Mohon tunggu...
Khoiril Basyar
Khoiril Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar untuk memberi manfaat kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Bukan Tuhan yang Selalu Benar

4 Juli 2016   18:50 Diperbarui: 4 Juli 2016   19:01 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi www.yonasukmalara.wordpress.com

Guru adalah sebuah profesi yang mulia. Bisa dibilang seperti itu, sebab selain mendapat gaji tentunya pahala yang tidak akan putus disisi tuhan adalah ilmu yang bermanfaat. Bayangkan saja jika ribuan siswa telah di didik oleh sang guru. Banyaknya pahala yang didapat tak mampu lagi dihitung dengan jari.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mungkin itu kalimat jadul yang sekarang tidak lagi berlaku. Tidak ada guru yang mau tidak di gaji. Bahkan saat sertifikasi dicabut, guru beramai ramai protes karena tak mau pendapatannya berkurang.

Disisi lain, tidak semua guru memiliki kompetensi yang tinggi. Guru hanyalah profesi terakhir saat para pelamar kerja gagal mendapatkan pekerjaan. Mungkin inilah ungkapan yang bisa saya gambarkan, pasalnya dari pada ijazah tidak laku di dunia industry karena tidak memiliki keterampilan, banyak orang yang kemudian beramai ramai menjadi guru.

Guru seharusnya dapat mengajar dan mendidik. Mengajar materi materi sesuai dengan silabus dan mendidik sesuai dengan kapasitasnya sebagai orang tua di sekolah. Banyak tipe guru yang sudah saya temui sejauh ini di dunia pendidikan.

Saya termasuk murid yang suka membuat masalah, setidaknya setiap saya memberi masukan, ada saja guru yang tidak terima dan menganggap saya salah. Padahal guru juga manusia yang apabila salah dan khilaf juga harus di ingatkan. Inilah beberapa kisah yang saya alami sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di salah satu Kota Batik.

Catatan Kurang Lengkap di Anggap Tidak Membuat Tugas

Saya menjadi anak baik baik selama 2 semester awal. Namun di semester berikutnya saya mulai mengamati tingkah para guru. Selain Karena sudah mengenal lingkungan sekolah, saya juga tidak ingin guru berbuat seenaknya karena mereka adalah panutan.

Waktu itu pelajaran matematika, saya akui catatan saya minggu lalu memang belum tuntas. Tiba tiba entah ada apa sang guru menghampiri saya dan menanyakan catatan saya. Karena beliau melihat kurang lengkap akhirnya saya disuruh ke ruangan Bimbingan Konseling (BK) agar mendapat point pelanggaran. Namun setelah saya berkonsultasi, ternyata tidak ada pelanggaran karena catatan kurang lengkap.

Anehnya, sang guru bimbingan malah memberi saya point tentang tidak mengerjakan tugas. Akhirnya 5 point saya dapat. Setelah saya tanya, kenapa saya di beri poin ini? Padahal saya sama sekali tidak melanggar? Beliau dengan entengnya menjawab, dari pada kamu kembali kesana dan dimarahi, lebih baik saya beri kamu poin pelanggaran sebagai tindakan atas pelanggaranmu. Aku hanya bingung dan belum berani menyuarakan kekesalan ini.

Dianggap Telat Masuk WorkShop

Aturan sekolah menyatakan bahwa, siswa yang terlambat adalah siswa yang berangkat setelah gerbang sekolah di tutup. Saya termasuk ke dalam siswa yang berangkat di ujung ujung gerbang di tutup. Biasanya penjaga gerbang memberi toleransi sekitar 5 hingga 10 menit. Jadi gerbang ditutup sekitar pukul 07:10 pagi.

Biasanya kami masuk workshop pukul 07:15. Entah pagi itu sang guru sedang kenapa, tiba tiba kami dimarahi karena dianggap telat beramai ramai. Padalah biasanya memang jam segitu. Saya jelaskan bahwa gerbang ditutup pukul 07:10 dan perjalanan ke workshop memakan waktu 5 menit (sekolah saya termasuk luas). Sang guru kekeuh bahwa gerbang di tutup pukul 07:00. Pada pertemuan berikutnya saya buktikan bahwa gerbang memang di tutup pukul 07:10.

Karena apa yang saya sampaikan ini benar, sang guru seakan tidak terima. Tiba tiba beliau berstatement, “besok jika kalian tidak di workshop pukul 07:00, maka kalian saya anggap telat.” Dan akhirnya saya beserta kawan kawan banyak yang telat. Saya sudah mendapat point pelanggaran dari guru BK, namun seakan sang guru belum puas. Entah mengapa tiba tiba beliau marah, tidak mau bicara dan tidak mau mengajar.

Teman teman wanita yang saat itu terlambat sudah meminta maaf hingga dibanjiri tangisan, namun sang guru masih tetap cuek. Saya tidak ambil pusing, jika memang mengajar sudah menjadi kewajiban maka pasti beliau akan tetap mengajar. Namun ternyata anggapan saya salah, hampir 3 bulan (dari UTS hingga UAS) beliau benar benar tidak mengajar. Entah apa yang membuat beliau demikian, yang jelas itu benar benar menyebalkan.

Dianggap Melanggar Aturan Seragam Sekolah yang Tidak Tertulis

Setelah saya selesai magang, awal bulan oktober, sekolah mengeluarkan aturan baru yang isinya setiap hari sabtu para siswa dapat mengenakan baju batik dangan motif bebas. Namun kejelasan aturan ini belum ada sehingga membingungkan. Ada yang menggunakan bawahan putih, ada yang abu abu ada pula yang coklat seragam pramuka.

Sabtu itu nasib saya sedang kurang baik karena saat saya berangkat saya ditangkap oleh wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Saya ditahan dan diminta untuk menemui guru BK karena melanggar seragam. Saat itu saya mengenakan celana putih. Sesampainya diruang BK, konsultasipun terjadi. Saat saya hendak mendapat point, saya malah ngeyel. Saya meminta sang guru untuk mengumpulkan semua siswa yang menggunakan celana putih untuk di kenakan point pelanggaran. Saya tidak mau jika hanya saya yang dianggap melanggar, diskriminatif sekali. Karena memang belum ada kejelasan, banyak yang mengenakan celana putih, namun hanya saya yang kurang beruntung.

Akhirnya saya dilepas tanpa mendapat hukuman apapun. Sabtu depan, saya beranikan diri menemui sang kepala sekolah. Saat berangkat sekolah saya bertemu dengan beliau, langsung saja saya utarakan niat saya. Awalnya pembicaraan berjalan normal, namun karena saya to the point dan tanpa basa basi, akhirnya beliau tersulut emosi. Saya tidak takut menghadapi kemarahan beliau, karena memang apa yang saya katakan ini benar. Seminggu kemudian aturan tertulis mengenai seragam untuk hari sabtu keluar, dan mulai sejak saat itu pula para siswa tidak lagi bingung. Yang saya pertanyakan, kenapa harus disertai marah marah jika ujung ujungnya menerima usulan saya.

Ditampar Saat Try Out Ujian Nasional Berlangsung

Ini adalah kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Karena saya merasa dipermalukan oleh seorang guru yang tidak memiliki pengetahuan namun berani menyalahkan orang lain.

Kejadiannya adalah saat Try Out berlangsung. Waktu itu hari sabtu yang berarti kami mengenakan seragam batik bebas. Awalnya biasa biasa saja, hingga tiba tiba sang guru melintas di samping saya. “batik apa ini? Batik kok gini? Lihat tuh temen temenmu.” Awalnya saya hanya diam dan tidak membalas. Namun lama lama, ini guru banyak mulut juga. Saya katakan bahwa yang saya pakai ini adalah batik tulis hasil karya sendiri. Motifnya adalah siluet orang yang sedang rockclimbing. Memang beda dari yang lain, karena saya tidak ingin menjadi sama.

Beliau sendiri mengenakan baju printing (sablon) yang diberi motif batik. Jelas jelas beliau yang tidak memakai batik asli, teman teman juga tahu akan hal itu. Setelah perdebatan alot akhirnya, PLAAKK.!! Tamparannya melayang di pipi kananku. Dengan nada sombong beliau bilang, “sana lapor ke polisi, saya tidak takut.”

Sayapun di panggil oleh wali kelas. Beliau juga sebenarnya membela saya, karena memang saya tidak melanggar aturan. Namun beliau tidak berani jika mengatakan sang guru salah, maklum saja ia termasuk guru senior yang lumayan ditakuti. Dengan sangat terpaksa saya menghadap sang guru, meminta maaf. Setelah itu sang guru juga meminta maaf, ia tahu ia salah. Namun dalam hati ini sudah terlanjur sakit karena merasa di permalukan dihadapan teman teman.

Saya banyak mengambil pelajaran dari semua kejadian yang saya alami semasa SMK. Tidak semua orang berani berbicara, dan karena ketidakberanian itu membuat yang salah seakan benar dan yang benar dianggap salah. Hal ini harus dihentikan sehingga membuat keterbukaan antara guru dan siswa.

“guru itu kadang malu untuk mengakui kesalahannya dan tidak berani untuk mengatakan saya belum tau tentang hal itu.” Kata seorang dosen Bahasa inggris saya. Ungkapan beliau menandakan bahwa guru masih terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya dan tidak berani mengatakan bahwa belum tahu. Para guru lebih suka berlaku sombong dan seolah benar dari pada harus meminta maaf pada muridnya.

Komunikasi dua arah adalah komunikasi yang lebih baik dari pada satu arah. Itu artinya adanya keterbukaan dan rasa saling berbagi membuat suasana kelas lebih baik. Di bangku kuliah, saya tidak jarang menemui guru yang meminta waktu untuk menjawab sebuah pertanyaan, Atau meminta maaf karena beliau salah menjelaskan. Adapula yang terang terangan mengatakan “saya malah baru tahu akan hal itu.” Sebenarnya guru yang mau terbuka, lebih baik dari pada yang masih bersikap konvensional.

Salam The Power Of Sharing…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun