3. Biarlah ia memberikan pipi kepada yang menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan (ayat 30).
Meskipun Tuhan telah mengampuni, namun konsekuensi pendisiplinan dari Tuhan harus kita terima dengan ikhlas sekalipun hal tersebut menyakitkan dan memalukan.
Contohnya pada kasus yang sedang berjalan di pengadilan saat ini, yaitu kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang dibunuh oleh Bharada Eliezer atas perintah Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo. Pada suatu sesi persidangan, Jenderal Sambo meminta maaf kepada keluarga almarhum Brigadir Joshua. Kemudian ia mengatakan kepada Majelis Hakim, bahwa ia telah meminta pengampunan kepada Tuhan atas perbuatannya dan ia percaya Tuhan sudah mengampuninya.
Apa yang disampaikan Jenderal Sambo itu benar, bahwa ketika di dalam penjara ia menyesali perbuatannya dan memohon pengampunan Tuhan, maka ia pun diampuni oleh Tuhan (Yesaya 1:18; 1 Yohanes 1:9). Namun demikian, tetap ada konsekuensi yang harus ia tanggung, yaitu hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati dari vonis hakim. Belum lagi hukuman sosial dari masyarakat yang bukan hanya tertuju kepada dirinya, tetapi juga kepada anak-anak dan keluarga besarnya, serta institusi Polri yang telah dipermalukannya.
Kembali kepada konteks ayat pokok. Kuk yang harus dipikul adalah anugerah karena Tuhan memberikan kesempatan bagi Yehuda untuk bertobat di masa yang sukar selama tujuh puluh tahun itu. Tetapi ada kabar baiknya, bahwa anugerah Tuhan disertai juga dengan belas kasihan-Nya:
1. Karena tidak untuk selama-lamanya TUHAN mengucilkan (ayat 31).
Hukuman Tuhan di Babel ada batasnya, tetapi kasih-Nya kepada umat-Nya untuk selama-lamanya.
2. Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya (ayat 32).
Hukuman Tuhan selalu didasari oleh kebesaran kasih setia-Nya (bandingkan Ayub 5:17; Amsal 3:11-12).
3. Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia (ayat 33).
Hukuman Tuhan bukan untuk membuang umat-Nya untuk selamanya, juga tidak ada dendam di dalam hati-Nya.