Joko Tingkir tersenyum. Ia kembali melempar pandangan keluar jendela.
"Apa gunanya, paman, terus -- terusan memenangkan permainan, sementara mungkin esok aku akan mati akibat letusan Gunung Merapi?"
Wikarna menggeleng -- geleng, "Jangan kau pertanyakan keputusan dewa, wahai pemuda. Semuanya telah kembali normal. Lihat, warna padi sudah kembali hijau, bukan? Aku takut, akibat ucapanmu barusan, dewa mendengarnya lalu memutuskan untuk meledakkan Gunung Agung atau Gunung Batur."
"Tidak mungkin. Gunung Merapi murka akibat keserakahan Sriwijaya. Kita semua paham akan hal itu."
Ayah dan ibu. Semoga kalian selamat dari bencana Gunung Merapi.
I Putu Wikarna terdiam. Seorang bocah di samping Joko Tingkir memberikan sikutan.
"Kak, lihat, aku sudah berhasil mengaduk kertas -- kertas bergambar ini dengan benar. Coba perhatikan!"
"Oh ya? Mana coba kakak lihat."
Si anak kecil mulai mengaduk kertas -- kertas di tangannya dengan menggunakan seluruh jari jemari. Beberapa kertas terjatuh, membuat pertunjukkan sulap kecil -- kecilannya gagal. Joko Tingkir tertawa terbahak -- bahak. Sang bocah tertunduk malu dan memungut kertas -- kertas dari dasar kereta. Joko Tingkir mengusap -- usap kepalanya.
"Apa rencanamu, pemuda, di pulau seberang nanti? Aku tahu kau memiliki banyak uang karena menang judi. Kau akan bermain lagi?" Wikarna bertanya terus terang.
"Tentu saja, paman. Kegemilangan mengalir dalam darahku. Sayang kalau tidak dimanfaatkan. Hanya saja..."