Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Joko Tingkir [Novel Nusa Antara]

20 Mei 2020   09:24 Diperbarui: 20 Mei 2020   09:20 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit dan bumi.

Sebuah kereta kuda melaju di atas jalan kecil. Joko Tingkir memandang keluar sembari mengulum jerami di mulutnya. Ia menyukai hawa segar ini.

"Pemandangan yang bagus bukan, wahai anak muda, pertama kalinya dalam seminggu terakhir ini."

Joko Tingkir tidak mengalihkan pandangannya kepada si pembicara. Matanya terus -- menerus menatap ladang padi yang berwarna kehijauan di sebelah kiri kereta kuda.

"Mungkin kau bosan dengan keadaan ini, makanya engkau hendak pergi ke pulau seberang, bukan?"

Sang pemuda tersenyum. Ia menghentikan tatapannya dan mengalihkan perhatian kepada lawan bicara di hadapannya.

"Lebih tepatnya bosan dengan tantangan -- tantangan orang -- orang di sekelilingku, paman."

Lawan bicaranya tersenyum, "Sejak aku, I Putu Wikarna, seorang pedagang kain dari Pulau Bali, menginjakkan kakiku di tanah Jawa, kau adalah orang yang paling menarik di antara semuanya. Sang legenda, mereka menyebutnya."

 Joko Tingkir geleng -- geleng. Jeraminya masih tetap berada di dalam mulut.

"Mereka hanya melebih -- lebihkan, paman. Aku hanya sedikit lebih pintar."

"Kau merendahkan dirimu. Aku telah melihatmu bermain. Cukuplah, di tanah Jawa ini siapa yang tidak mendengar tentang Joko Tingkir?"

Joko Tingkir tersenyum. Ia kembali melempar pandangan keluar jendela.

"Apa gunanya, paman, terus -- terusan memenangkan permainan, sementara mungkin esok aku akan mati akibat letusan Gunung Merapi?"

Wikarna menggeleng -- geleng, "Jangan kau pertanyakan keputusan dewa, wahai pemuda. Semuanya telah kembali normal. Lihat, warna padi sudah kembali hijau, bukan? Aku takut, akibat ucapanmu barusan, dewa mendengarnya lalu memutuskan untuk meledakkan Gunung Agung atau Gunung Batur."

"Tidak mungkin. Gunung Merapi murka akibat keserakahan Sriwijaya. Kita semua paham akan hal itu."

Ayah dan ibu. Semoga kalian selamat dari bencana Gunung Merapi.

I Putu Wikarna terdiam. Seorang bocah di samping Joko Tingkir memberikan sikutan.

"Kak, lihat, aku sudah berhasil mengaduk kertas -- kertas bergambar ini dengan benar. Coba perhatikan!"

"Oh ya? Mana coba kakak lihat."

Si anak kecil mulai mengaduk kertas -- kertas di tangannya dengan menggunakan seluruh jari jemari. Beberapa kertas terjatuh, membuat pertunjukkan sulap kecil -- kecilannya gagal. Joko Tingkir tertawa terbahak -- bahak. Sang bocah tertunduk malu dan memungut kertas -- kertas dari dasar kereta. Joko Tingkir mengusap -- usap kepalanya.

"Apa rencanamu, pemuda, di pulau seberang nanti? Aku tahu kau memiliki banyak uang karena menang judi. Kau akan bermain lagi?" Wikarna bertanya terus terang.

"Tentu saja, paman. Kegemilangan mengalir dalam darahku. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Hanya saja..."

Joko Tingkir terdiam sejenak. Ia memikirkan sesuatu.

Hanya saja.... ini Bali. Pulau Dewata. Pulau terindah di seluruh nusantara.

Joko Tingkir tidak menyelesaikan kalimatnya. Lawan bicaranya pun tidak memedulikannya, perhatiannya kini tertuju kepada anaknya yang mulai memasukkan kertas -- kertas ke dalam mulut sendiri.

Aku ingin bersenang -- senang dahulu. Memandangi pantai, biru laut, biru langit. Memandangi jalak atau penyu. Atau memandangi wanita -- wanita tanpa penutup dada. Apa gunanya punya koin tapi tidak digunakan?

Ia kembali melempar pandangan keluar jendela. Joko Tingkir merasa bersyukur bahwa dirinya ditemani oleh sang pedagang kain dan anaknya. Kesepian adalah hal yang paling ditakutinya. Ia menyadari dirinya adalah orang yang tidak banyak berkata -- kata dan tidak suka mencurahkan perasaan kepada orang lain, namun keadaan sepi adalah musuh baginya. Joko Tingkir berpikir, mungkin hal itu disebabkan oleh dirinya yang terus menerus memenangkan pertandingan. Semua orang memusuhinya.

Salah satu cara untuk mengusir kesepian adalah dengan cara memiliki seorang kekasih.

Joko Tingkir mengingat -- ingat ucapan yang diberikan kepadanya di kedai minum Pasar Tumapel, beberapa saat sebelum kekacauan akibat penyelaan oleh prajurit terjadi. Seorang tua berkata kepadanya: mumpung masih muda, carilah wanita yang tepat untuk menjadi pendampingmu. Kenalilah wanita sebanyak mungkin. Buatlah cerita bersama mereka. Jangan biarkan masa muda habis tanpa kisah yang dapat diceritakan di waktu tua.

Sang pemuda menunduk. Ia merasakan dirinya berada di usia penghujung dasa dua dan menganggap waktu kemudaannya hampir habis. Ia tidak memiliki kekasih atau mengenal banyak wanita. Ia merasa hidupnya penuh kesia -- siaan. Hanya mengejar kemenangan dan uang, kini baru terasa. Dan aku tidak menyukai emosi palsu yang ditawarkan badut -- badut di rumah bordil.

Bau laut kini mulau tercium, tanda kereta kuda sudah mendekati Pelabuhan Ketapang. I Putu Wikarna menganggukkan kepala ketika Joko Tingkir bertanya bahwa mereka sudah dekat dengan pelabuhan. Ia mulai bersiap -- siap membenahi diri. Sebaliknya Joko Tingkir tidak menyibukkan dirinya dan memilih untuk menikmati pemandangan. Perlahan -- lahan pemandangan hutan kayu jati beralih menjadi semak -- semak dan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Bunyi deburan ombak mulai terdengar. Beberapa saat kemudian garis pantai utara mulai terlihat di pandangan.

Sungguh indah. Aku bertanya pada diriku sendiri, jika Jawa saja seindah ini, apalagi pulau para dewa?

Perlahan -- lahan jalan yang dilalui oleh kereta mulai melalui gundukan -- gundukan batu yang membuat kereta tidak bisa melaju seperti biasa. Beberapa hitungan kemudian laju kereta berhenti sepenuhnya. Kusir membuka pintu.

"Selamat datang di Pelabuhan Ketapang."

Joko Tingkir, I Putu Wikarna, dan anaknya segera turun dari kereta. Sang saudagar kain mulai membereskan barang bawaannya yang berada di bagian belakang kereta kuda, sementara Joko Tingkir berjalan -- jalan mengitari sisi pelabuhan. Air jernih membuatnya ingin menceburkan diri, namun melihat kedalaman air dan bebatuan di sisi dermaga, ia mengurungkan niatnya. Sebuah kapal berukuran panjang kira -- kira lima puluh depa dan lebar sepuluh depa sedang bersandar di tepi pelabuhan. Beberapa orang terlihat berbincang -- bincang di atas kapal. Beberapa lainnya memanggul barang bawaan mereka menaiki tangga kapal. Di samping tangga kapal seseorang berteriak -- teriak.

"Bali! Bali! Sebentar lagi angkat sauh! Satu cetak perak saja. Bali!"

I Putu Wikarna menepuk pundak Joko Tingkir. Di sampingnya sang anak membawa kain -- kain yang terbungkus rapi oleh sebuah kain besar.

"Ayo, mari kita berangkat, Tingkir. Kuperlihatkan padamu keindahan Kerajaan Bali saat kita mendarat nanti."

Joko Tingkir tersenyum, "Baik, paman, silakan duluan, aku ingin menghabiskan waktuku di tanah Jawa ini."

"Baiklah, kami naik duluan."

I Putu Wikarna bersama anaknya memberikan salam sebelum melangkah naik menuju kapal. Joko Tingkir melanjutkan aktivitas melangkah mengitari dermaga.

Sembari melangkah Joko Tingkir mengamati orang -- orang yang berada di dermaga. Sang kenek kapal masih sibuk mencari -- cari penumpang sebelum berlayar menuju pulau seberang. Mukanya menunjukkan raut wajah penuh kecemasan. Joko Tingkir berpendapat kapten kapal mungkin menuntutnya terlalu jauh.

Seorang ibu membawa anaknya sembari meminggul barang bawaan. Sang ibu sedang berbadan dua, menggenggam tangan anaknya yang masih berusia belia. Wajahnya terlihat tenang dan bersahaja. Seorang pemuda mengikutinya dari belakang. Mungkin ini kakak dari anak yang ia genggam. Dan juga dari perutnya.

Beberapa pemuda berusia belasan berlarian dengan canda tawa sebelum menaiki tangga kapal. Mereka sama sekali tidak membawa barang bawaan. Jelaslah bagiku, mereka hendak bermain -- main di Pulau Dewata. Sungguh menyenangkan memiliki teman sepermainan.

Seorang wanita memakai pakaian katun berwarna merah melangkah menuju tangga kapal. Rambutnya tergerai memanjang. Ia memegangi pinggangnya. Tangannya menggenggam barang bawaan. Aku sulit untuk menerka orang seperti ini. Penampilannya terlalu umum, terlebih ia seorang diri. Dari barang bawaannya, nampaknya ia akan mengunjungi handai taulannya di pulau seberang.

Joko Tingkir hendak mengalihkan perhatiannya kepada penumpang lainnya sebelum ia menangkap suatu penglihatan yang tidak biasa. Matanya menyipit agar dapat melihat lebih jelas. Ia menggeleng -- geleng, berusaha menjernihkan pandangan. Sebagai seorang pemain judi, ia terbiasa memperhatikan hal -- hal kecil secara seksama. Kesimpulannya betul.

Sang pemuda tersenyum. Ia membuang jerami yang dikulumnya dan melangkah menuju tangga kapal. Sebelum melangkah naik ia membalikkan badan dan membungkuk.

Terima kasih, Wisnu, atas segala pengalaman di pulau ini. Aku hendak mencoba peruntungan di pulau seberang.

Joko Tingkir melangkah naik.

TAMAT

Cerita lebih lengkap dapat disaksikan di sini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun