemani di dalam ruangan, namun keluarga merasa khawatir bila ada informasi mendadak perkembangan kondisi pasien di dalam, sehingga mereka merasa lebih aman berada di ruang tunggu ICU.

Selain itu keluarga juga merasa lebih dekat secara psikologis dengan pasien, bila mereka tetap berada di sana, meskipun harus meninggalkan pekerjaan dan rutinasnya sehari-hari.

Tema yang terakhir adalah menggantungkan harapan pada Tuhan. Ini dilakukan setelah beberapa hari pasien tidak menunjukkan perkembangan atau bahkan penurunan kondisi kesehatannya. Mereka hanya bisa berdoa supaya Tuhan memberikan mukjizat atau pasrah akan kehendakNya.

Namun tidak semua keluarga bisa menunggui anggota keluarganya yang sakit kritis di rumah sakit karena beberapa alasan. Mungkin karena peraturan rumah sakit yang tidak memperbolehkan keluarga pasien menunggu di area RS, atau mungkin karena mereka sendiri tidak berani menunggu di RS karena takut terpapar karena harus menjaga anggota keluarganya yang masih sehat di rumah, atau bahkan mungkin ia sendiri diharuskan isolasi mandiri di rumah karena dinyatakan positif juga. 

Di manapun atau apapun kondisi keluarga, mereka tetap memiliki kecemasan yang sama, yaitu cemas menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapanpun.

Bila kondisi stres ini tidak segera tertangani maka dampak psikologisnya akan lebih serius dan dapat menimbulkan gangguan mental berkelanjutan.

Dukungan psikologis terhadap keluarga di saat seperti ini sangatlah dibutuhkan oleh mereka, agar mereka dapat melewati masa-masa kritis dan menyedihkan ini dengan baik dan tetap sehat secara fisik dan psikis.

Bentuk dukungan yang seperti apa sih yang bisa kita lakukan? Bagaimana caranya?

Tidak sulit untuk memberikan bantuan dasar bagi orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan dukungan psikologis. (Photo by engin akyurt on Unsplash)
Tidak sulit untuk memberikan bantuan dasar bagi orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan dukungan psikologis. (Photo by engin akyurt on Unsplash)

Dalam dunia psikologi ada salah satu intervensi singkat dan praktis untuk membantu individu yang sedang mengalami krisis yaitu Psychological First Aid (PFA).

PFA, menurut Dra. Tri Iswardani, M.Si, Psikolog dalam materi pelatihan PFA for All (2016) mendefinisikan Psychological First Aid (PFA) atau Dukungan Psikologi Awal (DPA) adalah sebuah intervensi psikologi singkat, praktis dan fleksibel, berupa pemberian bantuan kepada individu, keluarga dan masyarakat, yang menderita karena baru saja mengalami peristiwa krisis, keadaan darurat atau bencana.

Tujuan DPA ini untuk mengurangi dampak negatif stres dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk. Penting untuk diketahui bahwa DPA bukanlah konseling atau terapi psikologi, melainkan strategi untuk meredakan reaksi stres, menenangkan, jadi hanya bersifat sementara, karena diharapkan individu atau keluarga dapat memberdayakan diri sendiri, beradaptasi dan mendorong keterampilan mengatasinya (coping) jangka pendek dan jangka panjang.

Lalu bagaimana cara kerjanya DPA ini? Sebenarnya sangat sederhana langkah-langkah Dukungan Psikologis Awal ini. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:

1. Lihat

Yang bisa kita lakukan di tahap ini adalah mencari tahu apa yang dibutuhkan oleh individu atau keluarga pasien. Apakah kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman? Kebutuhan untuk tidur nyaman?

Apalagi jika keluarga menunggu pasien di RS, mereka tidak bisa kemana-mana dan butuh makanan dan minuman serta tidur nyaman. Kita bisa mengirimkan makanan, minuman, alas tidur, dan lain-lain yang dibutuhkan. Atau bisa jadi mereka membutuhkan informasi.

2. Dengarkan

Di sini kita mendengarkan dan menampung keluhan, perasaan yang menekan dan membuat kecemasan dengan penuh perhatian. Bukan harus bertemu langsung, namun bisa melalui media komunikasi yang lain, misal telepon, video call, whatsapp, atau apapun cara dan alat komunikasi yang bisa kita pakai. 

Cukup kita mendengarkan secara aktif dan tidak bertanya-tanya lebih lanjut/mendalam. Apalagi bertanya mengenai kondisi pasien yang sedang kritis secara detail, karena ini akan membuat keluarga semakin cemas dan panik. Jangan pula memaksa mereka untuk menceritakan pengalamannya.

Kita cukup menerima perasaan dan emosinya, lalu berikan rasa aman dan nyaman kepada keluarga sehingga ia / mereka merasa tidak sendiri menghadapi masa kritis ini, merasa ada support atau dukungan yang membuat mereka lebih tenang, tidak panik, beban lebih ringan dan akhirnya bisa berfikir jernih dan positif untuk beradaptasi dalam situasi yang tidak mengenakkan ini, sehingga mampu melaluinya dengan baik, lebih siap dan kuat.

3. Hubungkan

Bantu menjalin koneksi dengan layanan lain yang diperlukan. Bila mereka membutuhkan hal lain, misal membutuhkan donor plasma konvalesen untuk keluarganya yang kritis karena Covid-19 maka kita perlu membantunya menghubungkan dengan PMI, tim satgas Covid-19, pihak-pihak terkait atau membagi (share) ke semua kontak yang kita punya atau media sosial lainnya. Apapun layanan lain yang dibutuhkan mereka, segera mungkin kita bantu koneksikan, agar mereka segera terlayani dengan baik.

Lalu siapa saja yang boleh dan bisa melakukan dukungan psikologis praktis tersebut? Semua orang boleh dan bisa melakukan ini. Tidak terbatas pada profesional kesehatan mental. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki keterampilan DPA. Mereka hanya perlu rasa peduli dengan melihat kesulitan orang di sekitarnya, mendengar, memahami dan bertindak untuk menolong.

Namun demikian ada beberapa catatan yang perlu diketahui sebelum melakukan DPA. Yang pertama adalah mempersiapkan diri kita sendiri, apakah diri kita sehat baik secara fisik maupun psikis. 

Psikis yang dimaksud di sini apakah kita tidak sedang galau, tidak dalam keadaan tertekan dan gelisah, karena bila kita sendiri kurang ‘beres’, maka akan sangat mempengaruhi proses pemberian dukungan. 

Oleh karena itu kita harus dalam keadaan baik-baik saja, sehingga kita pun akan tenang saat berhadapan dengan individu/keluarga yang akan kita tolong. Sikap kita kepada mereka harus sopan, jujur dan tidak ada motif lain selain menolong. Jangan pula memaksa bila mereka tidak mau dibantu. 

Hargai hak dan keputusan mereka. Bila saat ini mereka menolak, sampaikan saja bahwa lain kali kita siap membantu mereka saat mereka membutuhkan. Satu hal lagi yang penting adalah menjaga kerahasiaan. Kita tidak boleh menceritakan hal-hal yang sifatnya privasi kepada orang lain.

Tidak sulit bukan untuk memberikan bantuan dasar bagi orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan dukungan psikologis. Selain bisa meringankan beban mereka, kita juga bisa berguna dan bermanfaat bagi sesama. 

Satu hal yang perlu diingat, bahwa janganlah kita menganggap diri kita bisa menolong sepenuhnya atau tuntas, karena memang pada dasarnya ini hanyalah bantuan sementara untuk meredakan stres. 

Bila memang individu yang kita tolong masih sulit mengendalikan diri dan emosinya, semakin berat kondisi mentalnya, seperti: tidak bisa tidur sama sekali selama beberapa hari, histeris, menarik diri dan berdiam diri, atau bahkan agresif, maka kita perlu segera merujuknya ke profesional kesehatan mental (psikiater dan atau psikolog) agar mendapatkan pertolongan lebih lanjut.

Mari kita saling peduli satu sama lain di masa pandemi ini. Semakin kuat dukungan maka semakin kuat kita bisa bertahan dan menang di badai Covid-19 ini. Tetap semangat, selalu jaga protokol kesehatan dan selalu bahagia. Salam sehat jiwa.

 ***

Daftar Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun