Mohon tunggu...
Khoiril Basyar
Khoiril Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar untuk memberi manfaat kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penangguhan Cinta

5 Mei 2016   17:25 Diperbarui: 5 Mei 2016   17:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedikit Kisah Baru Darinya (Dok. Pribadi)

Setiap detik waktu yang telah kita lewati menyimpan banyak makna. Disetiap sisi kehidupan yang kau jalani, tak akan pernah bisa kau memaknainya satu persatu. Karena hidup terlalu sulit, sulit untuk di mengerti, dipelajari dan dijalani.

Sudah lama aku mengenalnya, bercerita banyak tentang dirinya bahkan aku masih ingat benar saat pertama kita dipertemukan. Saat itu awal tahun pelajaran, aku mendaftar sekolah di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Kotaku. Memang aku tampak terlihat bingung walau aku datang bertiga. Ternyata ada sosok wanita yang tiba tiba menghampiriku, ia tak banyak berkata. Kucoba untuk memulai pembicaraan dengannya. Terlihat dia seorang yang supel, namun masih terlihat sangat malu malu.

Setelah kita sama sama bersekolah ditempat yang sama, ternyata aku juga satu kelas dengannya. Dia wanita yang biasa biasa saja, tak ada yang menarik darinya. Namun sungguh aku akui, ia sesosok wanita yang gigih dan juga cerdas.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun tahun berlalu. Setelah aku mulai memperhatikannya, ternyata ia berbeda dengan wanita wanita yang lain. Cara pandangnya dalam melihat dunia, sungguh terlihat jelas bahwa ia bukan wanita biasa. Memang ia sederhana, namun dibalik kesederhanaannya ia benar benar sosok wanita yang berbeda, ceria, supel, dan tentunya ia sering berbagi ilmu pada semua.

Aku juga lupa kapan aku memulai menghubunginya, yang jelas aku sempat melibatkannya dalam cinta segitiga. Ya… aku sosok pria yang benar benar mengganggu kehidupan orang lain. Bukan karena aku ingin berselingkuh, namun pasanganku itu sungguh membuatku geram. Kebohongan yang ia sebar membuat aku kehilangan teman temanku. 

Tapi aku juga tidak mengerti, saat yang lain menjauh ia justru mendekat. Menguatkanku dari segala masalah yang aku hadapi. Semakin lama aku mengenalnya, ia juga semakin mengenalku. Entah apa yang membutakannya dari segala sisi burukku. Aku tidak pernah merayunya, aku juga tidak pernah meminta lebih darinya.

Hingga saat perpisahan sekolah tiba, jujur saja aku merasa sedih. Aku tidak akan tahu kapan aku bisa kembali lagi bertemu dengannya. Yang aku ingat adalah aku sempat berfoto berdua dengannya, senang bercampur sedih menyelimuti perasaanku.

Tempat bekerja yang berbeda membuatku tidak pernah berjumpa dengannya. Namun sesekali, komunikasi dengannya masih aku jalin. Ada rasa ingin aku menemuinya, hingga kuberanikan diri berkunjung ke tempat kerjanya. Masih malu malu memang, karena aku sendiri tak pernah menceritakan tentang rasaku. Aneh rasanya, tapi aku jalani saja. Memang aku bukanlah orang yang mudah untuk mengungkapkan rasa.

Entah kapan awalnya, aku juga lupa yang jelas dia menyatakan bahwa ia sayang padaku. Dalam batinku bergejolak, tak mampu aku untuk mengatakan tidak. Semakin hari semakin dekat saja rasanya, hanya rasanya. Karena memang kita terpisah jauh. Aku menjalani hari hariku dengan lebih senang, karena aku tak pernah menyangka ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku pikir walaupun kita terpisah jarak yang lumayan jauh namun masih terbilang dekat.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya. Jelas sekarang jaraknya lebih jauh dari yang sebelumnya. Namun aku juga senang, sebab ia bisa menjadi lebih dekat dengan kedua orang tuanya. Setidaknya ia tidak membuat orang tuanya khawatir. Aku juga senang saat ku dengar kabarnnya sekarang ia semakin berisi, karena aku pikir dulu ia terlalu kurus.

Lama, lama, dan semakin lama. Sebenarnya tak banyak yang berubah, aku sendiri sering pulang untuk menemuinya walaupun hanya sebulan sekali. Tapi bisa dikatakan hampir setiap hari aku menghubunginya lewat telepon. Seperti tak ada bosannya, bahkan malah aku merasa semakin dekat dengannya. Hingga jarak di antara kita benar benar menjadi sebuah ujian.

Ditempat kerjanya yang baru, ternyata ada pria yang mendekatinya. Ia sebenarnya ragu untuk bercerita padaku, namun aku sedikit memaksa karena aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia bilang jika ada rekan kerjanya yang sering mendekatinya, awalnya biasa saja namun akhirnya ia merasa simpati juga. Apalagi sang pria sudah menyatakan keberaniannya, untuk serius padanya bahkan siap dalam waktu dekat dapat menikahinya.

