Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sang Patih Legenda: Gajah Mada

4 Februari 2023   19:36 Diperbarui: 4 Februari 2023   19:43 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gajah Mada (sumber: Intisari.grid.id)

Jika ada sebuah noda hitam dalam karir patih berkharisma Majapahit, tentu jawabannya adalah Perang Bubat. Mungkin kita berpikir, untuk apa Majapahit melakukan ekspedisi jauh -- jauh ke Sumatra dan pulau -- pulau timur, sementara Pulau Jawa sendiri tidak bisa ditaklukkan. Kerajaan Sunda yang menguasai barat Pulau Jawa, ternyata menjadi duri dalam daging pada tubuh Majapahit. Semua itu bermula di Lapangan Bubat, utara Trowulan.

Pada tahun 1357, rombongan Kerajaan Sunda tiba di dermaga Bubat. Mereka bermaksud mengawinkan putri mahkota yaitu Dyah Pitaloka dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Namun kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman. Tentara -- tentara Majapahit menganggap bahwa sang putri merupakan persembahan bagi Kerajaan Majapahit, tidak jauh beda dengan sebuah upeti. Sunda dianggap sebagai taklukkan Majapahit. Alhasil, pihak Sunda pun berang. Perang terjadi. Namun jumlah tentara tentu tidak sepadan. Yang terjadi adalah pembantaian. Raja Sunda, Prabu Lingga Buana tewas dalam pertempuran itu. Putri Dyah Pitaloka, yang sudah terlanjur diliputi kesedihan, akhirnya bunuh diri.

Siapa yang bertanggung jawab atas Perang Bubat? Semua pihak menuding Gajah Mada. Akibat ulah Gajah Mada, hubungan dua kerajaan memburuk. Kerajaan Sunda tidak akan pernah berdamai dengan Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk pun berduka, terlebih mengingat bahwa ia memiliki darah Sunda dari leluhurnya. Akibatnya, putusan dewan memutuskan Gajah Mada untuk diasingkan.

Kisah perang Bubat berasal dari Kidung Sunda yang ditulis 300 tahun setelahnya, sehingga banyak kontroversi yang meliputinya. Terlebih naskah aslinya pernah dibawa ke Belanda sebelum dibawa ke Indonesia kembali pada 1920an, sehingga ada banyak kepentingan. Sementara itu kitab Pararaton terkesan tidak menyalahkan Patih Gajah Mada, sementara Negarakertagama tidak menyebutkan Perang Bubat sama sekali.

Apapun itu, itulah akhir kisah dari Gajah Mada. Beberapa pendapat menyebutkan ia diasingkan, beberapa pendapat menyebutkan ia mengundurkan diri. Dalam Negarakertagama, Hayam Wuruk menganugerahkan desa Madarakaripura yang indah dengan pemandangan alamnya. Ia pun menarik diri dari urusan pemerintahan dan beristirahat dari jabatan amangkubhumi. Sebuah pendapat menyebutkan ia kembali memerintah sebagai patih tahun 1359, dan melakukan penyerangan ke Dompu.

Mpu Prapanca mengisahkan bahwa Gajah Mada meninggal dengan wajar pada 1286 saka atau 1364 M. Sementara itu cerita -- cerita rakyat Jawa Timur mengisahkan bahwa Gajah Mada menarik diri dan menjadi pertapa yang menjalankan tahap wanaprastha di balik air terjun Madarakaripura. Kidung Sunda menyatakan bahwa ia moksa ke kahyangan.

Kematian Gajah Mada menjadi kehilangan besar bagi Majapahit. Hayam Wuruk mengadakan Dewan Sapta Prabu untuk mencari penggantinya. Pada akhirnya terpilihlah seorang amengkubhumi bernama Gajah Enggon. Namun dari sinilah titik awal kemunduran Majapahit.

Karakteristik Gajah Mada

Gajah Mada sering digambarkan sebagai sosok yang kharismatik, tajam, dan lugas. Kern dan Robson dalam analisanya mengenai Negarakertagama menyebutkan bahwa Gajah Mada adalah seorang yang mengesankan, berbicara tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat. Mada dalam bahasa Jawa kuno memiliki arti mabuk, sehingga Gajah Mada berarti seeekor gajah yang mabuk, beringas dalam menghadapi tantangan yang menghadang.

Gajah Mada pula adalah orang yang menghormati leluhur. Hal ini dapat dilihat dari prasasti Gajah Mada yang dikeluarkan pada tahun 1273 saka atau 1351 M, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Prasasti itu memberitakan pembangunan candi suci atau biasa disebut caitya bagi Kertanegara, Raja Singasari terakhir. Candi itu menjadi peringatan bagi raja Kertanegara yang gugur bersama para brahmana akibat serangan Jayakatwang dari Kediri.

Prasasti pembangunan ini menimbulkan teori bahwa ada kemungkinan Gajah Mada merupakan relasi dari Kertanegara, mungkin keturunan selirnya, karena kebiasaan pada masa itu adalah pendirian bangunan suci dilakukan oleh kerabat atau keturunan langsung. Maka tidak janggal ketika orang mengaitkan Gajah Mada sebagai kerabat Kertanegara.

 Sebenarnya tidak ada catatan khusus mengenai kelahiran Gajah Mada. Pararaton mencatat seseorang bernama Gajah Pagon yang menjadi teman dari Raden Wijaya, terluka dalam perang, dan dititipkan di desa Pandakan. Ada kemungkinan Gajah Pagon adalah anak selir Kertanegara, dan Gajah Mada merupakan anak dari Gajah Pagon yang kemudian mengabdi pada istana Trowulan. Nama Gajah Mada ditemukan pertama kali di Pararaton ketika menjadi pengawal pribadi/bhayangkari Raja Jayanagara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun