Akhir-akhir ini perbincangan mengenai seks sedang ramai dibicarakan karena maraknya pula kasus kekerasan seksual maupun isu yang berkaitan dengannya.
Berangkat dari sana, kesadaran serta kepedulian masyarakat mengenai seks semakin diperhatikan baik dengan cara mengenalkan sex education sejak dini, nilai-nilai etika dalam berhubungan dan batasan-batasan tentang hal yang boleh atau tidaknya dilakukan oleh seseorang yang belum melangsungkan pernikahan.
Kegiatan sosialisasi itu dapat dimulai dari unit keluarga, antar teman, hingga penyuluhan oleh instansi pemerintah.
Tidak hanya itu, istilah-istilah dalam seks semakin beragam dan naik ke permukaan sehingga secara tidak langsung kita perlu mengetahui dan memahaminya. Seks tidak melulu harus dipandang kotor atau bahkan menjadi pembahasan yang tabu dibicarakan karena hakikat seks sendiri tidak akan terlepas dari kehidupan manusia.
Bagi mahkluk bertulang belakang seperti manusia, seks adalah kegiatan yang pasti dilakukan dan terjadi namun bukan berarti dapat dilakukan seenaknya.
Sebagian besar dari kita mungkin pernah mendengar istilah “Sexual-Consent” yang kini cukup ramai menjadi perbincangan namun hanya segelintir orang yang mengetahui makna sebenarnya istilah itu. Lantas, apa itu “Sexual-Consent”?
Dilansir dari tulisan seorang dosen Ilmu Hukum Universitas Prasetiya Mulya di The Conversation, Kartika Paramita, menjelaskan bahwa konsep consent secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Konsep perjanjian atau consent ini menurut Filsuf Amerika Serikat (AS), John Kleinig sudah ada sejak era Renaissance Eropa di abad ke-15.
Jika kita memandang sexual consent sebagai bentuk dari sama-sama rela untuk melakukan suatu hubungan badan, bisakah konsep ini menjadi pemicu tumbuh suburnya free-sex di luar penikahan atau menjadi sebuah pelanggaran hukum?
Mengingat Indonesia adalah negara yang TIDAK membenarkan kegiatan seks apapun bentuknya jika tanpa ikatan resmi secara hukum.
Terlepas dari itu, konsep sexual-consent sebenarnya membawa pemahaman ramah dalam melakukan suatu hubungan guna menghindari berbagai macam kekerasan seksual. Bermula dari slogan anti pelecehan seksual yang dibuat oleh Canadian Federation of Student atau CFS pada kisaran tahun 90-an, “no means no.” dengan harapan guna membangun kesadaran mahasiswa mengenai kekerasan seksual.
Serupa pula dengan slogan yang dikembangkan oleh sekelompok perempuan di Perguruan Tinggi Swasta Antioch, Ohio pada tahun 1991, berbunyi “yes means yes”.