Ia kemudian bertobat dan dengan iman ia mengakui dosanya kepada Allah (ayat 18-19, 21). Ia diampuni Allah dan dipulihkan statusnya sebagai anak-Nya dan ia masuk ke dalam persekutuan dengan umat-Nya (ayat 20, 22-24). Bapa yang bersukacita atas anak yang hilang itulah gambaran dari Allah yang bersukacita atas pertobatan orang berdosa yang Yesus katakan dalam perumpamaan tentang domba yang hilang (ayat 7).
III. Anak sulung yang legalistik
Ia marah ketika ada orang berdosa yang bertobat (ayat 26-28). Ia mengklaim telah melayani Allah dan tidak pernah melanggar firman-Nya (ayat 29), tetapi ia merasa tidak dikasihi dan diberkati Allah (ayat 29-30). Ia merasa lebih beriman dan setia kepada Allah dibandingkan dengan orang berdosa yang baru bertobat (ayat 30).
Ia adalah gambaran orang yang tidak mengenal Allah meskipun ia taat beribadah (ayat 29-30). Sesungguhnya, dirinya itulah anak yang terhilang di dalam perspektifnya yang keliru tentang Allah sebagai Bapanya. Dan tidak dijelaskan apakah ia dapat menerima kenyataan atas kasih karunia Allah kepada bangsa-bangsa lain atau tidak.
Dalam perspektif anak bungsu, sang bapa yang dikenalnya adalah pribadi yang murah hati. Dalam penyesalannya ketika ia susah, ia ingat akan bapanya, maka ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Si bungsu masih memiliki pengharapan akan kasih bapanya meskipun ia nantinya hanya akan menjadi hamba dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh bapanya. Dan ternyata ia salah! Sang bapa justru menerimanya kembali di rumah dan tetap mengakuinya sebagai anak yang dikasihinya.
Sebaliknya dengan anak sulung. Dalam perspektifnya, ia menilai bapanya sebagai pribadi yang tidak adil karena menerima adiknya dengan sukacita, bahkan diadakan pesta besar untuk kepulangannya. Ia merasa bapanya tidak mengasihinya karena tidak pernah mengadakan pesta untuknya padahal ia telah bekerja keras untuk bapanya. Ia lupa bahwa warisan 2/3 bagian telah diberikan bapanya sebagai bagian yang tetap dan tidak dapat diganggu gugat. ia gagal memahami pribadi bapa yang mengasihinya.
Pelajaran dari anak bungsu dan anak sulung ialah: pertama, keselamatan itu karena iman, oleh kasih karunia Allah semata, bukan karena giat beragama. Kedua, orang yang telah bertobat harus tunduk kepada Allah, firman-Nya dan Roh Kudus-Nya. Ketiga, jangan iri kepada orang yang baru bertobat, yang kehidupannya cepat diberkati.
Keempat, orang beriman melayani Allah bukan demi upah, tetapi sebagai kesaksian hidup melalui perbuatannya. Kelima, orang beriman harus mengenali kasih Allah dalam hidup orang berdosa. Keenam, orang beriman masih bisa jatuh ke dalam dosa lagi, oleh karena itu ia harus cepat sadar dan bertobat apabila ia telah berbuat dosa. Allah, Bapa, yang kasih setia-Nya kekal, akan mengampuni setiap orang yang mengakui dosanya (1 Yohanes 1:9).
Peringatan: Janganlah kita berlaku seperti anak sulung yang telah menerima kasih karunia Allah, namun tidak senang ketika ada orang berdosa yang bertobat. Dan janganlah kita berlaku seenaknya seperti anak bungsu sebelum ia bertobat, yang menyia-nyiakan kemurahan hati Allah dengan tetap hidup dalam dosa karena berpikir bahwa kita sudah diselamatkan, maka kita bebas melakukan apa saja di luar kehendak dan kebenaran-Nya.
Demikian pelajaran Alkitab dan renungan pada hari ini. Sampai jumpa pada tulisan berikutnya, Tuhan Yesus memberkati Kompasianer sekalian. Haleluyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H