GAJAH MADA
Gajah Mada. Seorang pemimpin, panglima perang, dan mahapatih dari Kerajaan Majapahit. Menyebut sosok Gajah Mada, tidak akan lepas dari ambisinya yang ingin menyatukan seluruh Nusantara di bawah bendera Majapahit. Beliau mengucapkah sebuah sumpah terkenal, yaitu Sumpah Palapa, di mana ia tidak akan makan buah Palapa sebelum Nusantara bersatu. Bagaimanakah riwayat hidupnya? Mari kita telusuri bersama -- sama.
Pemberontakan demi pemberontakan
Menyebut sosok Gajah Mada, tidak lengkap jika tidak membahas Kerajaan Majapahit. Majapahit berdiri tahun 1293, didirikan oleh seorang keturunan raja yang bernama Dyah Wijaya. Riwayat hidup Dyah Wijaya atau biasa disebut dengan Raden Wijaya, sudah terbiasa dengan pemberontakan dan pengkhianatan. Jika bisa disebutkan, ia mendirikan Kerajaan Majapahit dengan mengkhianati pasukan Mongol yang saat itu ingin menaklukkan Pulau Jawa. But that's another long story to unroll.
Keadaan kerajaan yang baru saja berdiri dan tidak stabil, dimanfaatkan oleh petinggi -- petinggi kerajaan untuk berebut posisi tertinggi dan melakukan pemberontakan. Dalam kitab Pararaton dan Kidung Ranggalawe, pemberontakan pertama yang dihadapi oleh Majapahit adalah pemberontakan Ranggalawe di tahun 1295. Ranggalawe adalah sahabat baik Raden Wijaya. Ayahnya, Arya Wiraraja, adalah orang yang memberikan tempat bagi Raden Wijaya bernaung ketika dikejar -- kejar oleh Jayakatwang, raja Kediri terdahulu.
Ranggalawe tidak puas dengan posisinya yang hanya sebagai Adipati Tuban, lalu yang kedua ia meminta pamannya Lembu Sora sebagai patih. Namun sebenarnya Lembu Sora sendiri tidak keberatan dengan keputusan Raden Wijaya. Ia berpihak kepada raja. Tidak peduli dengan perasaan pamannya, Ranggalawe menyiapkan pasukan untuk menggempur Majapahit. Dalam pertarungan di Sungai Tambak Beras, Jombang, ia tewas terbunuh.
Pemberontakan kedua datang dari Lembu Sora. Melihat keponakannya terbunuh, Lembu Sora menjadi murka dan membunuh ksatria kerajaan. Ia telah mendapat pengampunan dari Raden Wijaya, namun petinggi -- petinggi kerajaan sudah terlanjur resah dan mengecapnya sebagai pemberontak. Alhasil, ia pun dijebak menuju istana dan dieksekusi.
Pemberontakan ketiga datang dari patih pertama Majapahit, yaitu Nambi di tahun 1316. Nambi, Ranggalawe, Lembu Sora, semuanya adalah sahabat baik dari Raden Wijaya. Sebenarnya kisah -- kisah pemberontakan Majapahit adalah kisah yang miris. Pemberontakan -- pemberontakan ini terjadi karena hasutan seorang bernama Halayuda atau Mahapati. Begitu pula dengan kisah Nambi.
Nambi pada awalnya hanya ingin menengok ayahnya yang sakit keras di desa. Atas sebuah usulan Halayuda, ia memperpanjang masa istirahatnya di desa itu. Namun raja yang telah dihasut melihatnya sebagai sebuah pembangkangan dan merupakan rencana Nambi untuk menyiapkan pasukan pemberontakan. Alhasil, ia dan pengikutnya pun digempur oleh pasukan istana. Nambi pun tewas terbunuh di Lumajang.
Kemunculan Gajah Mada
Pada pemberontakan terakhir, Raden Wijaya telah turun tahta dan digantikan oleh anaknya Jayanagara. Ia naik tahta pada tahun 1309 dan dikenal sebagai sosok yang lemah dan amoral, maka ia disebut dengan sebutan Kalagemet dalam Kitab Pararaton. Hal ini juga bisa dilihat dari pemberontakan Nambi yang sebenarnya tidak masuk akal. Banyak rakyat yang tidak puas dengan kinerja Jayanagara sebagai raja Majapahit. Termasuk Dharmaputra, tujuh petinggi istana Wilwatikta.
