Mohon tunggu...
Theo Sanjaya
Theo Sanjaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Freshgraduted

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencapai Ekuilibrium Agama

14 Februari 2022   12:52 Diperbarui: 14 Februari 2022   13:21 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Habermas juga menyoroti pandangan mistis dalam agama yang dengan begitu saja mencampuradukkan dimensi realitas yang berbeda. Gambaran tanpa diferensiasi tersebut  tercermin dalam pencampuran antara unsur alam dengan kebudayaan. Segala fenomena alam dikaitkan dengan aneka daya mistis. Tendensi demikian menggiring masyarakat pada penyelesaian masalah secara magis dengan mengesampingkan peran profannya. Realitas tersebut pada akhirnya  menutup kemungkinan aneka tindakan rasional yang ideal.

Kritik lain Habermas terhadap agama berfokus pada fenomena tidak adanya diferensiasi antara bahasa dengan kenyataan. Fenomena demikian menyebabkan proses dogmatisasi agama sebagai proses pembakuan kenyataan, menjadi pembekuan kenyataan. Fenomena demikian biasanya sering diikuti dengan keengganan agama untuk terbuka dengan suatu diskursus rasional. Dampaknya, proses pemberangusan rasionalitas manusia terjadi.

Menurutnya, agama dinilai kehilangan esensinya ketika menghalangi manusia sendiri dalam memperjuangkan martabatnya. Perlu adanya demitologisasi untuk sampai pada subjektivitas diri yang ideal. Pola hidup mistis cenderun tertutup. Hal ini mengakibatkan manusia sulit dalam mebedakan ranah dunia objektif dengan dunia subjektif. Seseorang akan menjadi sulit membedakan mana aspek di dalam hidup yang sebenarnya mampu dibenahi atau justru dipertahankan.

Habermas terlihat begitu keras dalam mengkritk system system pemahaman mistis  yang dianut beberapa agama. Namun, tujuan Habermas bukan untuk meniadakan eksistensi dari agama. Berbeda dengan Ludwig Feurerbach yang memang secara eksplisit mengkritisi eksistensi dari agama itu sendiri, Habermas mencoba mengkritisi kesemuan dari segi fungsional agama supaya keberadaanya tetap relevan dengan system masyarakat modern. Maka, berkaitan dengan segi fungsional agama, Habermas menekankan,"Sejauh mana agama masih berfungsi dengan baik dalam mengkritisi dinamika kehidupan masyarakat modern."

Ekuilibrium Agama

Dalam konteks ini, ekuilibrium dipahami sebagai titik keseimbangan antara idealitas dengan realitas agama. Agama akan kehilangan esensinya ketika ekuilibrium tidak dicapai. Lalu, bagaimana mewujudkan visi tersebut?

Agama harus berani terbuka dengan ranah diskursus rasional. Kritis terhadap agama bukan berarti ingin menjatuhkan agama, melainkan mamu memahami agama secara lebih objektif tanpa ada intervensi kepentingan dari subjek tertentu. Diskursus rasional dapat menjadi wadah agama dalam mempertanggungjawabkan ajaran atau dogma secara rasional. Memang disadari bahwa bahwa suatu dogma tidak dapat diuji sepenuhnya secara rasional, melihat realitas Tuhan bersifat transenden, melampaui rasionalitas dari manusia. Namun, setidaknya diskursus mewadahi agama untuk menjelaskan konsep-konsep irasional dengan cara yang rasional, mengarah kepada tujuan mengapa dogma itu ada.

Sikap rendah hati agama untuk mau dikritik membantu manusia dalam memaksimalkan potensi rasionalitasnya  serta membantu agama dalam mewujudkan tugas sucinya bagi manusia.

Tendensi enggan dikritik dalam realitas agama justru menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Tanpa terbiasa dididik kritis oleh agama, manusia mudah ditakuti dan dibodohi dengan suatu konsep dengan embel-embel Tuhan sebagai eksistensi yang absolut, tidak bisa dilawan. Orang  mudah digiring ke a rah aksi-aksi destruktif seperti diskriminasi, ujaran kebencian, konflik fisik, serta terorisme dengan embel-embel suara Ilahi. Daya kritis serta refleksi yang kurang membuat manusia sulit mebedakan Tuhan yang Tuhan denga tuhan-tuhanan. Di sinilah agama kehilangan esensinya, bukan hadir sebagai stabilisator kehidupan melainkan hadir sebagai permainan kepentingan.

Di samping terbuka dengan wadah diskursus rasional, proses internalisasi nlai-nilai keagamaan menjadi aspek penting yang perlu diperjuangkan demi mencapai visi ekuilibrium agama. Habermas juga menyakini bahwa unsur-unsur pandangan hidup religious tetap sangat berharga dan perlu dipertahankan dalam moralitas modern. Proses internalisasi tersebut dapat diwujudkan melalui ruang-ruang formasi baik formal seperti sekolah maupun informal seperti keluarga atau masyarakat.

Proses internalisasi tersebut perlu mendapat pengawasan yang serius agar  proses  penanaman nilai-nilai formatif keagamaan tepat sasaran. Jika lengah, ada potensi masuknya doktrin keagamaan semu yang mengarah ke aksi intoleransi. Maka, jelas bahwa kolaborasi semua pihak dalam mengontrol proses internalisasi nilai keagamaan menjadi penting. Tanpa proses internalisasi yang terawasi, dunia  akan diisi dengan realitas keagamaan yang saling mengintervensi. Agama akhirnya bukan lagi menjadi  sarana untuk mendamaikan, melainkan menjadi sarana berperang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun