Mahmud mengangguk. "Aku sudah menyimpannya, Charles."
"Bisakah aku melihatnya? Peluru ini bukan peluru biasa."
"Bisa saja, tapi... sebenarnya bukan itulah yang menjadi letak keanehan kasus ini." ujarnya sambil menatap diriku, mengharapkan sebuah penjelasan. Sementara itu aku sedang berjongkok dan memeriksa tubuh Sapto Suryono. Dalam keadaannya yang terjerembab, ia mengenakan setelan jas hitam, lengkap dengan dasi dan sepatu. Aku kemudian berdiri dan mendapatkan bahwa kedua kolegaku sedang menatapku.
"Apa?" ujarku masih tidak mengerti.
"Apa keanehan dalam kasus ini, Kilesa?" tanya Mahmud.
"Tidak ada yang aneh. Seorang pebisnis nampaknya menemui ajal saat sedang berpakaian di pagi hari. Nampaknya ia baru saja akan pergi."
Charles tidak sabaran. "Tentang peluru itu, Kilesa. Lihatlah. Mahmud menantangku. Katanya ada yang aneh dari retakan itu."
"Oh, itu. Ya, tentang itu..."
Aku melangkah mendekat meja rias. "Perhatikan ini, Charles. Kau terlalu sibuk dengan retakan. Lihat meja rias ini. Ada botol pelembab, botol eyeshadow, masker wajah, juga pensil alis dan sebangsanya. Kau lihat orang itu. Adakah yang aneh?"
Charles tersenyum dan tertawa layaknya orang bodoh. "Tentu saja. Bukan dirinyalah pemilik meja rias itu. Yang biasa berdandan adalah seorang wanita. Tidak ada yang aneh, Kilesa. Ia hidup bersama dengan istri atau kekasihnya."
Aku melihat ranjang double bed yang masih berantakan, dan sekali lagi Charles tersenyum saat aku menaikkan bahu. "Ya, ranjang itu berantakan hanya di satu sisi. Itu artinya bapak ini hidup sendirian. Atau bisa saja ia tidur di kursi itu semalam tadi, sementara istrinya tidur di ranjang. Atau bisa saja ia baru pulang pagi tadi. Ada banyak kemungkinan, kawanku. Lagipula, di mana istrinya sekarang?"