Sebuah suara lembut menyapaku. Aku melihat ke samping. Aku mengenalnya.
"Kau mimpi buruk lagi, ya? Tenanglah, semua akan baik -- baik saja."
Aku menarik napas panjang. Delima memegang tanganku. Kusadari keringat membasahi sekujur tubuhku.
"Kita tidur lagi, ya, sayang?" ujar Delima menyandarkan kepalanya di bahuku, lalu memejamkan mata.
Kembali aku menghela napas. Semuanya hanya mimpi belaka. Tidak ada Jax. Tidak ada Khasmi Village. Tidak ada Emily. Yang ada di sampingku adalah Delima, istriku yang tercinta. Lagipula namaku bukanlah Dexter, melainkan Andika Sutomo.
Huh, ada -- ada saja.
Aku membaringkan diri dan menatap langit -- langit. Yang lebih penting, tidak ada benda yang bernama angin ribut. Kupejamkan mata berusaha mengingat angin ribut itu. Di mimpiku sepertinya melewati angin ribut itu sangat sulit. Padahal, ketika aku mengingat cicilan rumah, cicilan mobil, amarah pak bos, tekanan mertua yang ingin cucu, semua itu jauh lebih sulit. Ketika kurenungkan kembali, melewati angin ribut itu bukan apa -- apa dibanding permasalahan hidupku ini.
Aku hanya bisa tersenyum. Berusaha memejamkan mata untuk kembali lagi menuju Khasmi Village. Hahaha, mana mungkin bisa kembali ke mimpi yang sama? Andika Sutomo, kau terlalu banyak bermain game!
Aku membuka mata dan menyaksikan bahwa Gatling Gun sudah tergenggam di tangan kananku. Jauh di depan, aku melihat tebing yang familiar. Dan di depannya, aku menyaksikan rintangan yang kuhadapi sebelumnya. Aku hanya tertawa lebar.
Jax turun dari pundakku dan mengernyit, "Ada apa, Dexter? Mengapa kau tertawa?"
"Bukan apa -- apa, Jax. Tapi aku senang berada di sini. Lihat angin ribut di sana itu? Kita akan menaklukkan angin bodoh itu! Lihat saja!"