Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Lukas 17:5-6)
Kompasianer yang terkasih, selama ini banyak orang Kristen yang menggunakan judul hari ini untuk memotivasi diri sendiri atau orang lain ketika mereka terbelit masalah yang sulit teratasi. Iman sebesar biji sesawi dipercaya bisa memindahkan gunung persoalan hidup, bisa terjadinya mujizat dan hal-hal spektakuler lainnya. Benarkah maknanya demikian?
Mari perhatikan satu perikop dari ayat 1-6. Pada ayat 1, Yesus memastikan bahwa penyesatan akan selalu ada, tetapi celakalah orang yang menjadi penyesat itu. Dan seorang penyesat patut dihukum berat karena dampaknya sangat buruk bagi orang-orang yang lemah iman (ayat 2; dalam Matius 18:6-7; Markus 9:42, menunjuk kepada anak-anak kecil).
Batu kilangan digunakan untuk menghukum orang yang sudah menjadi budaya di Timur Tengah dan Yunani kuno. Penggunaan batu kilangan menunjukkan beratnya kesalahan yang dilakukan oleh orang itu. Jadi jelas, bahwa seorang penyesat termasuk dalam kategori kejahatan berat. Dengan demikian, iman sebesar biji sesawi yang dimaksud Yesus jelas bukan soal mujizat!
Pada ayat 3, Yesus mengingatkan agar murid-murid menjaga diri dari penyesatan itu, dan jangan mau disesatkan apalagi menjadi penyesat! Lalu Yesus melanjutkan  dengan memerintahkan para murid agar memperlakukan saudaranya yang berbuat dosa dengan cara: pertama, dengan menegurnya; dan kedua, dengan mengampuninya.
Dan jika ia berbuat dosa sebanyak tujuh kali, maka para murid harus mengampuninya sepanjang ia mengakui dosanya dengan penyesalan (ayat 4). Tujuh kali sehari itu sudah menunjukkan batas kejengkelan. Si pendosa yang dimaksud dalam konteks ini menunjuk kepada saudara seiman yang sesat itu.
Dengan demikian, Yesus sedang mengajarkan murid-murid-Nya tentang pengampunan yaitu:
1. Yesus menghendaki murid-murid-Nya memiliki sikap yang suka mengampuni dan menolong orang yang bersalah dibandingkan dengan sikap membalas dendam dan membenci.
2. Pengampunan dan pemulihan hubungan hanya bisa terjadi ketika orang yang bersalah mengaku dan bertobat dengan sungguh-sungguh. Tetapi, Yesus tidak menunjuk pada kesalahan yang sama yang dilakukan berulang-ulang.
3. Murid-murid harus rela untuk mengampuni apabila orang yang bersalah itu betul-betul bertobat. Pengampunan tujuh kali sehari bukan berarti dosa boleh dilakukan berulang-ulang. Dengan pengampunan, murid-murid dicegah dari pembalasan kejam tanpa batas waktu, namun Yesus mau murid-murid mempunyai sikap yang menolong dan mengampuni.
Pada ayat 5, para rasul meresponi Yesus dengan berkata: "Tambahkanlah iman kami!" Dari teks Yunani, hal itu menunjuk pada bentuk kuantitatif. Jadi, para rasul meskipun selama ini mengikuti Yesus ternyata mereka merasa imannya belum cukup untuk dapat mengampuni orang yang berdosa kepada mereka.
Pada ayat 6, Yesus menjawab mereka dengan menunjuk pada iman yang kualitatif itu seperti biji sesawi yang kecil, tetapi dapat berkata kepada pohon ara yang besar: "Terbantunlah (tercabutlah; KBBI) engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." Artinya, kalau menurut pengertian sendiri hal mengampuni itu sulit, tetapi bisa dilakukan dengan iman; ya, cukup dengan iman! Dengan demikian, mengampuni itu bukan soal iman besar atau kecil, tetapi mau atau tidak mau melakukan apa yang Yesus ajarkan.
Demikian pelajaran Alkitab dan renungan pada hari ini. Sampai jumpa pada tulisan berikutnya, Tuhan Yesus memberkati Kompasianer sekalian. Haleluyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H