"Yang mulia raja menghembuskan napas terakhirnya pagi tadi."
Apa?
Joko Wangkir segera bangun dan berlari menuju tempat pembaringan Samaratungga. Sebuah kain putih menyelubungi dirinya, menyisakan bagian kepala yang terkapar tak bergerak. Kepala itu terbujur kaku, memutih kebiruan. Orang -- orang berkerumun di sisi -- sisinya, membuatnya kesulitan untuk menyaksikan raja. Isak tangis dan teriak -- teriakan semakin kencang, bagaikan siulan burung gagak yang mendapatkan mangsa. Ia tidak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Seorang raja dengan tekad sekuat besi, berotot baja, kecintaannya yang begitu besar terhadap rakyat, mematung tidak berdaya di hadapannya. Jiwanya telah melayang, meninggalkan raga tanpa nyawa.
Sang panglima menutup mulutnya. Air mata mulai mengalir. Lelucon macam apa lagi yang diberikan dewa hari ini? Bukankah baru kemarin negeri kami diselamatkan oleh kalian, wahai para dewa? Bukankah baru kemarin sang raja bertekad untuk pulih?
Joko Wangkir meninggalkan kerumunan dan melangkah menuju tengah -- tengah ruangan. Badan dan kepalanya masih sakit, namun saat ini ia merasa tidak akan ada yang mampu mengalahkan sakit hatinya. Sang panglima merobek bajunya, meronta, berteriak meraung -- raung. Namun semuanya itu tenggelam di balik dukacita rakyat Medang yang mendalam.
Cerita lebih lengkap dapat disaksikan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H