Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sariwanadhira, Sang Putri Raja

27 Mei 2020   10:00 Diperbarui: 27 Mei 2020   09:58 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih kuat. Aku masih ingin hidup seribu tahun lagi. Aku belum mau mati.

Dharanindra memejamkan mata. Nyala damar dan wewangian menghiasi ruangan perawatan. Bau wewangian yang menyengat membuatnya tidak bisa tertidur pulas. Di belakang, seorang dayang wanita berlutut dalam posisi siap sedia jika dibutuhkan. Sang raja berbaring di atas kasur jerami yang dilapisi oleh kain, khusus untuk merawat penyakitnya.

Di mana anakku itu? Di mana cucuku? Bukankah dari seminggu kemarin aku sudah memanggil mereka pulang dari tanah Jawa? Dharanindra tidak bisa mengingat terlalu jauh, pada umurnya yang sudah menginjak 80 tahun, ia tidak dianjurkan tabib untuk berpikir terlalu keras. Namun sebagai raja sebuah kerajaan besar, sudah pekerjaannya untuk berpikir.

Ketidakmampuannya untuk beristirahat memaksa Dharanindra untuk bangun, duduk secara perlahan, lalu bangkit dan berjalan pelan menuju teras ruangan. Dari sana ia bisa melihat pemandangan keluar. Lembayung sore berwarna ungu disertai air mancur yang mengalir di tengah - tengah halaman kerajaan membuatnya merasa tenang. Di sisi barat halaman kerajaan terdapat anak -- anak berusia sekitar belasan bermain bersama dan bercanda tawa. Yang paling memuaskan hatinya adalah menyaksikan anaknya yang paling kecil, Sariwanadhira, sedang berlatih memanah bersama panglima perang Kerajaan Sriwijaya, Vijayasastra.

Aku belum mau mati. Aku ingin hidup seribu tahun lagi.

Dharanindra bertekad bahwa Kerajaan Sriwijaya harus tetap kuat. Walaupun raganya sudah tidak ada tapi jiwa besar harus melekat pada penerusnya. Kesialannya adalah bahwa ia hanya memiliki satu saja keturunan yang berhak untuk mewarisi tahta kerajaan. Samagrawira adalah anak tertuanya, dan keempat adik - adiknya adalah perempuan. 

Budaya Wangsa Syailendra memang mengharuskan laki -- laki sebagai calon penerus takhta. Sementara yang lain hanya berhak untuk menjadi pendamping, itu pun kalau bernasib baik. Sejauh ini semua adik Samagrawira bernasib baik dengan menjadi pendamping para bupati Kerajaan Sriwijaya, dan ia masih menantikan nasib Sariwanadhira.

Dharanindra kembali melihat ke arah halaman kerajaan. Ia tidak menemukan Sariwanadhira dan panglimanya, karena mereka telah menghilang. Mungkin mereka sadar telah aku perhatikan, pikir raja. Tidak beberapa lama terdengar suara berat di belakang raja.

"Sudah sehatkah baginda sehingga berani untuk berjalan menuju teras dan menyaksikan hamba berlatih bersama tuan putri?" suara itu membuka percakapan.

Dharanindra tersenyum sesaat. Panglima perangnya ini memang mempunyai kebiasaan untuk membuat orang terkejut. Ia memang orang yang cekatan. Aku akan tenang meninggalkan kerajaan ini bersama Samagrawira dan dirinya.

"Vijayasastra, kecepatanmu tidak berkurang. Kau selalu mengagetkanku. Jika ada kerajaan lain yang hendak menyerang, mereka akan menyesal berhadapan denganmu." raja sedikit bercanda dengan menyombongkan kekuatan Kerajaan Sriwijaya.

"Tentu baginda raja. Kami dari kelompok prajurit tidak pernah mengkhawatirkan serangan musuh. Tiap hari yang kami pikirkan adalah penyerbuan. Terakhir Kerajaan Langkasuka tidak mau menyerah setelah kami lakukan penyerangan selama dua hari berturut -- turut. Namun hamba yakin, dengan kekuatan tempur Kerajaan Sriwijaya cepat atau lambat Istana Kedah akan kami kuasai." jawab Vijayasastra.

Sang raja kembali tersenyum. Vijayasastra memang mengerti kekuatan, namun ia tidak begitu mengerti taktik perang. Dharanindra mengetahui cara mengalahkan pemimpin Langkasuka, Indrapura Sakti, dengan mudah, begitu juga dengan Samagrawira. Namun ia membiarkan Vijayasastra bereksperimen sesukanya, karena ia mempercayai prinsip bahwa manusia akan berkembang jika ia mengatasi tantangannya sendiri. Teringat dengan Samagrawira, ia bertanya kepada sang panglima.

"Tidak adakah informasi dari barisan terdepan mengenai kedatangan anakku?" tanya raja.

"Belum ada, tuanku raja, hamba pun berharap cemas akan kedatangan mereka. Informasi terakhir, mereka sudah berangkat dari tanah Jawa tiga hari yang lalu dengan sebuah kapal laut beranggotakan orang -- orang Kerajaan Sriwijaya. Maaf yang mulia, namun jika ada kabar baik, hamba akan langsung sampaikan kepada..."

Perbincangan mereka dikejutkan oleh sebuah teriakan wanita yang berasal dari halaman kerajaan. Berlari dari arah lantai dasar tempat raja bersemayam, wanita itu dikejar oleh seorang laki -- laki bertubuh besar dengan rambut panjang. Laki -- laki itu memegang sebuah pisau di tangan kanannya. Sang wanita kemudian terjatuh dan membalikkan badannya membelakangi air mancur di tengah halaman kerajaan. Pemandangan berikutnya adalah pemandangan yang tidak diinginkan oleh Dharanindra ketika ia melihat wajah sang wanita.

"Sariwanadhira!" teriak raja dari teras istana.

Sariwanadhira terduduk gemetar serta mundur secara perlahan. Mukanya ketakutan melihat Rahwana, tawanan istana, berdiri dengan muka garang di depannya dengan pisau teracung. Apa yang terjadi berikutnya sangat cepat. Rahwana menyergap cepat ke arah Sariwanadhira, berusaha membenamkan pisau ke dada. Sang putri menahan tangan Rahwana, namun kekuatan Rahwana jauh lebih kuat. Tidak sampai lima detik kemudian, pisau yang dipegang Rahwana telah berhasil menembus leher Sariwanadhira. Kesakitan, Sariwanadhira terduduk lemas, darah mulai mengalir dari lehernya. Rahwana mencabut pisau dari leher tuan putri karena ia tahu pertandingan berikut menunggunya, dan ketika itulah tatapan Sariwanadhira benar -- benar kosong.

Tepat ketika Rahwana mencabut pisau dari leher Sariwanadhira dan membalikkan badan, sebuah sosok dengan kecepatan tinggi mengarahkan pedang ke arahnya. Rahwana dengan susah payah menangkis. Vijayasastra berdiri dengan ekspresi marah yang meluap. Tidak menunggu lama, ia mengambil posisi menyerang, bersiap, dan menyergap ke arah Rahwana.

"Kau menyerang tuan putri! Kau sialan!" teriak Vijayasastra sambil melancarkan serangan yang kemudian dihindari oleh Rahwana.

Muka Rahwana sama sekali tidak menunjukkan sikap ketakutan. Ia menyeringai, terlihat bahwa ia menikmati pertarungan ini. Vijayasastra mengepalkan tinju kiri ke arah muka, Rahwana menghindar, namun tebasan pedangnya menyabet pinggang kanan Rahwana. Tetesan darah yang mengalir di pinggang kanan menghapus seringai Rahwana.

Raja terduduk lemas. Untuk sesaat ia kehilangan akal. Anakku yang kusayangi. Anakku yang terakhir. Baru saja aku memikirkan jodohmu, Nak. Sementara itu halaman kerajaan mulai dipenuhi oleh prajurit kerajaan dan dayang -- dayang istana. Tiga orang prajurit, dipandu oleh seorang dayang, dengan hati - hati mengelilingi dan membawa Sariwanadhira yang sudah tidak bernyawa ke ruang perawatan. Prajurit -- prajurit lainnya mengambil posisi siaga serta mengitari panglima mereka dan sang bandit yang masih berhadapan.

"Kalian jangan ada yang mencampuri urusan kami. Jangan ada yang melangkah masuk pertempuran! Ia adalah bagianku!" teriak Vijayasastra yang disambut dengan sebuah seringai mengejek dari Rahwana.

Sementara itu, tiga orang prajurit yang membawa Sariwanadhira telah memasuki ruang perawatan tempat raja berada. Sambil menahan sakit yang dideritanya, raja melangkah menuju Sariwanadhira yang telah dibaringkan di atas kasur jerami seperti miliknya. Dayang -- dayang terlihat sibuk menyiapkan perawatan. Raja memandang wajah sang putri. Pada hitungan berikutnya ia mengetahui bahwa nyawa Sariwanadhira telah berpindah menuju kahyangan.

Ia berlutut di samping kasur, menerawang, dan tidak berkata apa -- apa. Orang - orang mulai menangis, namun raja masih tidak percaya. Kejadian berikutnya ialah sang raja membenamkan wajahnya di kasur tempat Sariwanadhira berada. 

Tidak mungkin.

Dari luar terdengar sorak sorai prajurit -- prajurit yang membahana. Semua yang berada di ruang perawatan bergegas menuju teras kecuali raja yang masih membenamkan mukanya di atas kasur jerami. Tidak sampai beberapa hitungan, Vijayasastra membawa kepala Rahwana masuk ruang perawatan dengan muka sumringah. Namun Vijayasastra tahu bahwa tindakannya tidak tepat. Ia melihat raja bertelungkup di samping tubuh Sariwanadhira yang sudah ditutupi kain kuning, kain kebesaran Kerajaan Sriwijaya. Ia membuang kepala Rahwana, mendekati raja, secara pelan ia berkata:

"Yang mulia, pembunuh anakmu sudah dibunuh. Aku menyampaikan simpatiku yang terdalam. Tuan putri tidak seharusnya tewas di tangan seorang bandit. Hamba mohon maaf karena hamba lalai melaksanakan tugas hamba. Sekarang hamba mohon raja jangan bersedih lagi." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Sebuah kerajaan bernama Sriwijaya menanti."

Raja tidak bersuara. Tatapan matanya kosong, namun ia masih bisa mendengar suara Vijayasastra. Di dalam hatinya, yang paling terdengar jelas adalah frasa "kerajaan bernama Sriwijaya".

Benar, ini adalah kerajaan terkuat di bumi nusantara. Kematian satu orang, walaupun itu anaknya, tidak akan mengubah fakta bahwa Sriwijaya adalah yang termegah di antara kerajaan -- kerajaan lain. Seiring berjalannya waktu, kematian Sariwanadhira akan dilupakan orang, begitu juga dengan tawanan istana yang membunuhnya, namun apa yang dapat memastikan Kerajaan Sriwijaya masih ada dua ratus tahun lagi? Aku, dan hanya aku, yang akan melakukannya.

Raja kemudian bangkit. Ia menatap Vijayasastra, prajurit -- prajuritnya dan dayang -- dayangnya, dan terakhir ia menatap Sariwanadhira yang sudah tidak bernyawa. Aku harap kau mendapatkan kehidupan selanjutnya yang layak, nak.

Dharanindra berjalan pelan, ia melangkah menuju teras ruang perawatan. Matanya kering, ia sama sekali tidak menangis. Barulah ketika ia melihat pemandangan di teras istana, air matanya mengalir deras. Lembayung ungu menyambut, disertai pemandangan keemasan halaman istana. Petak -- petak pemukiman berbentuk kotak - kotak memantulkan sinar mentari sore, mengisi dataran di luar kompleks istana. Dan lukisan terindah berada di paling belakang, Sungai Musi membentang dari barat ke timur sejauh mata memandang. Aku akan menjaga kerajaan ini. Sampai akhir hayatku.

Sayang, raja tahu bahwa waktunya tidak lama lagi. Penyakit yang menggerogoti membuat dirinya bahkan terasa sakit ketika berjalan. Ketika raja meneriakkan nama anaknya, ia hampir kehilangan kesadaran. Ia melangkah masuk dan menyuruh kepala dayang serta Vijayasastra menghadap. Pada waktu ini patih kerajaan, Sanggabuana, telah hadir di ruangan perawatan setelah berkelana dari Hutan Anggrek.

"Tolong kalian bersiap -- siap. Besok kita akan mengadakan upacara untuk menghormati mendiang anakku. Umumkan kepada para pendeta kuil dan kepada seluruh bupati kerajaan Sriwijaya agar menyiapkan peralatan dan menghadiri upacara besok sore." kata raja yang dibalas dengan anggukkan Vijayasastra dan kepala dayang. 

Dharanindra memanggil Sanggabuana, patihnya. "Aku ingin menyiapkan sebuah catatan, mungkin surat, untuk anakku Samagrawira, yang sedang dalam perjalanan dari Medang. Aku ingin kau menyimpan catatan ini dan memberikan padanya pada saat aku telah tiada atau ketika kerajaan dalam kondisi terdesak. Dengan kata lain, surat warisan. Sekarang, mari kita menuju ruanganmu untuk menulis surat tersebut."

Sanggabuana mengangguk. Mereka berjalan pelan menuju ruang patih, meninggalkan dayang -- dayang yang sedang meminyaki dan memberikan wewangian kepada jasad Sariwanadhira. Raja tidaklah tahu bahwa sang patih langsung menyerahkan catatan itu esok harinya kepada Samagrawira yang baru datang dari tanah Jawa bersama Balaputradewa.

Dharanindra menoleh sesaat melihat Sariwanadhira, membayangkan upacara besok. Aku tidak akan menunjukkan wajah sedih di depan rakyatku. Mereka akan mengerti. Namun Dharanindra bukanlah tuan atas takdirnya. Samagrawira datang tepat keesokan harinya bersama pasukan lautnya, hanya untuk menyaksikan seluruh rakyat berkabung meratapi sang raja dan adiknya berpulang ke khayangan. Serta sebuah surat yang ditinggalkan raja membuatnya menangis keras -- keras dan berteriak di akhir upacara "NUSANTARA ADALAH MILIK SRIWIJAYA!" yang disambut gegap gempita seluruh pendeta, bupati, dan prajurit yang menghadiri upacara.

Sanggabuana menyiapkan perkamen dan mencelupkan bulu ke dalam tinta hitam. Ia menoleh kepada raja tanda siap untuk menulis surat. Raja mengangguk dan mendiktekan setiap perkataan untuk kemudian ditulis menjadi sebuah surat oleh Sanggabuana. Sebuah surat yang akan menyebabkan perang terhebat di tanah Jawa dua puluh tahun mendatang.

 Untuk Anakku, Samagrawira, atau Rakai Warak, semenjak engkau berada di Kerajaan Medang.

Hari ini aku menyaksikan adikmu terbunuh. Ya, adikmu. Di depan mataku sendiri. Anehnya, aku tidak berusaha menyalahkan siapapun. Entah siapa yang melepaskan Rahwana, pembunuhnya. Namun aku mengampuni mereka. Tahukah engkau mengapa? Karena nyawa satu orang terlalu sayang untuk ditukar dengan seluruh penduduk Kerajaan Sriwijaya. Mungkin engkau marah karena engkau menganggap aku tidak menghargai nyawa adikmu. Marahlah, karena percuma, aku pun sudah tiada saat engkau membaca tulisan ini. Tetapi Kerajaan Sriwijaya tetap ada. Percayalah, aku sangat sayang dengan anak bungsuku itu. Oleh karena itu aku mengutus engkau, bukan dia, untuk berkelana ke tanah Jawa.

Kerajaan Sriwijaya besar. Perhatikan kalimat itu, anakku. Aku tidak menyertakan awalan atau kata lain di depan kata besar, karena memang Kerajaan Sriwijaya adalah yang terkuat di nusantara. Aku yakin engkaupun akan menjadi raja yang besar, aku tahu didikanku tidak pernah salah. Aku pun ingin Balaputradewa menjadi penerus cita -- cita ini: bahwa Kerajaan Sriwijaya telah besar dan akan selalu besar. Aku tahu bahwa ia sedang menikmati masa mudanya, begitu pula dengan Samaratungga yang aku instruksikan menjadi pemimpin sementara di tanah Jawa.

Aku tidak meminta engkau untuk menyatukan Nusantara. Sriwijaya terlalu lemah untuk itu. Tahu semboyan kita: dimanakah lawan dapat bersembunyi, jika pulau sudah dikepung? Masih banyak pulau lain yang belum terjelajahi oleh kekuatan laut Sriwijaya, sekalipun kepintaran melaut kita adalah yang termaju di Nusantara. Selain itu, masih ada duri dalam daging seperti musuh lamaku, Kudungga, yang berulang kali mengatur kapal -- kapal perangnya ibarat nyamuk bising yang menganggu.

Yang aku minta adalah, anakku, perkuatlah kekuatan pasukan daratmu, dan itu akan menjadi rahasia kita saat menyerang. Aku yakin musuh akan terkejut saat mengetahui kekuatan laut dan kekuatan darat Kerajaan Sriwijaya sama kuatnya. Vijayasastra akan membantumu dalam melatih, serta Sanggabuana akan menjadi patihmu.

Terakhir, aku mencintai kerajaan ini. Dari Langsa hingga Malayur, aku menyukai orang -- orangnya. Ah, satu lagi saran dariku saat engkau jadi pemimpin, berpihaklah kepada orang -- orang lemah, maka mereka berbalik akan mencintai engkau.

Aku bercanda saat mengatakan jangan persatukan nusantara. Persatukanlah! Buat kerajaan -- kerajaan lain bertekuk lutut. Aku titipkan kerajaan ini kepadamu.

Salam dari khayangan,

Dharanindra

Cerita lebih lengkap dapat disaksikan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun