Johnny yang bersender kecewa di dinding menyingkirkan tangannya lalu menatapku. "Siapa, om Kilesa? Kucing tetangga?"
"Manusia, tentu saja."
Johnny menarik ingus di hidungnya walaupun ia tidak sedang demam atau menangis. "Maksud om..."
"Ya, tentu saja. Dari keenam penghuni rumah ini, diluar diriku dan kau, ada seseorang yang sudah menggunting sepatumu."
"Aku tidak ingin menuduh sembarangan, om, lagipula aku tidak suka berlama -- lama. Aku tidak punya waktu lagi. Jam sebelas tinggal sebentar lagi. Aku harus segera pergi."
"Ya, pergi saja."
Johnny pun berdiri dan segera mengenakan sepatu converse miliknya. Sepatu itu tidak menarik. Sudah usang dan kumel. Seperti punya anak kuliahan. Aku tersenyum di dalam hati.
"Kenanga akan menganggapmu tidak keren Johnny, kau tahu itu."
Johnny kembali melenguh, "Aku tahu, om. Aku sudah janji datang. Kalau aku tidak datang, aku pasti diputuskan. Berdoa sajalah, om."
"Ya, goodluck."
Dan Johnny pun beringsut keluar rumah dengan tergesa -- gesa. Aku tersenyum kecil. Di halaman dalam, aku melihat Abdul masih berada di kursi santainya. Aku perlahan -- lahan  berjalan dan mengambil tempat di sampingnya.