Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Aku bangkit dan berdiri, membayar es teh dinginku, dan hendak beranjak ke luar. Sebelum itu, entah mengapa, Swasono menggenggam tanganku. Kukira tadinya ia hendak menyalamiku sehingga aku menyambutnya. Tapi wajahnya memelas dan ia mengucapkan sebuah pesan. Pelan sekali, seperti berbisik.
"Kuulangi sekali lagi. Kompleks ini tadinya sepi dan segala sesuatunya terlihat jelas. Tolonglah, pak. Terima kasih."
Aku pun melangkah ke luar dan berdiam sejenak di pintu, memerhatikan sekitar. Kata - kata Swasono benar. Jika kita mengabaikan rumah bobrok yang masih ramai oleh penduduk dan media itu, sebenarnya kompleks itu adalah perumahan yang sepi. Segala sesuatu yang aneh pasti terlihat jelas.
Segala sesuatu terlihat jelas.
Aku memikirkan kata - kata terakhir sang pemilik warteg. Tiba - tiba sesuatu muncul di kepalaku. Aku mengecek dengan segala bukti logis, dan semua bukti dan keterangan, dan semuanya cocok pada suatu kesimpulan. Masih kemungkinan, tapi layak untuk diperiksa.
Dengan segera aku menghubungi Mahmud untuk memberikan beberapa personil kepolisian, untuk datang ke warteg ini. Kuminta agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Aku mendesah. Kuharap hipotesaku ini benar. Kalau benar, maka kami sedang berhadapan dengan pembunuh psikopat.
Tiba - tiba seseorang memecah keheningan. "Baksonya, pak?" Si tukang baso tersenyum, dengan setengah berjongkok dia menatapku dengan antusias. Pelanggannya sebelumnya sudah selesai.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.
Kasus lain dapat dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H