Lama, lama, dan semakin lama. Sebenarnya tak banyak yang berubah, aku sendiri sering pulang untuk menemuinya walaupun hanya sebulan sekali. Tapi bisa dikatakan hampir setiap hari aku menghubunginya lewat telepon. Seperti tak ada bosannya, bahkan malah aku merasa semakin dekat dengannya. Hingga jarak di antara kita benar benar menjadi sebuah ujian.
Ditempat kerjanya yang baru, ternyata ada pria yang mendekatinya. Ia sebenarnya ragu untuk bercerita padaku, namun aku sedikit memaksa karena aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia bilang jika ada rekan kerjanya yang sering mendekatinya, awalnya biasa saja namun akhirnya ia merasa simpati juga. Apalagi sang pria sudah menyatakan keberaniannya, untuk serius padanya bahkan siap dalam waktu dekat dapat menikahinya.
It’s make me crazy. I was shocked. Bagaimana tidak, jika ternyata ada orang lain yang lebih gila dariku. Sebenarnya aku cukup gugup juga untuk mengatakan sesuatu. Tapi tiba tiba aku berani, aku katakan saja padanya bahwa aku kira kira siap menikah sekitar 5 tahun lagi. Bagiku itu sangat singkat namun jika sudah ada pria yang nyata nyata siap melamar aku bisa berbuat apa. Apalagi usiaku saat itu baru menginjak 19 tahun. Usia yang sangat muda untuk menjanjikan pada wanita untuk menikah. Dalam kebingunganku pula aku terus berpikir, apakah yang aku katakan ini sudah benar atau aku hanya mencoba meyakinkan dia, yang aku tahu dia sendiri meminta padaku untuk mencarikan alasan agar sang pria tidak datang kerumah. Dia juga bilang kalau untuk saat ini ia benar benar belum siap menikah.
Kecemasanku menghilang, saat ia bercerita bahwa pria yang mendekatinya perlahan mulai menjauh. Ini membuatku sedikit lega, namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Apakah aku mampu untuk mempersiapkan diri agar dapat melamarnya? Gila!! Apalagi ibuku selalu berkata bahwa jangan buru buru menikah, pikirkan bapak ibu dan adik adikmu.
Sebagai anak pertama memang aku harus bisa membantu ekonomi kedua orangtuaku. Aku tidak boleh terus menerus menyusahkan mereka. Tak heran jika kemudian ibu selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu berpikir agar cepat menikah. Huft… tambah bingung aku jadinya. Namun tak dapat kupungkiri aku juga harus terlebih dahulu berbakti pada kedua orang tuaku, karena mereka yang telah membesarkan dan mendidikku. Aku tidak boleh mementingkan wanita yang baru beberapa tahun aku kenal, prioritas utamaku tetap ada pada ibuku.
Saat kebingungan memenuhi pikiranku, tiba tiba aku memikirkan sesuatu. Sebuah hal yang dapat membuatku lebih baik dari sekarang, hal yang tentunya hati kecilku tak bisa menolak. Aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku. Ya,, aku ingin.
Masalah biaya memang menjadi kendala bagiku namun aku memilih untuk mencari beasiswa, tapi ternyata aku tertarik dengan sekolah kedinasan. Meski demikian aku masih ragu, apakah aku mampu untuk membayar biaya hidup selama kuliah? Namun ia terus mendukungku. Aku menjadi semakin yakin untuk mengikuti seleksi, aku sudah tidak lagi memikirkan biaya hidup nantinya. Ketabahannya untuk selalu mendukung dan mendoakanku membuat diriku semakin yakin dan yakin.
Setelah mengalami proses yang sangat panjang, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan melanjutkan pendidikan. Aku juga berterima kasih banyak padanya yang selalu mendukungku hingga akupun menjanjikan sesuatu padanya. Kemanapun ia ingin dan apapun yang ia pinta akan aku usahakan jika aku bisa melanjutkan kuliah.
Waktu terus berlalu, menggerus rindu dan menghapus rasa. Aku juga bingung dengan diriku sendiri, bukan aku ingin berpaling darinya namun sekali lagi ia mengejutkanku. Setelah satu tahun lebih ia tak pernah terdengar bercerita tentang pria lain, sekarang ia kembali lagi menceritakan bahwa ada pria yang mencoba mendekatinya. Dan yang lebih mengejutkan adalah pria itu ternyata sama seperti yang pernah ia ceritakan. Pria yang sama setahun lalu juga berusaha mendekatinya.
Semakin intensifnya pria itu mendekatinya, aku bisa berbuat apa. Yang jelas jawabanku sekarang tidak lagi sama seperti dulu, mungkin ia juga terkejut kenapa aku menjawab demikian. Bukan aku sudah tak memiliki rasa, tapi aku berpikir jika aku terlalu memaksakan apakah aku tidak termasuk sebagai orang yang kejam. Saat ada seseorang yang benar benar ingin berhubungan serius dengannya serta sudah sangat matang untuk memiliki keberanian melamar.
Ini cukup membuatku gila. Aku sendiri tidak akan tahu kehidupanku lima tahun kedepan, apakah aku bisa menjaminnya atau tidak. Perbedaan usia diantara kita juga yang membuatku berubah pikiran. Aku benar benar bingung, yang aku tahu pria ini cukup baik padanya. Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya tapi ia selalu mengatakan bahwa pria itu tak seperti diriku, tak sekejam aku, tak senakal aku dan juga selalu perhatian padanya. Jelas itu menjadi nilai lebih baginya dari pada diriku ini, yang tak pernah bisa selalu berada disisinya.