Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angin Ribut

10 Agustus 2021   19:01 Diperbarui: 10 Agustus 2021   19:26 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANGIN RIBUT

"Jax, benarkah jalan satu -- satunya adalah di hadapan kita ini?"

Tupai kecil itu turun dari pundakku dan berlari menyusuri tebing di mana kami berada. Ia melihat ke sekeliling penjuru, lalu mengedikkan bahu.

"Benar. Dexter, tidak ada jalan lain. Kita harus melewati angin ribut ini."

Tepat di depan tebing di mana kami berada, sebuah angin puyuh menghalangi jalan. Angin itu terbentuk melingkar dari bawah hingga ujung langit, kami tidak bisa melihat baik ujung atas maupun sumber pusaran di bawah sana. Sementara itu di balik angin aku bisa melihat samar -- samar jalan terusan dari Khasmi Village ini. Sepertinya itulah satu -- satunya jalan. Tidak mungkin memutar atau kembali ke pintu desa.

Jax berceletuk, "Kita bisa menggunakan Wing Dash yang diberikan oleh One Hundred Year Old Man."

"Apakah kau yakin? Kemampuan itu bisa digunakan jika keadaan tenang, Jax. Kalau dipakai melewati angin ribut ini, aku tidak yakin."

"Lalu kita harus bagaimana? Apa kau mau menembakkan Gatling Gunmu ke arah angin ribut? Coba saja."

Aku tahu pernyataan terakhir tupai itu sebenarnya adalah sebuah sarkas, tapi kucoba juga satu tembakan, toh tidak ada ruginya pula. Sesuai dugaan laser kuning itu lenyap ditelan angin.

Sementara itu angin ribut itu semakin menjadi -- jadi. Tadi awalnya hanya benda -- benda kecil yang berada di dalamnya, seperti dedaunan, kerikil, dan gerimis. Sekarang aku melihat beberapa batang pohon sudah ikut terserap, dan salah satunya terlempar ke arah kami.

"Awas!" ujarku memeringati Jax.

Dahan kayu itu tepat menghantam tempat di mana Jax berdiri, untung saja tupai kecil itu gesit dalam menghindar. Ia pun menggeleng -- geleng.

"Kita tidak punya banyak waktu. Aku punya ide, Dexter. Kau coba ikuti pola angin ribut itu dari samping, lalu aktifkan Wing Dash pada saat yang tepat. Mudah -- mudahan kau bisa sampai ke seberang."

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Aku akan menunggu di sini. Cepatlah, mengambil Blue Orb untuk Emily lebih penting daripada memikirkanku."

Aku menghela napas. Jax benar. Emily menungguku di Tower of Redemption. Aku tidak bisa membuang waktu. Kuambil Wing Dash dari ransel dan kupasang di bootku. Aku segera mengambil ancang -- ancang. Jax mengangguk.

"Good luck, bro."

Aku berlari sekuat tenaga menuju angin ribut. Tenaga angin yang kuat segera menyambut. Untuk sesaat aku sempat kehilangan kesadaran, namun aku segera terjaga. Kuraih sepatuku, lalu berusaha membuka mata untuk melihat dataran seberang. Di tengah angin ribut seperti ini, membuka mata menjadi sangat sulit. Dengan hati -- hati, aku membuka mata dengan menyipit. Namun aku terkejut. Aku tidak tahu di mana aku berada. Tidak ada lagi dataran seberang, tidak ada lagi tebing awal, tidak ada lagi Jax. Aku tersadar. Aku sudah terbawa menuju ujung langit.

"Tidaaaakkkkk...!" ujarku putus asa.

Aku merasakan tubuhku berputar -- putar, lalu dengan satu hentakan terhempas keluar dari angin ribut.

"Sayang, kau tidak apa -- apa?"

Sebuah suara lembut menyapaku. Aku melihat ke samping. Aku mengenalnya.

"Kau mimpi buruk lagi, ya? Tenanglah, semua akan baik -- baik saja."

Aku menarik napas panjang. Delima memegang tanganku. Kusadari keringat membasahi sekujur tubuhku.

"Kita tidur lagi, ya, sayang?" ujar Delima menyandarkan kepalanya di bahuku, lalu memejamkan mata.

Kembali aku menghela napas. Semuanya hanya mimpi belaka. Tidak ada Jax. Tidak ada Khasmi Village. Tidak ada Emily. Yang ada di sampingku adalah Delima, istriku yang tercinta. Lagipula namaku bukanlah Dexter, melainkan Andika Sutomo.

Huh, ada -- ada saja.

Aku membaringkan diri dan menatap langit -- langit. Yang lebih penting, tidak ada benda yang bernama angin ribut. Kupejamkan mata berusaha mengingat angin ribut itu. Di mimpiku sepertinya melewati angin ribut itu sangat sulit. Padahal, ketika aku mengingat cicilan rumah, cicilan mobil, amarah pak bos, tekanan mertua yang ingin cucu, semua itu jauh lebih sulit. Ketika kurenungkan kembali, melewati angin ribut itu bukan apa -- apa dibanding permasalahan hidupku ini.

Aku hanya bisa tersenyum. Berusaha memejamkan mata untuk kembali lagi menuju Khasmi Village. Hahaha, mana mungkin bisa kembali ke mimpi yang sama? Andika Sutomo, kau terlalu banyak bermain game!

Aku membuka mata dan menyaksikan bahwa Gatling Gun sudah tergenggam di tangan kananku. Jauh di depan, aku melihat tebing yang familiar. Dan di depannya, aku menyaksikan rintangan yang kuhadapi sebelumnya. Aku hanya tertawa lebar.

Jax turun dari pundakku dan mengernyit, "Ada apa, Dexter? Mengapa kau tertawa?"

"Bukan apa -- apa, Jax. Tapi aku senang berada di sini. Lihat angin ribut di sana itu? Kita akan menaklukkan angin bodoh itu! Lihat saja!"

Kisah lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun