Dewasa ini, agama seolah kehilangan kewibawaanya. Arti agama secara etimologi, yang dalam bahasa Sansekerta berarti tidak kacau (a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau), menunjukan adanya ambiguitas di dalam realitas agama. Agama yang idealnya menciptakan situasi  harmonis justru menjadi sumber kekacauan dalam realitas hidup manusia.
Di tengah agama yang senantiasa memperjuangkan kemanusiaan manusia, realitas  praktik agama justru mereduksinya dengan aneka aksi intoleransi, mengatasnamakan agama. Realitas demikian memunculkan pertanyaan skeptis ya kni mengapa manusia masih menempatkan agama sebagai  pijakan berkehidupan, padahal realitas kerapuhan agama di tengah dinamika masyarakat modern begitu eksplisit.
Idealitas dan Realitas Agama
Sebagai suatu pandangan hidup, agama berusaha mewujudkan realitas hidup yang ideal. Agama berusaha  membantu manusia dalam menemukan kemanusiaannya sendiri. Agama  berusaha  hadir  sebagai stabilisator kehidupan. Melalui agama, realitas manusia yang  terlalu duniawi hendak direduksi. Idealitas agama tergambar dalam prinsip hidup agama yang menekankan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan manusia (horizontal) dan manusia dengan Tuhan (vertikal). Dalam agama Katholik, visi keharmonisan hidup demikian digambarkan secara simbolis melalui salib.
Sebagai suatu bentuk idealitas, tidak ada agama yang mengajarkan aksi intoleransi. Dalam Islam, kita mengenal bahwa Islam merupakan agama yang rahmatal lil 'alamin" (agama  yang  mengayomi seluruh dunia). Dalam Katholik pun kita mengenal ajaran perihal kasih universal, kasih yang mau menembus sekat, tidak eksklusif melainkan inklusif (bdk Luk 10:25-37). Maka, muncul suatu pertanyaan fundamental yakni apakah layak seseorang disebut beragama ketika  terus membenci dan bertikai. Bukankah bangga sebagai orang beragama tetapi tidak mencerminkan spirit  agama dalam hidup keseharian, sebagai bentuk penistaan agama personal?
Dewasa ini, realitas agama tergambar secara kompleks . Ada tendensi destruktif  yang  mengancam dinamika hidup bersama. Tendensi destruktif tersebut tercermin dalam aneka kasus konflik mengatasnamakan agama baik dalam lingkup nasional maupun global. Realitas tersebut tercermin salah satunya lewat kasus terorisme yang menyerang dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada  hari Jumat, 15 Maret 2019.Tendensi destruktif pada realitas agama juga tercermin pada kecenderungan agama yang  digunakan sebagai alat legitimasi politik.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada realitas agama konstruktif yang bisa disyukuri keberadaannya. Realitas tersebut tergambar pada aneka praktis sosial yang diinisiasi oleh agama  tertentu, salah satunya oleh Gereja. Gereja Keuskupan Agung Semarang lewat forum Karinakas berusaha merelevankan diri dengan memberi bantuan social nyata seperti APD dan sembako bagi masyarakat.
Gambaran realitas dengan idealitas yang begitu senjang membuat agama terlihat sebagai aspek hidup yang ambigu dalam hidup bermasyarakat. Realitas kesenjangan demikian berpotensi membuat manusia semakin enggan beragama. Maka, perlua adanya upaya reformasi massif dalam praktik hidup beragama agar agama tidak berhenti sebagai konsep hidup semata, melainkan hidup di tengah dinamika masyarakat.
Kritik Habermas
Fenomena kesenjangan di dalam agama membuat agama tidak terlepas dari kritik. Salah satu kritik yang cukup kritis terhadap agama berasal dari seorang profesor emeritus dari Universitas Heidelberg, Jerman bernama Jurgen Habermas. Habermas sendiri menitikberatkan kritiknya pada segi fungsi agama dalam lingkup masyarakat modern.
Menurutnya, agama dinilai tidak komunikatif terhadap dunia. Ada kecenderungan diferensiasi antara yang sacral dengan yang profan. Agama cenderung membatasi diri dengan pandangan mistis dalam menyikapi realitas dunia.
Habermas juga menyoroti pandangan mistis dalam agama yang dengan begitu saja mencampuradukkan dimensi realitas yang berbeda. Gambaran tanpa diferensiasi tersebut  tercermin dalam pencampuran antara unsur alam dengan kebudayaan. Segala fenomena alam dikaitkan dengan aneka daya mistis. Tendensi demikian menggiring masyarakat pada penyelesaian masalah secara magis dengan mengesampingkan peran profannya. Realitas tersebut pada akhirnya  menutup kemungkinan aneka tindakan rasional yang ideal.
Kritik lain Habermas terhadap agama berfokus pada fenomena tidak adanya diferensiasi antara bahasa dengan kenyataan. Fenomena demikian menyebabkan proses dogmatisasi agama sebagai proses pembakuan kenyataan, menjadi pembekuan kenyataan. Fenomena demikian biasanya sering diikuti dengan keengganan agama untuk terbuka dengan suatu diskursus rasional. Dampaknya, proses pemberangusan rasionalitas manusia terjadi.
Menurutnya, agama dinilai kehilangan esensinya ketika menghalangi manusia sendiri dalam memperjuangkan martabatnya. Perlu adanya demitologisasi untuk sampai pada subjektivitas diri yang ideal. Pola hidup mistis cenderun tertutup. Hal ini mengakibatkan manusia sulit dalam mebedakan ranah dunia objektif dengan dunia subjektif. Seseorang akan menjadi sulit membedakan mana aspek di dalam hidup yang sebenarnya mampu dibenahi atau justru dipertahankan.
Habermas terlihat begitu keras dalam mengkritk system system pemahaman mistis  yang dianut beberapa agama. Namun, tujuan Habermas bukan untuk meniadakan eksistensi dari agama. Berbeda dengan Ludwig Feurerbach yang memang secara eksplisit mengkritisi eksistensi dari agama itu sendiri, Habermas mencoba mengkritisi kesemuan dari segi fungsional agama supaya keberadaanya tetap relevan dengan system masyarakat modern. Maka, berkaitan dengan segi fungsional agama, Habermas menekankan,"Sejauh mana agama masih berfungsi dengan baik dalam mengkritisi dinamika kehidupan masyarakat modern."
Ekuilibrium Agama
Dalam konteks ini, ekuilibrium dipahami sebagai titik keseimbangan antara idealitas dengan realitas agama. Agama akan kehilangan esensinya ketika ekuilibrium tidak dicapai. Lalu, bagaimana mewujudkan visi tersebut?
Agama harus berani terbuka dengan ranah diskursus rasional. Kritis terhadap agama bukan berarti ingin menjatuhkan agama, melainkan mamu memahami agama secara lebih objektif tanpa ada intervensi kepentingan dari subjek tertentu. Diskursus rasional dapat menjadi wadah agama dalam mempertanggungjawabkan ajaran atau dogma secara rasional. Memang disadari bahwa bahwa suatu dogma tidak dapat diuji sepenuhnya secara rasional, melihat realitas Tuhan bersifat transenden, melampaui rasionalitas dari manusia. Namun, setidaknya diskursus mewadahi agama untuk menjelaskan konsep-konsep irasional dengan cara yang rasional, mengarah kepada tujuan mengapa dogma itu ada.
Sikap rendah hati agama untuk mau dikritik membantu manusia dalam memaksimalkan potensi rasionalitasnya  serta membantu agama dalam mewujudkan tugas sucinya bagi manusia.
Tendensi enggan dikritik dalam realitas agama justru menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Tanpa terbiasa dididik kritis oleh agama, manusia mudah ditakuti dan dibodohi dengan suatu konsep dengan embel-embel Tuhan sebagai eksistensi yang absolut, tidak bisa dilawan. Orang  mudah digiring ke a rah aksi-aksi destruktif seperti diskriminasi, ujaran kebencian, konflik fisik, serta terorisme dengan embel-embel suara Ilahi. Daya kritis serta refleksi yang kurang membuat manusia sulit mebedakan Tuhan yang Tuhan denga tuhan-tuhanan. Di sinilah agama kehilangan esensinya, bukan hadir sebagai stabilisator kehidupan melainkan hadir sebagai permainan kepentingan.
Di samping terbuka dengan wadah diskursus rasional, proses internalisasi nlai-nilai keagamaan menjadi aspek penting yang perlu diperjuangkan demi mencapai visi ekuilibrium agama. Habermas juga menyakini bahwa unsur-unsur pandangan hidup religious tetap sangat berharga dan perlu dipertahankan dalam moralitas modern. Proses internalisasi tersebut dapat diwujudkan melalui ruang-ruang formasi baik formal seperti sekolah maupun informal seperti keluarga atau masyarakat.
Proses internalisasi tersebut perlu mendapat pengawasan yang serius agar  proses  penanaman nilai-nilai formatif keagamaan tepat sasaran. Jika lengah, ada potensi masuknya doktrin keagamaan semu yang mengarah ke aksi intoleransi. Maka, jelas bahwa kolaborasi semua pihak dalam mengontrol proses internalisasi nilai keagamaan menjadi penting. Tanpa proses internalisasi yang terawasi, dunia  akan diisi dengan realitas keagamaan yang saling mengintervensi. Agama akhirnya bukan lagi menjadi  sarana untuk mendamaikan, melainkan menjadi sarana berperang.
Pola hidup toleransi sebagai wujud idealitas agama dapat terwujud jika umat beragama sadar akan kebutuhannya dalam merekonsiliasi praktik hidup beragama. Keseimbangan harus dicapai supaya agama tidak sekadar hadir sebagai konsep melainkan hidup secara nyata di tengah dunia.
Sumber
Kritik  Jurgen Habermas terhadap Peran dan Fungsi Agama,  diakses dari  https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/download/1879/pdf pada tanggal 9 Februari 2022, Pukul 14.15 WIB
imahikota.go.id/index.php/artikel/detail/871-toleransi-dalam-perspektif-islam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H