"Apa?" tanyaku.
"Kau tahu, kau terganggu saat aku selalu mengulang pernyataan ini kemarin di apartemen. Tapi nampaknya sekarang fakta ini menjadi penting."
"Apa?" sekali lagi ujarku sambil memberi penekanan.
"Bayi itu ditemukan dalam pelukan Andrea ketika kita sampai ke sana kemarin. Dan ia tertawa tanpa henti."
Aku mendesah.
***
Ada baiknya kuceritakan dulu secara lengkap kasus ini, dari kemarin. Mulai dari apartemen. Seorang wanita menelepon kantor polisi menyatakan bahwa ada pembunuhan di sebuah apartemen bertingkat di tengah kota. Sebenarnya daripada apartemen, tempat ini lebih cocok disebut kos -- kosan bertingkat, atau bahkan mungkin rumah susun. Bau apek dan kotoran serta sampah di mana -- mana, menandakan bahwa penghuninya merupakan warga kelas menengah ke bawah.
Ketika kami tiba di lantai lima, orang -- orang sudah berkerumun di depan kamar TKP. Untung kami menginstruksikan kepada sang penelepon untuk tidak membiarkan seorang pun masuk ke dalam kamar. Ia menyambut kami dengan wajah gelisah.
"Andrea...Andrea...sudah meninggal."
"Kau kenal dengan orang ini?"
Ia mengangguk. Tim kepolisian pun segera mengamankan TKP. Ketika Mahmud akan segera mengecek kondisi medis korban, terdengar sebuah suara tertawa. Suara bayi. Aku bersegera masuk. Untuk pertama kalinya aku melihat korban. Lantai sudah dipenuhi oleh darah merah, bersumber dari leher Andrea yang sudah tidak bernyawa, sembari memeluk seorang bayi yang terbungkus kain selimut. Dan bayi itu terus tertawa tanpa henti. Aku hanya bisa menghela napas. Di samping, Charles menggodaku.