Huff. Aku membuang napas panjang, lalu menatap ke depan. Ada sebuah TV flatscreen yang lumayan besar, juga patung -- patung kayu di sampingnya sebagai ornamen. Wajar saja, rumah orang kaya, pikirku. Lalu aku melihat ke atas. Ada lambang salib. Ya, pemilik rumah ini adalah seorang Kristiani.
Aku pun orang Kristen, pikirku. Biasanya aku relijius. Namun, di tengah kesibukan belakangan ini, aku jarang mengingat hal -- hal rohani. Bahkan ayat -- ayat Alkitab sekali pun, yang biasanya aku senandungkan, tidak lagi muncul di kepalaku. Sekarang pula aku sedang kalut dan tertekan, aku tidak merasa ada hadirat Tuhan menyertaiku. Pelan -- pelan aku bertanya dalam hati, apakah Tuhan berkenan atas pekerjaanku? Itulah mengapa sebabnya aku tidak berhasil?
Aku lama memandang salib sebelum akhirnya disadarkan dengan teguran seseorang. Di seberang sudah ada seseorang duduk berjongkok di atas kursi, dengan mengenakan sarung. Ia adalah penjaga rumah besar ini. Namanya Pak Suryanta.
"Masih melamun aja, mas?"
"Ah, iya Pak Surya, aku masih beristirahat. Hari ini sangat hectic. Oh, iya, Pak Surya mau beres -- beres? Kalau begitu, saya harus segera pulang."
"Ah, tidak apa -- apa, mas. Santai saja. Malam masih panjang."
Pak Suryanta pun mengisap rokoknya. Ia sempat menawarkan rokoknya, namun karena aku tidak merokok, aku menolak dengan sopan. Kami berdua pun berdiam terbisu di ruang tamu. Beberapa saat kemudian ia berkata.
"Saya mendengarnya, loh mas, tadi siang di ruangan sebelah. Ada yang membentak -- bentak. Itu pak bos?"
Aku memandang Pak Suryanta dan mengangguk pelan, "Iya, itu Pak Bambang. Dia tidak puas atas kinerja kami hari ini."
"Sampai sore pun ia masih berteriak -- teriak."
"Memang seperti itulah tabiatnya. Semua itu untuk produksi film yang lebih baik."