Mohon tunggu...
THEODORUS ELIEZER
THEODORUS ELIEZER Mohon Tunggu... Mahasiswa - Theodorus Eliezer, 121221021, Universitas Dian Nusantara, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Bisnis, Nama dosen Prof. Apollo Daito

Theodorus Eliezer Universitas Dian Nusantara NIM 121221021 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis Mata kuliah Perpajakan Nama dosen: Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rekonsiliasi

17 Juli 2024   09:56 Diperbarui: 17 Juli 2024   10:06 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

THEODORUS ELIEZER 121221021

UNIVERSITAS DIAN NUSANTARA

AKUNTANSI PERPAJAKAN

Nama Dosen: Prof. Dr. Apollo Daito, M. Si. Ak

PPh BADAN

Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan selama satu tahun pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Sebagaimana ketentuan dalam UU PPh, yang dimaksud penghasilan suatu badan atau perusahaan adalah:

"Setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Badan, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan keperluan apapun termasuk misalnya menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan lain sebagainya."

Dasar pengenaan pajak penghasilan badan dikenakan pada subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh badan / perusahaan dan BUT dalam tahun pajak. Bentuk usaha tetap atau BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Ada beberapa peraturan yang berlaku mengenai pajak Badan, antara lain:

  • UU No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 yang telah dicabut dengan PP No. 55/2022 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran Bruto tertentu.
  • UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  • UU No. 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2020 tentang:Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
  • UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  • Peraturan Menteri Keuangan No. 40 Tahun 2023 tentang Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan serta Daftar WP dalam Rangka Pemenuhan Persyaratan Penurunan Tarif PPh bagi WP Dalam Negeri Berbentuk Perseroan Terbuka.
  • Beberapa peraturan turunan dalam PMK, Perdirjen, dan lainnya sebagai regulasi pelaksananya.

Pajak Penghasilan Badan ini terbagi menjadi dua jenis berdasarkan sifatnya, yakni:

A. PPh Badan Final

Pajak Penghasilan atau PPh Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Badan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto tertentu. Beleid ini telah dicabut dengan PP No. 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Sifat penghasilan final yaitu:

  • PPh Final (dibayar sendiri atau dipotong pihak lain) tidak dapat dikreditkan.
  • Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan yang dikenakan PPh final tidak dapat dikurangkan dalam memperhitungkan PPh terutang pada akhir tahun (dalam SPT Tahunan PPh).
  • Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak digabung dalam penghitungan pajak akhir tahun, tapi cukup dilaporkan saja.
  • Merujuk Pasal 4 ayat (2) UU PPh, jenis penghasilan yang dapat dikenai pajak bersifat final di antaranya:
  • - Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga atau diskonto surat berharga jangka pendek yang diperdagangkan di pasar uang, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  • - Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
  • - Penghasilan berupa hadiah undian;
  • - Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
  • - Penghasilan tertentu lainnya, termasuk penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

B. PPh Badan Tidak Final

Pajak Penghasilan atau PPh Tidak Final adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh WP Badan berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 31E UU PPh.

Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Sedangkan bagi Subjek Badan dalam negeri, yang menjadi objek PPh badan adalah semua penghasilan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Penghasilan yang menjadi Objek Pajak Badan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) UU HPP No. 7 Tahun 2021 meliputi:

  • Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
  • Hadiah dari undian pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
  • Laba usaha;
  • Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
  • - Keuntungan karena pengalihan harta sebagai pengganti saham
  • - Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham
  • - Keuntungan karena likuidasi, penggabungan dan sejenisnya
  • - Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibahan, bantuan, atau sumbangan
  • - Keuntungan karena penjualan atau pengalihan Hak
  • Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
  • Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  • Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
  • Royalti atau imbalan atas penggunaan Hak;
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  • Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  • Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
  • Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
  • Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  • Premi asuransi;
  • Iuran yang diterima/diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas;
  • Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
  • Penghasilan dari usaha berbasis Syariah;
  • Imbalan bunga sesuai UU KUP;
  • Surplus Bank Indonesia.

Tarif PPh Badan Terbaru 2024

Sebelumnya, tarif umum pajak penghasilan badan sebesar 28% dari penghasilan kena pajak, yang kemudian diturunkan menjadi 25% mulai 2010, sesuai Pasal 17 ayat (2a) UU PPh No. 38/2008. Kemudian melalui UU No. 2 Tahun 2020 Pasal 5 ayat (1), tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22% yang berlaku mulai Tahun Pajak 2020 dan 2021. Berikutnya melalui UU HPP No. 7/2021, ditetapkan kembali tarif PPh Badan sebesar 22% mulai Tahun Pajak 2022 hingga saat ini.

A. Tarif Khusus untuk Perusahaan Tbk

Berikutnya untuk wajib pajak dalam negeri dan badan usaha tetap yang berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk) diberikan tarif lebih rendah 3% dari tarif PPh Badan normal. Namun ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh WP Badan Perseroan Terbuka untuk memperoleh penurunan tarif. Syarat Perusahaan Tbk mendapatkan penurunan tarif pajak berdasarkan PMK No 40 Tahun 2023 adalah:

  • Jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling rendah 40%.
  • Saham harus dimiliki paling sedikit 300 pihak.
  • Masing-masing dari 300 pihak pemilik saham tersebut harus memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh.
  • Semua persyaratan tersebut harus dipeunhi dalam kurun waktu 183 hari kalender dalam jangka waktu 1 Tahun Pajak.
  • Harus menyampaikan laporan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Jadi, apabila WP Badan Perusahaan Terbuka memenuhi kriteria tersebut, dapat menikmati penurunan tarif PPh Badan menjadi sebesar 19% dari penghasilan kena pajak.

B. Fasilitas PPh Badan 0,5%

WP Badan juga dapat menggunakan tarif pajak penghasilan badan setengah persen dari peredaran bruto, dengan jangka waktu tertentu. Hal ini sebagaimana diatur ditetapkan dalam PP No. 23/2018 yang telah diperbarui dengan PP No. 55 Tahun 2022.

Contoh Hitung Pajak Penghasilan Badan

Pada tahun 2024, dalam laporan keuangan PT AAA memperoleh penghasilan kena pajak sebesar Rp 5.000.000.000 dan dapat memanfaatkan fasilitas pengurang pajak sesuai Pasal 31E.

Maka, pajak yang harus dibayar sebesar: 50% x 22% x Rp 5.000.000.000 = Rp 550.000.000.

Namun, perlu dibuat catatan bahwa selama periode tahun 2024, PT AAA telah menyetor pajak penghasilan karyawan ke kas negara sebesar Rp 50.000.000 dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp 100.000.000.

Maka, pajak penghasilan terutang PT AAA adalah: Rp 550.000.000 -- Rp 50.000.000 -- Rp 100.000.000 = Rp 400.000.000.

Rp 400.000.000 adalah angka yang bisa dicicil oleh PT AAA ke kas negara atas penghasilan Badan Usaha di tahun 2024.

Maka, cicilan pembayaran PPh terutang PT AAA sebesar:

= Jumlah PPh Terutang : 12 bulan

= Rp 400.000.000 : 12

= Rp 33.333.333.

REKONSILIASI FISKAL

Laporan keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus disesuaikan dengan peraturan fiskal ketika laporan keuangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk membuat SPT PPh yang disampaikan ke kantor pajak. Hal ini disebabkan laporan keuangan perusahaan mengacu pada standar akuntansi keuangan (SAK), yang tidak selalu sesuai dengan ketentuan perpajakan.

Secara umum, rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak (WP) karena terdapat perbedaan perhitungan antara laba menurut komersial atau akuntansi dengan laba menurut perpajakan. Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak.

Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu Beda Tetap (Permanent Differences) dan Beda Waktu (Timing Differences). 

Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak. Contohnya sumbangan, entertain (tanpa daftar nominatif), pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan dan penghasilan bunga deposito.

Beda waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak. Contohnya biaya penyusutan, biaya sewa dan pendapatan laba selisih kurs.

Jadi, rekonsiliasi fiskal dapat diartikan sebagai usaha mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial dengan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal yang disusun berdasarkan UU perpajakan.

Proses rekonsiliasi fiskal ini umumnya dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos penghasilan dalam Laporan keuangan Komersial, antara lain:

  • Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh Final.
  • Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
  • WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto.
  • WP menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan pajak.
  • WP mengeluarkan biaya-biaya untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final dan pendapatan yang dikenakan PPh non Final.

Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial atau dengan secara fiskal. Koreksi fiskal dibedakan menjadi 2 yaitu koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Koreksi fiskal positif akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan Koreksi negatif akan menyebabkan laba kena pajak berkurang. Jadi, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal.

Teknik Rekonsiliasi Fiskal:

  • Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
  • Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
  • Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.
  • Jika suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah biaya atau pengeluaran teersebut pada biaya menurut akuntansi yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

CONTOH REKONSILIASI FISKAL

MODUL PROF. APOLLO
MODUL PROF. APOLLO

FORMAT REKONSILIASI FISKAL

MODUL PROF. APOLLO
MODUL PROF. APOLLO

LAPORAN KEUANGAN FISKAL 

Laporan keuangan fiskal merupakan laporan keuangan yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan dan digunakan untuk kepentingan penghitungan pajak seperti PPh dan lainnya. Dasar hukum yang melandasi sebenarnya tidak memiliki peranan khusus atas pembuatan laporan keuangan, adanya undang-undang tersebut hanya sebagai patokan dalam memberikan batasan pada hal-hal tertentu, seperti dalam pengakuan biaya hingga penghasilan. Perbedaan pada pengakuan tersebut dapat menyebabkan munculnya perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal.

Tujuan dari membuat laporan keuangan fiskal guna menyajikan informasi sebagai bahan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, terutama dalam sistem self assessment (wewenang kepada wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya) sebagai bentuk tanggung jawab atas kepercayaan dalam menghitung pajak terutang bagi setiap wajib pajak.

Sifat Dan Keterbatasan Laporan Keuangan Fiskal:

  • Bersifat historis
  • Proses penyusunan tidak lepas dari penggunaan estimasi dan berbagai pertimbangan
  • Lebih mengutamakan bagian material, tanpa mengurangi kelengkapan materi
  • Laporan keuangan fiskal lebih menekankan makna ekonomis setiap transaksinya baik tanpa atau dalam kondisi tertentunya.
  • Memiliki alternatif lain dan cukup berpengaruh pada variasi pengukuran sumber ekonomis serta tingkat kesuksesan antar wajib pajaknya.
  • Informasi yang diberikan kualitatif, sedangkan fakta tidak dapat dikuantifikasikan.

Laporan Fiskal vs Laporan Komersial

Setiap perusahaan pasti memiliki kewajiban dalam menyusun pelaporan keuangan baik secara komersial yang mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan, maupun secara fiskal yang mengacu pada sistem perpajakan di Indonesia. Dari kedua laporan keuangan tersebut memiliki konsep dasar atas :

  • Accrual Basis atau dapat dikatakan pengakuan dan kelangsungan transaksi yang terjadi atau dilaporkan dalam periode tersebut
  • Going Concern atau dapat dikatakan asumsi tentang aktivitas perusahaan dan akan terus terjadi.

Namun, pada laporan keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiskal dengan melakukan koreksi fiskal (sesuai kebutuhan atau disesuaikan dengan peraturan perpajakan). Jika perusahaan atau wajib pajak ingin menyusun laporan keuangan fiskal, maka perlu mempersiapkan langkah-langkah berikut, seperti neraca fiskal, perhitungan laba rugi, penjelasan mengenai laporan keuangan fiskal, rekonsiliasi pada laporan keuangan komersil, hingga pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan pemerintah.

Sedangkan, pada laporan komersial penyusunan tersebut mengacu pada standar akuntansi (SAK) atau berdasarkan standar-standar yang sudah ditetapkan dengan prinsip akuntansi dan bersifat netral atau tidak memihak. Perbedaan di antara keduanya juga terlihat pada beda permanen dan sementara. Hal itu menyebabkan laporan keuangan komersial dan fiskal menjadi tidak sama.

Perbedaan di antara kedua laporan tersebut dapat diketahui berdasarkan beberapa komponen, berikut penjelasannya :

A. Penghasilan dan Pendapatan

Pada komponen ini penghasilan yang dimaksud akuntansi dan perpajakan itu berbeda. Pada komersial dikatakan pendapatan (revenue) dan penghasilan merupakan komponen yang berbeda, tetapi jika mengacu pada fiskal (perpajakan) dikatakan penghasilan sama dengan pendapatan.

Mengutip dari IFRS dalam IAS 18, dimana dijelaskan bahwa pendapatan (revenue) merupakan penghasilan arus masuk bruto atas manfaat ekonominya selama kurun waktu/ periode tertentu. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan dari suatu entitas perusahaan, sehingga menghasilkan peningkatan ekuitas dari para pemilik modal terkait kontribusinya.

Sedangkan, jika dilihat dari UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 perihal Pajak Penghasilan, konsep penghasilan pada laporan keuangan fiskal sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep akuntansi. Konsep tersebut mengatakan bahwa penghasilan merupakan sebuah penambahan kemampuan ekonomi yang diperoleh atau diterima oleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia ataupun luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi hingga menambah kekayaan Wajib Pajak. Konsep tersebut kemudian dipersempit lagi berdasarkan tiga kategori, yaitu:

  • Penghasilan merupakan objek pajak penghasilan.
  • Penghasilan akan dikenakan atas pajak penghasilan (final).
  • Penghasilan yang tidak termasuk objek penghasilan.

Dapat disimpulkan bahwa fiskal menetapkan yang bukan merupakan objek pajak adalah penghasilan yang artinya penghasilan tersebut tidak menyebabkan kenaikan pada laba fiskal.

B. Biaya Atau Beban

Beban pada laporan keuangan komersial diartikan sebagai penurunan daripada manfaat sebuah ekonomi dalam kurun waktu atau periode tertentu, hal ini berupa bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban. Sehingga, terjadi penurunan atas ekuitas yang tidak menyangkut dalam pembagian kepada seluruh penanam modal (IAI, 2007:13) dan arti beban pada komersil tidak bisa disamakan dengan biaya.

Sedangkan, jika dilihat pada laporan keuangan fiskal (perpajakan) beban diartikan sebagai biaya, dan biaya ini menyangkut pada biaya guna keperluan operasional sebuah perusahaan. Hal tersebut dikarenakan biaya dikategorikan sebagai deductible expense atau biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto dan non deductible expense atau biaya yang tidak bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.

C. Perhitungan Persediaan

Metode untuk laporan komersial dilandasi dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) 12;2007, dimana terdapat 3 rumus biaya, yakni FIFO (First In First Out) dimana biaya masuk pertama-keluar pertama, Weigth Average Cost Method dimana rata-rata tertimbang dan terakhir LIFO (Last In First Out-LIFO) dimana masuk terakhir keluar pertama.

Sedangkan, untuk laporan fiskal pada UU Pajak Penghasilan Indonesia, perhitungan pada metode ini hanya diberlakukan menggunakan dua metode, yaitu Weigth Average Cost Method dimana rata-rata tertimbang dan FIFO (First In First Out) dimana biaya masuk pertama-keluar pertama. Untuk metode LIFO tidak diperbolehkan dikarenakan metode tersebut dapat membuat nilai dari pajak terutang menjadi lebih kecil.

D. Penyusutan

Dalam metode ini laporan keuangan komersial memiliki beberapa metode, yaitu :

1. Straight Line Method (Garis Lurus)

Cara ini dapat menghasilkan pembebanan tetap selama umur manfaat suatu umur pada tidak mengalami perubahan pada nilai residunya.

2. Diminishing Balance Method (Garis Menurun)

Perhitungan ini dapat menghasilkan pembebanan menurun selama umur manfaat aset.

3. Sum of The Unit Method (Jumlah Unit)

Merupakan metode terakhir yang perhitungannya dapat menghasilkan pembebanan sesuai dengan penggunaan atau bisa dikatakan output yang diharapkan suatu umur manfaat aset.

Sedangkan, pada laporan keuangan fiskal mengacu pada ketentuan perpajakan berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 pasal perihal Pajak Penghasilan, yang mana metode yang diperbolehkan hanya pada Straight Line Method (Garis Lurus) dan Diminishing Balance Method (Garis Menurun) dan harus dilakukan secara konsisten. Hal ini juga tertulis pada PMK No. 96/PMK.03/2009.

UU HPP Tarif penyusutan untuk Kelompok 2 sesuai Pasal 11 ayat (6)

MODUL PROF. APOLLO
MODUL PROF. APOLLO

Contoh Perhitungan Penyusutan Fiskal

PT AAA adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa pengiriman barang. Dalam laporan keuangan 2024, diketahui nilai perolehan, masa manfaat, nilai buku dan penyusutan harta berwujud yang dimiliki. Contoh penyusutan fiskal dengan metode garis lurus:

Mekari KlikPajak
Mekari KlikPajak

Biaya penyusutan yang dapat dibebankan oleh PT AAA dalam Tahun Pajak 2024:

1. Lemari dokumen

Lemari dokumen merupakan harta berwujud bukan bangunan (Kelompok I). Mempunyai masa manfaat selama 4 tahun, dengan tarif penyusutan 25%.

2. Komputer

Komputer masuk kategori harta berwujud bukan bangunan (Kelompok I). Masa manfaatnya 4 tahun, dengan tarif penyusutan 25%.

3. Kendaraan operasional

Kendaraan operasional merupakan harta berwujud bukan bangunan (Kelompok II). Mempunyai masa manfaat selama 8 tahun, dengan tarif penyusutan 12,5%.

4. Pendingin ruangan kantor

Pendingin ruangan kantor merupakan harta berwujud bukan bangunan (Kelompok II). Masa manfaatnya berlaku selama 4 tahun, dengan tarif penyusutan 12,5%.

5. Gedung tempat usaha

Gedung tempat menjalankan usaha merupakan harta berwujud bangunan permanen. Sehingga mempunyai masa manfaat 20 tahun, dengan tarif penyusutan 5%.

Penghitungan penyusutan harta berwujud PT AAA dalam tahun pajak 2024 secara fiskal sebagai berikut:

Penyusutan tahun pajak 2021 diketahui masa manfaatnya habis di tahun pajak 2024.

1. Lemari Dokumen

Penyusutan tahun pajak 2021 diketahui masa manfaatnya habis di tahun pajak 2024.

= 2/12 x 25% x Rp120.000.000 = Rp5.000.000.

2. Komputer Kantor

Penyusutan tahun pajak 2021 adalah:

= 25% x Rp240.000.000 = Rp60.000.000.

3. Kendaraan Operasional

Penyusutan tahun pajak 2021 adalah:

= 12,5% x Rp640.000.000 = Rp80.000.000.

4. Pendingin Ruangan Kantor

Penyusutan tahun pajak 2021 adalah:

= 12,5% x Rp60.000.000 = Rp7.500.000.

5. Gedung Tempat Usaha

Penyusutan tahun pajak 2021 adalah:

= 5% x Rp2.000.000.000 = Rp100.000.000.

Berdasarkan data di atas, maka rekonsiliasi fiskal atas biaya penyusutan harta berwujud PT AAA seperti berikut:

Mekari KlikPajak
Mekari KlikPajak

SUMBER:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun