Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kejatuhan Medang [Novel Nusa Antara]

13 Mei 2020   08:44 Diperbarui: 13 Mei 2020   08:44 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan kutebas semuanya. Semuanya yang menjadi musuhku.

Joko Wangkir mengamuk. Dirinya sudah tiba di Prambanan. Pedang tergenggam erat di tangannya. Ia tidak peduli bahwa kepalanya sudah berlumur darah. Berulang kali ia mengusap penglihatannya yang terhalangi oleh darah yang mengucur. Otot -- ototnya seperti berteriak meminta rehat. Sang panglima tidak mendengar. Ia memaksa pikirannya untuk terus memusatkan konsentrasi kepada keberadaan musuh.

Kaki sang panglima melangkah kesana kemari mengikuti pergerakan para prajurit Sriwijaya. Debu -- debu yang mulai berjatuhan dari langit tidak menyurutkan niatnya untuk membantai setiap musuh yang ia temui. Beberapa sudah ia tebas. Kadang kepala menggelinding akibat cincangan pedangnya. Kadang musuh tersungkur akibat hujaman pedang menuju perut dan dada. Gigi Joko Wangkir bergemeretak. Ia tidak menyangka bahwa lingkungan istana Prambanan telah dipenuhi oleh para prajurit Kerajaan Sriwijaya.

Sialan. Demi warga!

Debu -- debu yang semakin lama semakin tebal membuatnya hampir kehilangan pandangan. Ia masih berusaha untuk mencari setiap prajurit Sriwijaya yang bertarung mengalahkan warga. Namun jumlahnya seperti tidak berkurang. Joko Wangkir kini tidak lagi melihat sejajar dengan pandangan matanya. Ia menundukkan kepalanya, mencari setiap insan yang memakai celana kuning tanda kebesaran Kerajaan Sriwijaya.

Pada saat ini tubuhnya mulai terasa sakit. Ia telah berhadapan satu kali dengan dewa kematian, mengendarai kuda menembus kepekatan malam, dan kini melibatkan diri pada pertarungan lainnya. Aku paham ini. Niatku untuk melindungi istanalah yang membuat darahku berdesir kencang.

Hawa panas mulai terasa di kulit sang panglima. Ia tidak menghiraukannya. Pandangan mulai terhalang penuh, bahkan ketika ia menundukkan kepala. Joko Wangkir tidak lagi mampu mencari prajurit -- prajurit Sriwijaya. Ia hanya mengayun -- ayunkan pedangnnya, berharap ujung pedangnya mampu mengenai musuh. Udara pun mulai terasa berat. Pengap terasa, membuatnya pusing berkunang -- kunang.

Aku tidak akan menyerah.

Seseorang dengan kekuatan besar mengapitnya dari belakang. Joko Wangkir berusaha membebaskan diri. Sang pengapit berbisik.

"Tenang, panglima. Ini aku, Unggun Krama. Ayo, kita menuju pendopo istana."

Unggun Krama menarik lengan pemimpinnya menuju ruangan pendopo istana. Mereka melewati beberapa prajurit yang masih bertempur menghadapi musuh. Beberapa warga terlihat membela diri dengan pisau garpu teracung. Hal itu membuat Joko Wangkir hendak membebaskan diri dan ikut bertempur. Kekuatan yang lebih besar dalam diri Unggun Krama membuat sang panglima tidak berdaya dan mengikuti kehendak ksatrianya.

Beberapa prajurit segera menutup ruangan pendopo istana saat Joko Wangkir dan Unggun Krama memasuki ruangan.

"Tutup pintunya rapat -- rapat! Tutup pula semua jendela! Jangan biarkan ada celah yang terbuka!"

Sebuah suara yang dikenal oleh Joko Wangkir berteriak -- teriak menyuruh kepada para prajurit. Unggun Krama membawa Joko Wangkir bersender di salah satu tembok di ruang pendopo istana. Tak lama kemudian ia membawa bantalan untuk ditempatkan di belakang tubuhnya. Di sampingnya, dayang -- dayang bersiap dengan pembalut dan air bersih untuk menyeka luka yang diderita. Pandangannya berkunang -- kunang.

Ini aneh sekali. Selesai bertarung, badanku sakit semua. Pandanganku tidak jelas.

Dengan sisa -- sisa kesadarannya Joko Wangkir berusaha untuk tidak jatuh tertidur. Ia memerhatikan ruangan istana pendopo yang dipenuhi oleh khalayak. Beberapa ia kenal, beberapa ia baru temui pada saat itu. Seseorang berpenampilan garang dengan pedang di tangannya menarik perhatian sang panglima. Ia dikelilingi oleh orang -- orang lainnya yang berpenampilan seperti bandit pasar. Di sisi lain, ia mendapatkan sosok yang dikenal, Ario Senopati dan Jasabhana hilir mudik seperti sedang mempersiapkan sesuatu, sementara beberapa bupati berkumpul berbincang -- bincang. Raut wajah mereka menunjukkan ekpresi ketegangan.

Joko Wangkir mencengkeram lengan Unggun Krama yang berada di sampingnya. "Apa yang terjadi, Unggun Krama? Mengapa para bupati terlihat panik?"

"Raja terluka parah akibat pertarungan dengan Balaputradewa. Pundak dan perutnya mengalami luka yang dalam. Ia sedang dirawat di ujung ruangan ini."

Berita yang disampaikan oleh Unggun Krama membuat refleks Joko Wangkir terpicu. Sang panglima melupakan semua sumber kesakitannya. Ia bangkit berdiri dan berjalan dengan cepat ke salah satu ujung ruangan yang dipenuhi oleh manusia. Pemandangan ini luput dari perhatian sang panglima pada awalnya karena kesibukan orang lalu lalang di ruangan pendopo. Sesampainya di tujuan ia memerhatikan seseorang sedang terbaring lemah di atas pembaringan. Dayang -- dayang dan tabib kerajaan sedang melayaninya di sisi. Matanya sayu, seakan hendak menyerah pada keadaan. Ia melihat kedatangan Joko Wangkir.

"Ah, sang panglima," raja berujar dengan suara serak lemah.

"Hormat bagimu, yang mulia raja. Hamba siap untuk menerima perintah."

"Hentikan ucapan hormat dan keseganan yang berlebihan, Wangkir. Kita telah gagal. Kita tidak mampu melindungi rakyat. Sriwijaya menyerang dari tebing selatan."

Joko Wangkir menunduk, "Ya, yang mulia raja, aku pun tidak mengira mereka akan menyerang dari arah selatan. Hamba mohon maaf, Raja Samaratungga, semua ini kesalahanku."

Raja menggenggam lengan Joko Wangkir. Wajahnya terlihat menahan sakit yang teramat sangat.

"Mungkin kau tidak mengetahui hal ini. Tapi kedua anakku, mereka berada di persembunyian, di hilir Sungai Opak!"

Joko Wangkir tersentak. Ia teringat kepada Jasabhana yang memberitahunya bahwa putri Pramodawardhani dan Taradyahwardhani akan menjadi pelarian. Ia tidak menyangka sang penasihat mengatakan sebuah kebenaran. Joko Wangkir memikirkan kata -- kata penghiburan yang tepat untuk dikatakan kepada raja, namun ia tidak dapat menemukannya. Sesaat kemudian ia melihat raja menutup mata dengan kedua tangannya.

"Beginilah langit menghukumku. Kedua anakku habis dilibas musuh."

"Belum tentu, wahai paduka raja. Siapa tahu langit berkata lain. Gunung Merapi meletus hari ini pun tidak ada yang mengetahuinya. Mungkin saja kedua tuan putri selamat dan berhasil bersembunyi. Tidak ada yang tahu. Aku harap kau cepat sembuh dan kembali memimpin negeri ini."

"Tentu saja, Joko Wangkir. Aku akan sembuh dan membalaskan perlakuan ini kepada Kerajaan Sriwijaya." Suara raja terdengar lirih menahan emosi.

"Tenangkan dirimu, Samaratungga. Tidak akan kau sembuh jika kau biarkan kemarahan menguasai dirimu."

Seorang lain hadir di sisi raja. Mapala Senadi. Di belakangnya bupati yang lain pun hadir. Iswana Isyana.

Raja menatap Mapala Senadi, "Kau, mengapa kau berada di tempat ini? Bagaimana dengan para penduduk Gunung Merapi dan Kedu? Bukankah kau juga kusuruh untuk menjaga Rakai Pikatan?"

Mapala Senadi menunduk. Kata -- kata yang diucapkannya bergetar, tanda kegamangan dan penyesalan melanda.

"Maafkan aku, yang mulia raja. Hamba terpaksa meninggalkan tempat hamba di kaki Gunung Merapi saat pertarungan. Musuh terlalu kuat, kami terdesak ke selatan. Aku dengan beberapa anak buahku menghimpun warga yang dapat diselamatkan untuk segera mengungsi ke selatan. Pos Merapi kosong. Setengah dari warga Kedu, Mamrati, dan Merapi berada di kotaraja untuk berlindung. Untuk menyelamatkan mereka, Bupati Kedu gugur di medan pertempuran."

Raja membalas ucapannya pelan -- pelan, "Harian Adhyaksa?"

Mapala Senadi mengangguk.

"Lalu, Rakai Pikatan?"

Mapala Senadi menggeleng perlahan. Raja kembali menutup tangannya. Kini air mata mengalir deras di pipinya. Raungannya mengagetkan orang -- orang yang berada di sisinya.

"Tak akan kuampuni Kerajaan Sriwijaya sialan itu! Sampai akhir hayat akan kuhabisi mereka satu persatu! Walaupun mereka adik, kakak, ayah, atau ibuku!"

Sebuah sentuhan hadir di lengan Samaratungga.

"Tenangkan dirimu, wahai paduka rajaku. Kuharap berita ini dapat menenangkan hatimu, atau setidaknya bisa meringankan penderitaanmu. Seluruh warga Kalingga selamat dan sentosa. Kerajaan Galuh bersedia untuk membantu kita dengan mengirimkan bala tentaranya. Kepala Joko Wangkir tidak akan berada di sini seandainya pasukan Galuh tidak datang. Kita memenangkan pertempuran di dataran Dieng."

Joko Wangkir menatap Iswana Isyana dan mengangguk menyetujui. Perkataan sang Bupati Kalingga membuat emosi raja terdinginkan. Ia menatap sang bupati.

"Aku mengucapkan terima kasih kepadamu, Iswana Isyana. Bagaimana caranya kau dapat membujuk Manarah untuk mengirimkan bala bantuan?"

"Ceritanya panjang. Kita dapat membahasnya semalaman. Kau sembuhkanlah dirimu dahulu, paduka raja. Yang perlu kau ketahui adalah seluruh rakyat Kalingga aman dan mendukungmu. Kerajaan Galuh juga berada di pihak kita."

"Ya, tapi bukan merekalah yang menyelamatkan kita hari ini. Para dewa tidak tahan menyaksikan pembantaian warga tak bersalah dan memutuskan untuk meledakkan Gunung Merapi. Kau patut berterima kasih kepada para dewa, yang mulia raja, karena kehendak merekalah kita selamat di hari ini."

Sebuah suara ringan menyela dari belakang. Sang mahapatih kerajaan, Ario Senopati. Joko Wangkir mengamini perkataannya. Keputusan dewalah yang membuat rakyat Medang bernapas lega.

"Namun, kita perlu tetap waspada. Sebentar lagi hawa panas akan berusaha merangsek masuk ruangan ini sepanjang malam. Kita harus bertahan. Dan sepanjang informasi yang kuperoleh, tidak ada api merah yang menggelinding turun dari puncak gunung. Bencana ini hanya menghasilkan debu dan awan panas. Kau harus bertahan, raja, demi rakyat yang tercinta."

"Tentu saja, Senopati, aku akan bertahan. Aku akan menyambut rakyatku yang gagah berani mempertahankan kotaraja. Kalian, beristirahatlah. Aku pun hendak beristirahat dan memohon kepada Hyang Widdhi untuk memberikan perlindungan bagi Pramoda, Tara, dan Pikatan."

Seluruh petinggi kerajaan memohon diri dari samping raja dan membubarkan diri, meninggalkan raja bersama tabib dan dayang -- dayangnya. Unggun Krama membopong Joko Wangkir untuk kembali ke tempatnya semula. Mapala Senadi mengikutinya. Joko Wangkir duduk bersender dan menyadari sang bupati berada di belakangnya sedari tadi. Mapala Senadi menatap sang panglima, raut wajahnya menyatakan permintaan maaf.

"Aku meremehkan kekuatan mereka, Wangkir. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri pembantaian warga. Aku mohon maaf. Aku seharusnya tidak menyombongkan diri."

Joko Wangkir menggenggam pundak koleganya dan menggeleng perlahan. Mapala Senadi mengetahui hal ini. Ia mengangguk tanda mengerti dan memohon diri.

"Siwa besertamu, Joko Wangkir."

"Dan besertamu juga, Senadi."

Mata sang panglima mulai memberat. Ia masih berusaha memerhatikan setiap insan dengan kesibukan masing -- masing di ruang pendopo. Beberapa merawat prajurit -- prajurit yang terluka. Beberapa terlihat berbincang -- bincang. Di tengah -- tengah ruangan ia memerhatikan Mahesa Kriwijaya bertukar kata dengan Lapuk Gurawa dan Jasabhana. Di sisi lainnya ia melihat Tantrawijaya sedang menjalankan semedi. Seorang wanita berpenampilan anggun terlihat tergesa -- gesa melangkah menuju tempat pembaringan raja. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ibu negara, Ratu Dewi Taradyahwardhani.

Ia hampir menutup matanya ketika seorang yang tidak dikenal menghampirinya. Ia adalah pemuda berbadan kekar dan garang yang menangkap perhatian sang panglima tadi. Sang pemuda tersenyum ramah.

"Selamat siang, tuan. Aku tadi sedikit mencuri dengar, hanya ingin memastikan saja. Apakah agamamu? Bolehkah hamba mengetahui?"

Sedikit curiga, Joko Wangkir menjawab hati -- hati, "Aku beragama Hindu, seorang pengikut Siwa."

"Ah, kita beragama sama. Salam bagimu, tuan. Perkenalkan, hamba adalah Ken Arok, pemimpin pasukan yang disewa untuk melawan Kerajaan Sriwijaya."

Mata Joko Wangkir melebar. Segala kantuk dan lelahnya lenyap seketika. Di sampingnya Unggun Krama yang mendengar salam Ken Arok segera mencabut pedangnya dan mengarahkan kepada sang bandit. Di belakang, beberapa orang berpenampilan garang yang menyaksikan terpicu untuk mengelilingi sang panglima dan ksatrianya sehingga Unggun Krama kembali menyarungkan pedangnya. Ken Arok menatap seluruh anak buahnya, meminta seluruhnya untuk mundur. Ia kembali memberikan perhatian kepada Joko Wangkir.

"Aku mohon maaf atas kelakuan anak buahku. Apakah kau adalah Joko Wangkir, panglima Kerajaan Medang?"

"Apa yang kau inginkan, Ken Arok?"

"Mungkin kau sudah mengetahui bahwa anak buahmu, seseorang bernama Anggabaya, membuat perjanjian dengan kami untuk mengusir pasukan Kerajaan Sriwijaya."

"Ya, aku mengetahuinya."

Senyum Ken Arok melebar. Joko Wangkir dapat memerhatikan bahwa sebenarnya darah muncul di tepian bibirnya, tanda sang pemimpin mengikuti perang dengan Sriwijaya.

"Seperti yang kau lihat, pasukan Kerajaan Sriwijaya kocar -- kacir menghadapi kami. Mereka enggan menghadapi kami. Para prajurit sudah kabur ke selatan. Aku ingin menagih hadiah kami. Kau menjanjikan seratus lima puluh ribu saga emas."

Joko Wangkir naik pitam. Unggun Krama berusaha menahan sang panglima. Seseorang berdehem dengan keras di belakang Ken Arok. Sang pemimpin bandit menyadarinya dan bertukar beberapa patah kata. Perkataannya membuat Ken Arok mundur, digantikan oleh seorang berpenampilan lusuh namun memiliki wajah yang segar.

"Salam bagimu, wahai panglima. Dharma dewa besertamu. Mohon perkenalkan, hamba adalah Lohgawe, seorang brahmana yang menjadi penasihat Ken Arok."

Seorang brahmana? Menjadi penasihat? Omong kosong macam apa ini?

"Aku mohon maaf atas kelakuan temanku ini, panglima. Ia memang kurang memiliki empati terhadap orang lain. Aku melihatmu menderita. Kami tidak akan menagih upah kami sekarang. Kami akan tinggal disini dan menunggu tatanan kerajaan pulih. Terlebih bencana Gunung Merapi akan memberatkan rakyat hingga berhari -- hari. Kami tidak mau memberatkanmu."

Ken Arok di belakang berusaha untuk menarik lengan baju Lohgawe. Sang brahmana memberikan tatapan geram yang dibalas oleh sang pemimpin bandit. Ia tersenyum kembali kepada Joko Wangkir, menantikan jawaban sang panglima.

"Aku tidak bertanggung jawab mengenai hal itu. Tanyakanlah kepada yang hendak memberikan imbalan."

"Kami sudah mencari Anggabaya kemana -- mana, tuan panglima, namun kami tidak menemukannya."

"Betul, karena panah menembus kepalanya. Ia gugur di medan pertempuran."

Keterkejutan hadir di pihak Ken Arok. Kematian bukanlah hal yang aneh di medan perang, namun kelompok Ken Arok seperti kehabisan kata -- kata. Seseorang bertubuh kecil dengan wajah seperti musang muncul dari belakang dan bertanya kembali kepada Joko Wangkir.

"Ia gugur, panglima? Wahai dewa, baru saja kami bertemu dan meneguk tuak bersama."

Joko Wangkir diam dan menyaksikan setiap anggota kelompok bandit. Sebagian besar menunduk, menunjukkan raut wajah kecewa. Sebaliknya, Lohgawe berusaha menyembunyikan kekecewaannya dan membujuk sang panglima. Ia memamerkan gigi -- gigi rapinya.

"Wahai panglima, bukankah ia adalah salah satu bawahanmu? Bukankah kalian bekerja bersama? Hadiah darinya bukankah berasal darimu juga?"

Joko Wangkir menggenggam tangannya dan menggebrak lantai, "Aku sama sekali tidak ingin memberikan imbalan bagi kalian, para bandit pasar! Kalian hanya menyusahkan warga saja. Siapa yang tahu kalian berlaku baik kepada para warga? Terlebih, bukan akibat peran kalianlah pertarungan ini dapat dimenangkan, melainkan para dewa! Mereka mengirimkan Dewa Agni untuk meledakkan Gunung Merapi."

 Lohgawe terkejut mendengar jawaban Joko Wangkir. Ia tertunduk lesu dan menghadap Ken Arok yang sedari tadi menatap sang panglima penuh perhatian. Mereka bertukar ujaran, sebelum Ken Arok menghimpun seluruh anak buahnya meninggalkan tempat sang panglima. Joko Wangkir merenung. Di dalam pikirannya, ia merasa kasihan terhadap Ken Arok dan kelompoknya.

"Brahmana," sang panglima berkata lirih, disambut dengan tolehan Lohgawe.

"Kita bicarakan ini nanti, ketika tatanan sudah pulih. Jangan pergi dahulu dari tanah Medang."

Lohgawe dan Ken Arok tersenyum dan memberikan salam kepada sang panglima, sebelum memohon diri. Joko Wangkir menggeleng pelan dan menengadahkan wajahnya ke langit -- langit pendopo istana Medang. Kayu -- kayu penyangga berseberangan di belakang lampu lentera utama ruangan yang memberikan pencahayaan. Ornamen -- ornamen terukir di sisi -- sisi kayu itu, memberikan keindahan dari sisi seni. Beberapa debu berhasil memasuki ruangan, membuatnya tambah temaram. Sang panglima menghela napas panjang -- panjang, sebelum akhirnya ia tidak lagi bisa menahan kantuk yang menguasai.

***

Isak tangis yang meraung -- raung dan teriakan -- teriakan memekakkan telinga membangunkan Joko Wangkir. Ia tidak mengetahui waktu, apakah hari menunjukkan tengah malam atau pagi subuh. Kokokkan ayam pun tidak terdengar. Kepalanya pusing akibat luka -- luka sepanjang pertempuran. Butuh beberapa hitungan baginya untuk memperoleh kesadaran kembali, membuatnya terjaga secara penuh. Ia menyadari bahwa isak tangis dan teriakan -- teriakan tidak hadir di mimpinya, melainkan di kehidupan nyata.

Manusia bergerombol mengelilingi sebuah sudut di ujung ruangan. Ia melihat Ratu Dewi Taradyahwardhani sedang dikelilingi dayang -- dayang yang mengipasinya. Sang ratu terbaring tak sadarkan diri.

Unggun Krama yang berada sampingnya menatap penuh perhatian kepada Joko Wangkir. Ia menggenggam lengan sang panglima.

"Tuan panglima, aku mohon maaf sebelumnya. Tolong jangan lakukan hal yang tidak diinginkan. Kuasai dirimu, wahai panglima."

"Ada apa, Krama?" Perkataan ksatrianya justru membuatnya bertambah gusar. Unggun Krama menundukkan kepala.

"Yang mulia raja menghembuskan napas terakhirnya pagi tadi."

Apa?

Joko Wangkir segera bangun dan berlari menuju tempat pembaringan Samaratungga. Sebuah kain putih menyelubungi dirinya, menyisakan bagian kepala yang terkapar tak bergerak. Kepala itu terbujur kaku, memutih kebiruan. Orang -- orang berkerumun di sisi -- sisinya, membuatnya kesulitan untuk menyaksikan raja. Isak tangis dan teriak -- teriakan semakin kencang, bagaikan siulan burung gagak yang mendapatkan mangsa. Ia tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Seorang raja dengan tekad sekuat besi, berotot baja, kecintaannya yang begitu besar terhadap rakyat, mematung tidak berdaya di hadapannya. Jiwanya telah melayang, meninggalkan raga tanpa nyawa.

Sang panglima menutup mulutnya. Air mata mulai mengalir. Lelucon macam apa lagi yang diberikan dewa hari ini? Bukankah baru kemarin negeri kami diselamatkan oleh kalian, wahai para dewa? Bukankah baru kemarin sang raja bertekad untuk pulih?

Joko Wangkir meninggalkan kerumunan dan melangkah menuju tengah -- tengah ruangan. Badan dan kepalanya masih sakit, namun saat ini ia merasa tidak akan ada yang mampu mengalahkan sakit hatinya. Sang panglima merobek bajunya, meronta, berteriak meraung -- raung. Namun semuanya itu tenggelam di balik dukacita rakyat Medang yang mendalam.

Cerita lebih lengkap dapat disaksikan di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun