Berdasarkan UU PPh, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian terkait kompensasi kerugian fiskal, yaitu:
- Kerugian fiskal sebagaimana dijelaskan dalam UU PPh adalah kerugian berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan DJP atau kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh DJP.
- Jika di kemudian hari berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian yang berdasarkan SPT Tahunan PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal tersebut harus segera direvisi sesuai dengan ketentuan atau prosedur pembetulan SPT sebagaimana dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan.
Kompensasi kerugian fiskal tidak akan berlaku bagi wajib pajak yang seluruh penghasilannya bersifat final atau bukan merupakan objek pajak. Selain itu, kerugian yang diterima dari luar negeri tidak bisa diikutsertakan dalam perhitungan kompensasi kerugian fiskal.
Sebagai contoh perhitungan kompensasi kerugian fiskal disampaikan Laporan Rugi Laba PT A mulai tahun 2016 sampai dengan 2021 adalah sebagai berikut:
Kerugian fiskal tahun pajak 2016 sebesar Rp 500.000.000 dapat dikompensasikan sebagai berikut:
- Tahun pajak 2017 sebesar Rp 150.000.000
- Tahun pajak 2019 sebesar Rp 75.000.000Â
- Tahun pajak 2021 sebesar Rp 200.000.000
Sedangkan sisanya sebesar Rp 75.000.000 (Rp 500.000.000 -- Rp 150.000.000 -- Rp 75.000.000 -- Rp 200.000.000), tidak dapat dikompensasikan karena telah daluwarsa (melebihi 5 tahun).
Perhitungan kompensasi kerugian, sebagaimana ditunjukkan di atas, cukup mudah. Â Jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengubah kompensasi kerugian fiskal dalam SPT Wajib Pajak karena pemeriksaan, akan ada masalah. Misalnya, wajib pajak menyatakan kerugian pada tahun 2021 dan DJP mengkoreksi jumlah kerugian tersebut melalui pemeriksaan. Namun, wajib pajak mempertahankan nilai kerugian tersebut melalui proses keberatan atau banding ke Pengadilan Pajak.
Dalam kondisi ini, ada tiga pilihan bagi wajib pajak, yaitu:
- Pertama, tetap mengkompensasikan kerugiannya di tahun pajak 2022 dengan nilai sesuai SPT.
- Kedua, menyetujui hasil koreksi DJP dengan cara melakukan pembetulan SPT.
- Ketiga, menunggu proses penyelesaian sengketa sampai dengan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pilihan kedua adalah opsi yang paling aman untuk Wajib Pajak, namun akibatnya akan menyebabkan rugi fiskal yang sebelumnya diklaim di SPT bisa lebih kecil, nihil atau bahkan menjadi laba. Pilihan pertama bisa diambil Jika wajib pajak melakukan proses keberatan dan/atau sampai banding, namun jika putusan keberatan/banding sama dengan nilai koreksi Pemeriksa (DJP), maka pajak terutang tahun 2022 akan dikurangi dengan kompensasi kerugian.
Jika pilihan ketiga yang diambil (menunggu sampai dengan in kracht), maka wajib pajak berisiko tidak bisa memanfaatkan kompensasi fiskal di tahun pajak berikutnya. Apalagi, jika proses penyelesaian sengketa yang berlanjut sampai dengan tahap banding akan membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, pasca putusan in kracht, wajib pajak juga harus membetulkan SPT Tahunannya.
Ketika DJP juga melakukan pemeriksaan atas SPT tahunan pada saat wajib pajak melakukan kompensasi kerugian, ini merupakan masalah lain yang sering timbul. Misalnya, selain mengoreksi rugi fiskal di tahun 2021, DJP juga melakukan pemeriksaan dan menerbitkan SKP atas SPT tahunan tahun 2022, sehingga saat sengketa atas koreksi tahun pajak 2021 incracht (mempunyai kekuatan hukum tetap), wajib pajak kesulitan membetulkan SPT tahun pajak 2022 karena secara regulasi WP hanya dapat membetulkan SPT karena adanya rugi fiskal yang berubah, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.