Dharmaputra terdiri dari Ra Kuti, Ra Banyak, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Yuyu, Ra Wedeng, dan Ra Pangsa. Melihat lemahnya kerajaan yang dipimpin oleh Jayanagara, Ra Kuti selaku pimpinan melaksanakan kudeta atau makar di tahun 1319. Makar militer ini berhasil dan membuatnya menjadi pimpinan di istana. Di sinilah pertama kali nama Gajah Mada disebutkan dalam catatan sejarah. Baik Kitab Pararaton dan Negarakertagama menyebutkan, Gajah Mada berhasil menyelamatkan raja dari upaya pembunuhan Dharmaputra. Pada saat itu, jabatan Gajah Mada adalah bekel yang memimpin beberapa prajurit bhayangkari.
Mengungsi di desa Bedander, Gajah Mada menyamar ke ibukota dan menemukan bahwa orang -- orang pun ternyata tidak suka dengan tindak -- tanduk Ra Kuti. Akhirnya, ia bersama dengan rakyat dan pasukan yang masih setia kepada raja, menyatukan kekuatan untuk menghalau Ra Kuti dan pengikutnya. Gajah Mada berhasil. Ra Kuti berhasil disingkirkan, seluruh Dharmaputra tewas dieksekusi, dan Jayanagara kembali di kursi raja.
Jabatan Gajah Mada yang dinilai sukses melindungi raja pun naik. Ia menjadi Patih di Daha. Dari seluruh Dharmaputra, hanya satu yang tidak dieksekusi karena merupakan tabib yang handal, yaitu Ra Tanca. Pada 1928, Ra Tanca dipanggil ke istana untuk mengobati bisul Jayanagara. Ra Tanca sendiri masih menyimpan dendam kepada sang raja, apalagi dengan keinginannya baru -- baru ini untuk menikahi kedua saudara tirinya yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Ketika mengobati raja, Ra Tanca menusukkan pisau ke bisul Jayanagara dengan tujuan membunuhnya. Pada awalnya ia kesulitan karena ternyata raja memiliki sebuah jimat kebal. Ra Tanca berdalih kepada raja untuk menyingkirkan jimat kebal. Raja menyetujuinya, namun kemudian setelah jimat itu disingkirkan, ia ditikam hingga tewas. Ternyata Ra Tanca terpergok oleh Gajah Mada. Di tempat itu, Gajah Mada langsung menikam Ra Tanca dan menewaskannya.
Banyak yang mengatakan bahwa pembunuhan Ra Tanca tanpa pengadilan terlebih dahulu oleh Gajah Mada adalah sebuah konspirasi, karena ia sendiri tidak menyukai Jayanagara. Namun di akhir cerita, Gajah Mada bebas tanpa tuduhan. Tahta Majapahit kini jatuh kepada Tribuwana Tunggadewi, saudara tiri Jayanagara.
Di era Ratu Tribuwana Tunggadewi, mahapatih Majapahit bernama Arya Tadah merasa sudah tua dan sakit -- sakitan. Ia mengundurkan diri, dan sebagai gantinya ratu menawarkan posisi itu kepada Gajah Mada di tahun 1329. Namun Gajah Mada merasa belum siap. Ia masih ingin membuktikan diri terlebih dahulu, dan memberikan jasa untuk Majapahit. Sebuah pemberontakan yang dipimpin Keta di Sungai Badadung menjadi alatnya untuk unjuk gigi. Lalu pemberontakan berikutnya dipimpin oleh Sadeng di pantai utara, dekat Panarukan. Gajah Mada lagi -- lagi berhasil. Ia memadamkan keduanya, dan pada tahun 1334 ia menjadi Mahapatih Amangkubhumi. Peristiwa ini tercatat dalam Pararaton dan Negarakertagama.
Puncak Kejayaan Gajah Mada
Naik tahta sebagai orang kedua di Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang terkenal hingga sekarang, yaitu Sumpah Palapa.Â
Aku tidak akan makan buah Palapa sebelum seluruh Nusantara bersatu.Â
Maksud dari sumpah ini adalah bahwa ia tidak akan bersenang -- senang dalam hal duniawi sebelum pulau -- pulau nusantara bersatu di bawah bendera Majapahit. Daerah -- daerah yang disebutkan dalam sumpah ini antara lain: Gurun (Nusa Tenggara), Seram (Maluku), Tanjungpura (Borneo), Haru (Sumatra), Pahang (Semenanjung Malaya), Dompu (Sulawesi), Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Wilayah -- wilayah yang disebut oleh Gajah Mada ini sebenarnya merupakan rekanan Kerajaan Singasari sebelumnya. Kertanegara sebagai raja Singasari pernah mengirimkan ekspedisi Pamalayu menuju Pulau Sumatera dan sekitarnya untuk menjalin hubungan dengan kerajaan -- kerajaan di pulau itu. Dengan menyebutkan daerah -- daerah itu ia menegaskan bahwa Majapahit adalah penerus dari kerajaan Jawa sebelumnya. Selain itu Gajah Mada paham bahwa pulau -- pulau barat itu sangat penting untuk jalur perdagangan laut. Sementara itu pulau -- pulau timur seperti Gurun, Dompu, dan Seram menjadi penting karena penghasil rempah -- rempah.
Selain rekanan, Majapahit juga melakukan invasi militer. Serangan pertama yang dilakukan oleh Gajah Mada ke arah timur Pulau Jawa, yaitu Bali, lebih tepatnya Bedahulu. Mpu Prapanca mengatakan dalam Negarakertagama bahwa raja Bali adalah jahat dan hina, sehingga tidak sulit bagi tentara Majapahit untuk menyingkirkannya. Selain itu, kisah ini tercatat dalam Babad Arya Kutawaringin dari Bali pada tahun 1343. Sementara itu Babad Buleleng menginformasikan bahwa Gajah Mada berperan untuk menunjuk penguasa Bali berikutnya, yaitu Sri Kresna Kapakisan.
Sementara itu, di daerah -- daerah lainnya tidak ditemukan prasasti atau catatan sejarah yang menyebutkan bahwa Majapahit pernah menaklukkan daerah tersebut. Menurut sejarawan Slamet Muljana, hubungan itu hanya sebatas dongeng, sebagai bentuk kekaguman pada Majapahit. Di Aceh, Samudra Pasai disebutkan mendapat serangan dari Majapahit, berasal dari tuturan cerita penduduk. Ada bukit bernama Manjak Pahit, berasal dari kata Majapahit. Catatan Dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1377 seorang raja Jawa mengirimkan tentara menuju Sriwijaya tua yang berpihak menuju Tiongkok.
Sejarawan -- sejarawan sepakat bahwa Majapahit berhasil berkembang menjadi sebuah kerajaan besar yang menjadi hegemoni di nusantara. Kerajaan ini penting karena menjadi pusat perhubungan jalur perdagangan di nusantara. Majapahit begitu digdaya di bawah kepempimpinan Gajah Mada. Pada tahun 1350, Ratu Tribuwana Tunggadewi mundur dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Berdua bersama Gajah Mada, Majapahit mencapai masa keemasan.
Blunder Besar: Perang Bubat
Jika ada sebuah noda hitam dalam karir patih berkharisma Majapahit, tentu jawabannya adalah Perang Bubat. Mungkin kita berpikir, untuk apa Majapahit melakukan ekspedisi jauh -- jauh ke Sumatra dan pulau -- pulau timur, sementara Pulau Jawa sendiri tidak bisa ditaklukkan. Kerajaan Sunda yang menguasai barat Pulau Jawa, ternyata menjadi duri dalam daging pada tubuh Majapahit. Semua itu bermula di Lapangan Bubat, utara Trowulan.
Pada tahun 1357, rombongan Kerajaan Sunda tiba di dermaga Bubat. Mereka bermaksud mengawinkan putri mahkota yaitu Dyah Pitaloka dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Namun kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman. Tentara -- tentara Majapahit menganggap bahwa sang putri merupakan persembahan bagi Kerajaan Majapahit, tidak jauh beda dengan sebuah upeti. Sunda dianggap sebagai taklukkan Majapahit. Alhasil, pihak Sunda pun berang. Perang terjadi. Namun jumlah tentara tentu tidak sepadan. Yang terjadi adalah pembantaian. Raja Sunda, Prabu Lingga Buana tewas dalam pertempuran itu. Putri Dyah Pitaloka, yang sudah terlanjur diliputi kesedihan, akhirnya bunuh diri.
Siapa yang bertanggung jawab atas Perang Bubat? Semua pihak menuding Gajah Mada. Akibat ulah Gajah Mada, hubungan dua kerajaan memburuk. Kerajaan Sunda tidak akan pernah berdamai dengan Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk pun berduka, terlebih mengingat bahwa ia memiliki darah Sunda dari leluhurnya. Akibatnya, putusan dewan memutuskan Gajah Mada untuk diasingkan.
Kisah perang Bubat berasal dari Kidung Sunda yang ditulis 300 tahun setelahnya, sehingga banyak kontroversi yang meliputinya. Terlebih naskah aslinya pernah dibawa ke Belanda sebelum dibawa ke Indonesia kembali pada 1920an, sehingga ada banyak kepentingan. Sementara itu kitab Pararaton terkesan tidak menyalahkan Patih Gajah Mada, sementara Negarakertagama tidak menyebutkan Perang Bubat sama sekali.
Apapun itu, itulah akhir kisah dari Gajah Mada. Beberapa pendapat menyebutkan ia diasingkan, beberapa pendapat menyebutkan ia mengundurkan diri. Dalam Negarakertagama, Hayam Wuruk menganugerahkan desa Madarakaripura yang indah dengan pemandangan alamnya. Ia pun menarik diri dari urusan pemerintahan dan beristirahat dari jabatan amangkubhumi. Sebuah pendapat menyebutkan ia kembali memerintah sebagai patih tahun 1359, dan melakukan penyerangan ke Dompu.
Mpu Prapanca mengisahkan bahwa Gajah Mada meninggal dengan wajar pada 1286 saka atau 1364 M. Sementara itu cerita -- cerita rakyat Jawa Timur mengisahkan bahwa Gajah Mada menarik diri dan menjadi pertapa yang menjalankan tahap wanaprastha di balik air terjun Madarakaripura. Kidung Sunda menyatakan bahwa ia moksa ke kahyangan.
Kematian Gajah Mada menjadi kehilangan besar bagi Majapahit. Hayam Wuruk mengadakan Dewan Sapta Prabu untuk mencari penggantinya. Pada akhirnya terpilihlah seorang amengkubhumi bernama Gajah Enggon. Namun dari sinilah titik awal kemunduran Majapahit.
Karakteristik Gajah Mada
Gajah Mada sering digambarkan sebagai sosok yang kharismatik, tajam, dan lugas. Kern dan Robson dalam analisanya mengenai Negarakertagama menyebutkan bahwa Gajah Mada adalah seorang yang mengesankan, berbicara tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat. Mada dalam bahasa Jawa kuno memiliki arti mabuk, sehingga Gajah Mada berarti seeekor gajah yang mabuk, beringas dalam menghadapi tantangan yang menghadang.
Gajah Mada pula adalah orang yang menghormati leluhur. Hal ini dapat dilihat dari prasasti Gajah Mada yang dikeluarkan pada tahun 1273 saka atau 1351 M, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Prasasti itu memberitakan pembangunan candi suci atau biasa disebut caitya bagi Kertanegara, Raja Singasari terakhir. Candi itu menjadi peringatan bagi raja Kertanegara yang gugur bersama para brahmana akibat serangan Jayakatwang dari Kediri.
Prasasti pembangunan ini menimbulkan teori bahwa ada kemungkinan Gajah Mada merupakan relasi dari Kertanegara, mungkin keturunan selirnya, karena kebiasaan pada masa itu adalah pendirian bangunan suci dilakukan oleh kerabat atau keturunan langsung. Maka tidak janggal ketika orang mengaitkan Gajah Mada sebagai kerabat Kertanegara.
 Sebenarnya tidak ada catatan khusus mengenai kelahiran Gajah Mada. Pararaton mencatat seseorang bernama Gajah Pagon yang menjadi teman dari Raden Wijaya, terluka dalam perang, dan dititipkan di desa Pandakan. Ada kemungkinan Gajah Pagon adalah anak selir Kertanegara, dan Gajah Mada merupakan anak dari Gajah Pagon yang kemudian mengabdi pada istana Trowulan. Nama Gajah Mada ditemukan pertama kali di Pararaton ketika menjadi pengawal pribadi/bhayangkari Raja Jayanagara.
Ketika Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa, respon yang didapatkan adalah cemooh dan ejekan. Berbagai petinggi negeri seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng tidak yakin akan keseriusan sang mahamantri. Tentu Gajah Mada marah dan murka. Ia kemudian membuktikan diri akan kesungguhannya dengan melakukan invasi ke berbagai daerah di Nusantara. Programnya berjalan selama 21 tahun dari 1336 hingga 1357.
Harapan Masa Depan
Nama Gajah Mada sebenarnya telah terlupakan ketika masa penjajahan Belanda. Namanya menjadi naik kembali ketika Mohammad Yamin melakukan kunjungan ke Trowulan dan mendapatkan pecahan terakota, salah satunya celengan dalam bentuk wajah pria gempal. Ia menafsirkan seperti itulah Gajah Mada. Mohammad Yamin kemudian menerbitkan buku Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Gambar rupa Gajah Mada dicetak besar di sampul bukunya.
Mohammad Yamin pada awalnya mendapat kecaman, karena tidak mungkin seorang tokoh besar dalam era Majapahit dicetak dalam sebuah celengan, melainkan diarcakan, Namun penokohan Gajah Mada membuat semangat persatuan kembali meningkat. Hal itu merupakan bukti bahwa bangsa ini bisa bersatu walau terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Momentum ini dimanfaatkan pemimpin seperti Soekarno dalam menghimpun perjuangan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.
Warisan Gajah Mada diabadikan ke dalam berbagai bentuk. Sebuah universitas di Yogyakarta dinamakan atas dirinya. Satelit pertama Indonesia adalah Satelit Palapa. Selain itu berbagai nama jalan di Indonesia diabadikan atas nama dirinya.
Sumber -- sumber:
Wikipedia, historia id, kompas, tirto, detik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H