Aku mengernyit mencerna ucapan Mahmud. Namun begitu ia dan anak itu lenyap dari pandangan, naiklah seorang kolega dengan tergesa - gesa. Napasnya yang tersengal - sengal menunjukkan sesuatu yang gawat baru terjadi.
"Kawan - kawan! Kawan - kawan, aku minta maaf. Bocah itu sudah hilang."
Kami terkejut. Andy kembali dengan wajah pucat dan terlihat seperti seorang yang menderita. Ia terduduk dan mengambil napas.
"Gerakan anak itu cepat sekali. Si bocah tersesat itu. Ia lari dari padaku. Aku berusaha mengejarnya hingga beberapa blok, namun tidak terkejar. Ia lenyap dari pandangan. Aku sekali lagi minta maaf, kawan - kawan, saksi utama kita sudah hilang."
Aku berusaha untuk tenang. "Tenang saja, Andy, toh kita tahu bahwa ia berasal dari panti asuhan di samping ini. Mereka pasti masih punya datanya."
Usep dan Brotoseno saling berpandangan. Aku mengernyit, "Jangan bilang kalian tidak tahu namanya?"
"Bukankah kau sendiri mendengarnya pagi tadi, Kilesa? Ia menjawab dengan berbelit - belit."
"Tidak difoto sama sekali? Sidik jari?"
Usep dan Brotoseno menggeleng bersamaan. Aku menghela napas. Aku sudah beberapa kali dikesalkan oleh partnerku Charles, namun untuk beberapa inkompetensi kolega demi kolega dalam satu urutan waktu, sepertinya Tuhan sedang menghukumku. Ya, apa boleh buat.
Aku mencoba melupakan dengan mendiskusikan beberapa bukti lain yang tersisa. Tidak banyak. Sebuah sepeda motor di garasi yang memiliki identitas STNK Valentina di kuncinya, sebuah surat tanah atas nama Valentina di atas meja, dan seekor kucing yang mengeong tiada henti di bingkai jendela. Aku beberapa kali harus mengusir kucing ini dari tempatnya.
Brotoseno memulai analisis, "Ini cukup aneh. Di seluruh rumah ini, hanya tiga identitas ini yang ditemukan. KTP Valentina di dompetnya, STNK di motornya, dan surat tanah di atas meja. Ketiganya terserak. Sementara identitas dua orang tua Anita, lenyap sama sekali bagaikan angin."