Di jaman Perjanjian Lama perempuan adalah salah satu kaum marjinal dan tidak memiliki hak setara dengan laki-laki kecuali soal hak waris anak perempuan dari orangtua yang tidak mempunyai anak laki-laki (Bil. 27:1-11). Itu pun di dapat dari Tuhan yang memberi keadilan bukan karena kesadaran akan kesetaraan dari pihak manusia.
Di era Perjanjian Baru, rasul Paulus telah menegaskan bahwa di dalam Kristus perempuan haknya setara dengan laki-laki di dalam menerima janji Allah (Gal. 3:26-29), meskipun pemenuhan hak-hak perempuan terlaksana secara bertahap termasuk para budak perempuan yang sekarang telah dijamin hak asasinya secara internasional.
Jika pada masa Perjanjian Lama perempuan "diperbolehkan" untuk dipoligami dengan alasan perlindungan dan keadilan sosial, maka di era Perjanjian Baru dan di masa kini perempuan Kristen beserta hak-haknya telah dilindungi oleh Injil dan Undang-Undang negara sehingga perempuan Kristen harus mendapat perlakuan dan penghormatan yang sama dengan laki-laki termasuk dalam pernikahannya.
Perempuan Kristen masa kini berhak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pangkat, jabatan dalam dunia sekuler. Demikian juga dengan perempuan dalam dunia rohani bahkan boleh menjabat sebagai pendeta atau gembala jemaat yang dulunya hanya dipegang oleh laki-laki. Termasuk soal mencari calon suami, seorang perempuan Kristen berhak untuk memilih yang dinilainya cocok bagi dirinya tanpa harus menunggu dijodohkan oleh orangtuanya.
Sedangkan perempuan yang masuk kategori janda miskin tetapi masih muda, ia masih bisa dibantu melalui bantuan diakonia atau lebih baik ia diberikan pekerjaan misalnya sebagai asisten rumah tangga dan lain sebagainya. Bisa juga diberikan kursus atau pelatihan kerja atau dibantu dengan pinjaman modal tanpa bunga untuk usaha UMKM dan lain-lain.
Janda-janda miskin yang berusia lanjut dan tidak memiliki keluarga dapat dititipkan di panti werdha milik pemerintah atau yayasan sosial swasta lainnya yang tidak memungut bayaran. Dengan demikian, kemiskinan tidak relevan lagi dijadikan alasan untuk berpoligami bagi laki-laki Kristen. Negara telah hadir sebagai pelindung dan jaring sosial bagi kaum perempuan miskin termasuk yang beragama Kristen sesuai amanat Undang-Undang.
Kembali ke firman-Nya Tuhan Yesus dalam Matius 19:4-6. Ayat 5, "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging." Perhatikan, laki-laki (tunggal) bersatu dengan istrinya (tunggal), sehingga keduanya (jamak) menjadi satu daging (tunggal). Firman Tuhan Yesus diulang persis sama oleh Paulus dalam Efesus 5:31 untuk menjelaskan bahwa pernikahan monogami merupakan gambaran hubungan Kristus dengan jemaat-Nya di ayat 32. Dan Paulus menegaskan di ayat 33 bahwa suami harus mengasihi istrinya (tunggal) seperti dirinya sendiri.
Sekarang kita lihat kepada para pemimpin jemaat baik itu penilik, penatua dan diaken. Dalam 1 Timotius 3:2 ditetapkan syarat bagi seorang penilik jemaat, salah satunya adalah suami dari satu istri (tunggal), dan dalam Titus 1:6 ditegaskan syarat bagi penatua jemaat adalah ia mempunyai hanya satu istri (tunggal). Dan di 1 Timotius 3:12 syarat bagi seorang diaken haruslah ia suami dari satu istri (tunggal). Jika para pemimpin ditetapkan pernikahannya monogami, berarti seluruh anggota jemaat haruslah demikian juga.
Demikian pelajaran Alkitab yang kali ini saya sampaikan dengan cukup panjang. Kiranya menjadi berkat bagi Kompasianer sekalian. Tuhan Yesus memberkati, haleluyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H