It’s make me crazy. I was shocked. Bagaimana tidak, jika ternyata ada orang lain yang lebih gila dariku. Sebenarnya aku cukup gugup juga untuk mengatakan sesuatu. Tapi tiba tiba aku berani, aku katakan saja padanya bahwa aku kira kira siap menikah sekitar 5 tahun lagi. Bagiku itu sangat singkat namun jika sudah ada pria yang nyata nyata siap melamar aku bisa berbuat apa. Apalagi usiaku saat itu baru menginjak 19 tahun. Usia yang sangat muda untuk menjanjikan pada wanita untuk menikah. Dalam kebingunganku pula aku terus berpikir, apakah yang aku katakan ini sudah benar atau aku hanya mencoba meyakinkan dia, yang aku tahu dia sendiri meminta padaku untuk mencarikan alasan agar sang pria tidak datang kerumah. Dia juga bilang kalau untuk saat ini ia benar benar belum siap menikah.

Kecemasanku menghilang, saat ia bercerita bahwa pria yang mendekatinya perlahan mulai menjauh. Ini membuatku sedikit lega, namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Apakah aku mampu untuk mempersiapkan diri agar dapat melamarnya? Gila!! Apalagi ibuku selalu berkata bahwa jangan buru buru menikah, pikirkan bapak ibu dan adik adikmu.

Sebagai anak pertama memang aku harus bisa membantu ekonomi kedua orangtuaku. Aku tidak boleh terus menerus menyusahkan mereka. Tak heran jika kemudian ibu selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu berpikir agar cepat menikah. Huft… tambah bingung aku jadinya. Namun tak dapat kupungkiri aku juga harus terlebih dahulu berbakti pada kedua orang tuaku, karena mereka yang telah membesarkan dan mendidikku. Aku tidak boleh mementingkan wanita yang baru beberapa tahun aku kenal, prioritas utamaku tetap ada pada ibuku.

Saat kebingungan memenuhi pikiranku, tiba tiba aku memikirkan sesuatu. Sebuah hal yang dapat membuatku lebih baik dari sekarang, hal yang tentunya hati kecilku tak bisa menolak. Aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku. Ya,, aku ingin.

Masalah biaya memang menjadi kendala bagiku namun aku memilih untuk mencari beasiswa, tapi ternyata aku tertarik dengan sekolah kedinasan. Meski demikian aku masih ragu, apakah aku mampu untuk membayar biaya hidup selama kuliah? Namun ia terus mendukungku. Aku menjadi semakin yakin untuk mengikuti seleksi, aku sudah tidak lagi memikirkan biaya hidup nantinya. Ketabahannya untuk selalu mendukung dan mendoakanku membuat diriku semakin yakin dan yakin.

Setelah mengalami proses yang sangat panjang, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan melanjutkan pendidikan. Aku juga berterima kasih banyak padanya yang selalu mendukungku hingga akupun menjanjikan sesuatu padanya. Kemanapun ia ingin dan apapun yang ia pinta akan aku usahakan jika aku bisa melanjutkan kuliah.

Waktu terus berlalu, menggerus rindu dan menghapus rasa. Aku juga bingung dengan diriku sendiri, bukan aku ingin berpaling darinya namun sekali lagi ia mengejutkanku. Setelah satu tahun lebih ia tak pernah terdengar bercerita tentang pria lain, sekarang ia kembali lagi menceritakan bahwa ada pria yang mencoba mendekatinya. Dan yang lebih mengejutkan adalah pria itu ternyata sama seperti yang pernah ia ceritakan. Pria yang sama setahun lalu juga berusaha mendekatinya.

Semakin intensifnya pria itu mendekatinya, aku bisa berbuat apa. Yang jelas jawabanku sekarang tidak lagi sama seperti dulu, mungkin ia juga terkejut kenapa aku menjawab demikian. Bukan aku sudah tak memiliki rasa, tapi aku berpikir jika aku terlalu memaksakan apakah aku tidak termasuk sebagai orang yang kejam. Saat ada seseorang yang benar benar ingin berhubungan serius dengannya serta sudah sangat matang untuk memiliki keberanian melamar.

Ini cukup membuatku gila. Aku sendiri tidak akan tahu kehidupanku lima tahun kedepan, apakah aku bisa menjaminnya atau tidak. Perbedaan usia diantara kita juga yang membuatku berubah pikiran. Aku benar benar bingung, yang aku tahu pria ini cukup baik padanya. Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya tapi ia selalu mengatakan bahwa pria itu tak seperti diriku, tak sekejam aku, tak senakal aku dan juga selalu perhatian padanya. Jelas itu menjadi nilai lebih baginya dari pada diriku ini, yang tak pernah bisa selalu berada disisinya.

Semakin jarang aku berkomunikasi, namun sesekali aku masih menghubunginya untuk menanyakan kabar juga menanyakan tentang hubungannya. Aku senang sekaligus sedih saat ia bercerita bahwa ia sudah sering jalan berdua, ke pantai, kemana dan kemana. Namun ia bilang, pria itu tak seperti diriku. Aku memang sedikit gila, pergi pagi pulang malam. Tapi dengan yang sekarang, ia hanya pergi sewajarnya saja.

Kadang ia juga menangis sedih, mengingat moment moment kita. Aku sendiri merasakan hal yang sama, namun aku lebih sering menenangkannya. Aku tak ingin ia bersedih hati karenaku, sebab sudah ada sesosok pria yang lebih baik didekatnya. Berat memang bagiku, tapi aku tidak punya niat untuk melupakannya. Aku ingin melihat kebahagiaannya meskipun hati ini masih berat untuk melepaskannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun