Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Sepatu Rusak

10 Juli 2020   14:56 Diperbarui: 10 Juli 2020   15:06 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KASUS SEPATU RUSAK

"Kau tahu, Kilesa, bahwa waktu -- waktu seperti ini adalah waktu paling bahagia dalam hidupmu. Ya, waktu liburan. Jika sedang menangani kasus, kau tampak sangat tertekan."

Aku tersenyum, menyingkirkan kaca mata hitam keroppi, kemudian meraih jus jambu di meja samping. "Jangan berlebihan, pak tua. Aku tidak pernah tertekan dengan pekerjaan detektif. Malahan, aku menikmatinya."

"Tapi sedari tadi handphonemu tidak pernah berhenti berbunyi. Aku sempat mengintip. Charles, bukan, partnermu itu. Berulang kali terlihat di layar. Nampaknya ia sedang kebingungan."

Aku masih tersenyum, "Ya, memang. Detektif penggantiku masih terbilang baru. Mungkin kau ada benarnya, pak tua. Aku memang butuh liburan ini."

Kolegaku di samping tertawa kecil, "Ya, bersyukurlah kau menikah dengan seseorang yang berasal dari keluarga terpandang, punya kolam kecil di belakang rumahnya. Setidaknya Lauren masih mencintaimu."

Aku mengangguk, "Ya, mungkin itulah berkat Tuhan, Abdul. Juga aku bersyukur punya mertua yang suka bercanda dan sarkas. Hahaha."

Abdul tertawa kecil kemudian berdiri dan beranjak pergi, sebagai gantinya dua buah ceburan terjadi di kolam renang di hadapanku. Beberapa saat kemudian dua kepala anak kecil muncul di permukaan. Salah seorang tertawa gembira.

"Paman Kilesa, ayo masuk sini ke kolam renang." ujarnya sambil melempar bola plastik.

"Ayo, paman!" yang satu lagi berseru.

Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Kedua keponakanku itu memang tiada habisnya dalam bertingkah. Energinya tidak habis -- habis. Pagi tadi saja, jam 6 mereka sudah membangunkanku untuk bermain game online. Karena kesal, hasilnya mereka kubantai. Untungnya mereka tidak baper.

"Idris, Jansen, jangan kasar -- kasar. Paman Kilesa tidak suka. Dari pagi kalian sudah membuatnya kesal."

Istriku masuk sambil membawa potongan semangka yang disajikan di atas piring besar, cukup banyak jumlahnya. Kedua keponakanku bersorak. Mereka keluar dari kolam renang, menimbulkan percik yang lebih -- lebih mengesalkan, dan langsung menyambar semangka. Tawa cekikikan terdengar dan sejujurnya aku cukup senang mendengarnya. Jika berada di TKP, tentu kau tidak pernah akan berhadapan dengan tawa, melainkan tangis dan teriakan.

"Makanlah, tuan besar. Sedari tadi kulihat kau hanya sibuk dengan handphonemu saja. Si Charles bodoh itu tidak mengganggumu lagi, bukan?"

"Oh, ia akan tetap mengganggu, bahkan ketika aku sudah mati. Namun, tenang saja, cantik, semua bisa kutangani." ujarku sambil mengecup pipi Lauren. "Ngomong -- ngomong, di mana kakakmu? Sedari pagi aku belum melihat."

"Ia bersama suaminya sedang mengurus STNK mobil VW kepunyaan ayah. Sebagai gantinya aku yang harus menjaga Idris dan Jansen. Huh."

Seseorang kemudian muncul dari belakang. Ia adalah seorang pemuda yang memiliki senyum menawan. Adik Lauren yang belum menikah, dan masih tinggal di rumah Abdul. Johnny namanya. Ia juga menyambar sepotong semangka.

"Idris dan Jansen masih lumayan dibandingkan Tomi dan Sherly, Lauren. Untungnya pada liburan keluarga kali ini, orang -- orang itu tidak datang."

Lauren menaikkan alis, "Sampai sekarang, sampai sekarang, aku masih belum paham mengapa Heru tertarik dengan Renjana. Perempuan itu laksana seorang iblis. Makanya anak -- anaknya berwatak seperti ibunya. Kak Leni juga setuju dengan pendapatku."

"Hus, jangan berkata seperti itu, Lauren." Abdul sudah  kembali ke tempat duduknya, sebuah kursi santai di depan kolam renang. "Setidaknya mereka tidak pernah meminta kalian berdua uang, bukan? Memang kelakuannya sedikit mengesalkan."

"Iya, tapi..." Lauren masih memberenggut.

Abdul tertawa kecil, "Tiga anakku sudah menikah. Heru dengan Renjana, Leni dengan Bambang, lalu Lauren dengan Kilesa. Tinggal kau Johnny, kapan kau menikah?"

Johnny hanya tersenyum kecut, "Ya, bagaimana, calonnya saja belum ada."

"Dicari dong." Abdul dan Lauren berkata bersamaan, membuat kami semua tertawa terbahak -- bahak. Tanpa dinyana kami terlupa bahwa keadaan kolam renang kini terlalu sepi tanpa adanya ceburan lagi, karena Idris dan Jansen sudah masuk ke dalam rumah. Kami baru sadar ketika Idris datang berlari keluar dengan pesawat mainan berada di genggaman tangannya. Ia meluncur terbang ke kolam renang.

"Boeing 505, meluncur!" ujarnya sambil menirukan suara desing pesawat terbang, menceburkan diri ke kolam renang.

"Boeing 707, ikut meluncur!" Di belakangnya Jansen ikut melayang menuju kolam renang. Alhasil cipratan air pun membasahi seluruh anggota keluarga. Bahkan potongan semangka pun basah karena air.

"Idris! Jansen! Yang benar saja!" ujar Lauren marah. Namun Idris dan Jansen tidak peduli. Keduanya asik bermain -- main di dalam kolam renang. Sementara itu di sebelahku Johnny sama sekali tidak tertarik pada tingkah keponakannya. Matanya sibuk tertuju pada layar handphone.

"Aku melihat nama seorang wanita, Johnny. Kenanga. Semoga orangnya seharum namanya."

Johnny mendelik dan tersenyum tipis. "Masih pdkt, om Kilesa, belum ada kata sepakat."

"Well, cukup serius karena ia mengajakmu ke caf itu siang ini. Caf Anekdot. Aku tahu caf itu. Cukup pricy."

Lauren terlihat kesal. "Sepertinya kau senang ikut campur, tuan detektif? Tidak semua orang senang dilihat percakapannya, Kilesa. Kau tahu itu. Di mana sopan santunmu?"

"Kau juga tahu aku seorang detektif. Lagipula Johnny di sini tidak marah. Bukankah begitu, Johnny?"

Johnny menaikkan alis, "Malah kadang aku butuh saran untuk sebuah hubungan, kak Lauren."

Sebagai akibatnya Lauren berkacak pinggang dan mengeluarkan keluhan dan makian. Ia kemudian masuk ke dalam rumah, masih dengan berkacak pinggang. Aku mendengar sisa -- sisa kejengkelannya.

"Keluarga sialan, sedari pagi tidak ada yang membuat senang. Huh!"

Aku hanya tertawa dalam hati. Sifat pemarah Lauren hanya di kulitnya saja. Dalamnya baik luar biasa. Hatinya sebenarnya lembut, karena itulah aku menyukainya. Jika ia kembali ke luar sini, ia pasti sudah berbeda dari sebelumnya. Sementara itu Johnny di samping menampilkan tampang yang sangat serius.

"Nampaknya kau benar, om Kilesa. Kenanga benar -- benar serius. Ia menungguku jam 11 siang. Kalau begitu, aku harus segera siap -- siap." Johnny pun beranjak pergi.

Abdul tersenyum, "Anak muda, akan menjadi budak cinta pada waktunya. Hahaha."

Aku tertawa kecil menanggapi ujaran dari Abdul. Tapi ia melanjutkan, dan kata -- katanya berikutnya mengagetkanku.

"Walau aku menganjurkan Johnny untuk menikah, tapi aku tidak suka dengan Kenanga. Ia pernah datang ke sini sekali, dan keliatan bahwa ia bukan anak baik -- baik. Pakaiannya minim, dan sopan santunnya tidak ada sama sekali kepada orang tua."

"Lalu mengapa kau tidak melarang?"

"Sudah, Kilesa, sudah kulakukan. Namun keempat anakku memiliki watak sama. Kau pasti paham dengan sifat Lauren, yang semakin dilarang akan semakin bernafsu melakukannya. Johnny pun sama seperti itu. Aku sekarang hanya bisa berharap bahwa hubungan ini akan putus. Hahaha. Apakah aku berdosa dengan punya pemikiran seperti itu?"

Aku hanya garuk -- garuk kepala menanggapi perkataan Abdul. Ia benar. Lauren punya sikap keras kepala. Tiba -- tiba terdengar klakson dari halaman depan. Nampaknya Leni dan Bambang sudah kembali dari mengurus STNK. Teringat mobil VW, aku mencoba bertanya kepada Abdul.

"Pak tua, sebenarnya aku tertarik dengan mobil VWmu itu. Aku mencoba bertanya dengan sopan. Adakah mobil VW itu dijual?"

Abdul terdiam beberapa saat, seperti sedang berpikir. Ia lalu menjawab, "Sebenarnya mesinnya sudah tua. Sudah mulai ngadat. Paling kuat tahan setahun dua tahun lagi. Apakah kau yakin ingin membelinya? Atau sebaiknya kuberikan saja secara cuma -- cuma?"

Aku tertawa miris, "Pak tua, untuk seorang pemilik mobil VW kodok keluaran tahun 1971, tidak baik untuk mengatakan mobil itu tidak berhar..."

Perkataanku terpotong dengan sebuah seruan pemuda dari dalam rumah. Itu suara Johnny, pikirku. Sebenarnya aku malas untuk mengecek apa yang menyebabkan teriakan histeris dari anak tunggal keluar Abdul Budiman. Oleh karena itu aku adalah orang yang terakhir masuk ke dalam ruangan. Johnny berada di samping rak sepatu dengan tampang memendam amarah. Di bawahnya, sepasang sepatu chukka berwarna abu -- abu di tergeletak sembarangan. Dan sepatu itu rusak. Rusak dalam artian ada yang sengaja merusaknya, karena bagian tumitnya sudah terbelah dua bagian seperti kena gunting. Tali di bagian depan juga sudah tergunting.

Leni dan Bambang yang baru masuk ke lorong tengah terperangah melihat kelakuan Johnny, juga Abdul dan anak -- anak yang berasal dari kolam renang. Lauren kemudian datang sambil mengenakan celemek dari arah dapur, dan terakhir adalah diriku yang datang dengan muka datar. Kadang -- kadang aku benci dengan sikap empati lemahku. Idris berseru.

"Paman Johnny, lihat! Sepatumu rusak!"

Johnny membalas berseru, "Tentu saja, dongo! Aku tahu! Sepatuku rusak! Sialan, sialan semuanya! Arrgh."

"Siapa yang merusak sepatu ini? Tapi...lagipula, apakah perlu membesar -- besarkan seperti ini? Ini hanya sepasang sepatu saja, Johnny."

"Kau katakan agar aku cepat menikah, papa. Ya inilah usahaku. Kenanga suka dengan sepatu ini. Dan sekarang...ahh."

Lenguhan Johnny diikuti dengan Abdul yang berjanji akan segera membelikan sepatu lagi, juga Lauren yang mencibir dan menyatakan Johnny adalah manifestasi dari budak cinta yang sebenarnya. Sementara itu Leni yang sepertinya kenal dengan sifat Johnnya memilih untuk tidak ambil pusing dan segera naik ke lantai dua bersama suaminya untuk beristirahat. Pada akhirnya, semua meninggalkan Johnny yang terduduk kecewa di lorong tengah. Semua, kecuali diriku.

Aku berjalan dengan tenang. Hal kedua yang kubenci dari diriku adalah sifat detektifku merupakan sifat yang alamiah.

"Sepatumu itu tidak rusak karena bencana alam, atau alam gaib, Johnny. Ada yang merusaknya."

Johnny yang bersender kecewa di dinding menyingkirkan tangannya lalu menatapku. "Siapa, om Kilesa? Kucing tetangga?"

"Manusia, tentu saja."

Johnny menarik ingus di hidungnya walaupun ia tidak sedang demam atau menangis. "Maksud om..."

"Ya, tentu saja. Dari keenam penghuni rumah ini, diluar diriku dan kau, ada seseorang yang sudah menggunting sepatumu."

"Aku tidak ingin menuduh sembarangan, om, lagipula aku tidak suka berlama -- lama. Aku tidak punya waktu lagi. Jam sebelas tinggal sebentar lagi. Aku harus segera pergi."

"Ya, pergi saja."

Johnny pun berdiri dan segera mengenakan sepatu converse miliknya. Sepatu itu tidak menarik. Sudah usang dan kumel. Seperti punya anak kuliahan. Aku tersenyum di dalam hati.

"Kenanga akan menganggapmu tidak keren Johnny, kau tahu itu."

Johnny kembali melenguh, "Aku tahu, om. Aku sudah janji datang. Kalau aku tidak datang, aku pasti diputuskan. Berdoa sajalah, om."

"Ya, goodluck."

Dan Johnny pun beringsut keluar rumah dengan tergesa -- gesa. Aku tersenyum kecil. Di halaman dalam, aku melihat Abdul masih berada di kursi santainya. Aku perlahan -- lahan  berjalan dan mengambil tempat di sampingnya.

Ia masih memandang ke arah kolam ketika aku berkata, "Jadi, rencanamu gagal, pak tua? Johnny masih tetap pergi. Hehehe."

Abdul menatapku dan tertawa kecut, "Jadi kau menuduhku yang merusak sepatu itu, Kilesa? Seperti inikah pekerjaan detektifmu?"

Aku menoleh dan menatap kolam, "Tidak, aku hanya menduga -- duga saja. Tapi, di antara semua penghuni rumah ini, engkaulah yang memiliki motif paling kuat agar Johnny tidak pergi."

Penjahat kelas teri akan dengan mudah mengakui perbuatannya, namun Abdul adalah seseorang dengan mental yang kuat. "Kuberitahu, Kilesa. Kalau aku menginginkan sesuatu, hal itu pasti terjadi. Jika aku menginginkan Johnny tidak pergi, hal itu pasti terjadi. Aku tidak pernah gagal, Kilesa."

Aku mengangguk -- angguk, "Aku setuju denganmu, pak tua."

Abdul menoleh dan memancing, "Jadi, bukan aku pelakunya? Aku sudah bebas dari tuduhan? Hahaha, ini semua menarik. Aku menarik kata -- kataku. Pekerjaan detektif sungguh menarik."

"Kau belum lepas dari tuduhan. Namun, betul, pak tua. Ini memang menarik. Dan sebenarnya, aku sudah tahu siapa pelakunya."

Abdul terdiam namun masih memertahankan senyumnya. "Dan pelaku ini ada diantara penghuni rumah ini?"

Aku mengangguk. Ia melanjutkan, "Siapa?"

Aku terdiam sebentar, lalu menjawab, "Sebenarnya menurutku, pak tua, pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa."

"Aku tidak suka bertele -- tele, Kilesa. Tapi apakah kau yakin bahwa pelakunya adalah penghuni rumah ini? Aku tidak percaya dari keluargaku ada yang berani merusak sepatu Johnny."

"Ingatanku tajam, pak tua. Ketika aku turun dari tingkat dua menuju halaman dalam jam 9 pagi tadi, sepatu itu masih terpampang dengan utuh dan baik di raknya."

"Maka waktu perusakan itu adalah antara jam sembilan dan jam sepuluh pagi ini. Hanya dalam waktu sejam, sepatu itu sudah rusak."

"Dan dari pengamatanku, semua penghuni rumah ini dalam waktu sejam itu masuk ke dalam rumah, setidaknya sekali. Jadi semuanya punya waktu itu untuk menyentuh sepatu itu." papar Kilesa.

"Kau benar, aku sempat masuk ke dalam rumah. Lauren juga."

"Idris dan Jansen, mereka mengambil pesawat terbang."

Abdul terbelalak, "Anak -- anak itu, bagaimana mungkin mereka..."

"Juga Bambang dan Leni. Walaupun mereka baru datang, mereka memiliki kesempatan untuk merusakkan sepatu itu."

Abdul menggeleng -- geleng. "Luar biasa, walau mereka tidak tahu bahwa Johnny akan pergi untuk menemui Kenanga?"

"Seperti itulah cara deduksi polisi bekerja, pak. Suka atau tidak suka."

"Namun aku sebenarnya tidak suka dengan hal yang berbelit -- belit, Kilesa. Sepertinya pun kau tidak akan memberitahu siapa pelaku perusak sepatu itu. Sepertinya kau melindungi orang itu. Aku benci menebak -- nebak. Namun, katamu, kau tahu alasannya. Apa alasannya? Supaya Johnny tidak pergi menemui Kenanga?"

Aku mengangguk. "Lebih tepatnya, agar hubungan seperti Heru dan Renjana tidak terulang lagi di keluarga ini."

Abdul kembali terbelalak, "Wow! Aku tidak berpikir ke sana." Ia terdiam sejenak, "Jadi sebenarnya, orang ini melakukan kebaikan untuk keluarga ini?"

Aku kembali mengangguk, "Maka setiap orang di rumah ini memiliki motif. Hampir semuanya tidak suka kepada keluarga Heru dan Renjana. Kau juga, pak tua, walaupun berusaha memendam dalam hati."

Abdul membuang napas panjang, "Kalau begitu, aku tidak mengetahui siapa pelakunya pun tidak mengapa. Ia bekerja untuk tujuan yang baik."

"Terserah padamu."

Pada waktu ini Lauren kembali muncul dan mengatakan bahwa makan siang sudah siap. Kedua bocah yang masih bermain di dalam kolam renang pun dengan menggerutu terpaksa naik dan melepaskan pesawat terbangnya. Idris kemudian disuruhnya untuk memanggil kedua orangtuanya. Jansen menghampiriku dan bertanya.

"Paman Kilesa, habis makan siang kita bermain PUBG lagi ya. Ajari aku cara memotong jalan di map terakhir."

"Jangan, nanti kita kalah lagi. Kamu coba dulu di mode latihan."

"Yah, pokoknya kita main bersama, paman. Kuberitahu, paman Kilesa adalah pemotong jalan terbaik. Terbaik, pokoknya."

Aku tersenyum. Kemudian aku menatap Abdul yang memahami sesuatu, lalu mengerjapkan mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun