Ketika Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa, respon yang didapatkan adalah cemooh dan ejekan. Berbagai petinggi negeri seperti Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng tidak yakin akan keseriusan sang mahamantri. Tentu Gajah Mada marah dan murka. Ia kemudian membuktikan diri akan kesungguhannya dengan melakukan invasi ke berbagai daerah di Nusantara. Programnya berjalan selama 21 tahun dari 1336 hingga 1357.
Harapan Masa Depan
Nama Gajah Mada sebenarnya telah terlupakan ketika masa penjajahan Belanda. Namanya menjadi naik kembali ketika Mohammad Yamin melakukan kunjungan ke Trowulan dan mendapatkan pecahan terakota, salah satunya celengan dalam bentuk wajah pria gempal. Ia menafsirkan seperti itulah Gajah Mada. Mohammad Yamin kemudian menerbitkan buku Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Gambar rupa Gajah Mada dicetak besar di sampul bukunya.
Mohammad Yamin pada awalnya mendapat kecaman, karena tidak mungkin seorang tokoh besar dalam era Majapahit dicetak dalam sebuah celengan, melainkan diarcakan, Namun penokohan Gajah Mada membuat semangat persatuan kembali meningkat. Hal itu merupakan bukti bahwa bangsa ini bisa bersatu walau terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Momentum ini dimanfaatkan pemimpin seperti Soekarno dalam menghimpun perjuangan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia.
Warisan Gajah Mada diabadikan ke dalam berbagai bentuk. Sebuah universitas di Yogyakarta dinamakan atas dirinya. Satelit pertama Indonesia adalah Satelit Palapa. Selain itu berbagai nama jalan di Indonesia diabadikan atas nama dirinya.
Sumber -- sumber:
Wikipedia, historia id, kompas, tirto, detik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H