Hidup kita mungkin porak poranda gara-gara pandemi Covid 19 yang berkepanjangan, namun ingat, bahwa sebagaimana ada siang dan ada malam yang menunjukkan kuasa pemeliharaan Allah yang sempurna dan tak pernah berubah sebagaimana penciptaan pada mulanya mengenai cakrawala dan isinya di mana bumi belum berbentuk dan kosong yang dikuasai oleh gelap gulita (Kej. 1:1-19), demikianlah Allah sanggup mengubahkan situasi yang kelam ini hanya dengan Ia berfirman dan kita cukup menanggapinya dengan iman (Ibr. 11:3).
Namun demikian, satu hal yang harus kita sadari dan tidak mengingkarinya yaitu bahwa di tengah sikon yang sangat sulit sekarang ini ternyata kita masih bernapas. Ingat saudara, orang terkaya, orang terpintar, orang terhebat, orang terpandang dan sebagainya bisa memiliki segalanya dengan usahanya tanpa Tuhan, tetapi tidak satu pun dari mereka yang dapat membeli napas kehidupan.
Hanya Allah pemilik napas hidup dari segala ciptaan-Nya yang bernapas. Tanpa napas, segala makhluk pasti mati. Jadi, dengan bernapas saja sudah menjadi alasan yang sangat kuat bagi kita untuk memuji dan menyembah Tuhan.
Perhatikan, memuji Tuhan Allah harus dengan kesungguh-sungguhan karena kita sedang memasuki ruang paling sakral yaitu tempat kudus-Nya di mana Dia bersemayam. Itu bukan ruang sembarangan, tempat kudus-Nya hanya diperuntukkan bagi kita yang rindu menjumpai-Nya dalam sukacita puji-pujian meskipun saat itu kita sedang dalam masalah besar.Â
Jadi, ibadah kita yang mengatakan 'haleluya, puji Tuhan' adalah bahasa pengakuan bahwa kita sedang berhadapan dengan Allah yang keperkasaan dan kebesaran-Nya melampaui masalah kita.
Perkataan 'haleluya' menjadi pengakuan kita bahwa napas ini tidak hanya berisi oksigen, tetapi setiap hembusannya menyatakan Allah itu ada bagi kita dan setiap helaan napas itu membuktikan bahwa Allah itu setia bagi kita yang hidup sampai saat ini. Memuji Tuhan dengan iman telah menyatukan kita yang tinggal di rumah dengan Allah yang bertakhta di sorga.
Seruan 'haleluya' di awal dan di akhir mazmur ini menunjukkan bahwa 'haleluya' merupakan bahasa kekekalan yaitu sejak kita menyadari napas hidup berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya; dari dunia yang sementara ini kita memuji Tuhan, maka ketika di sorga kita akan tetap menyerukan 'haleluya' bersama-sama dengan penghuni sorga untuk menyambut Sang Mempelai Gereja yaitu Anak Domba, Tuhan Yesus Kristus (Why. 19:1,3,4,6).
Demikianlah Kompasianer yang terkasih, haleluya adalah bahasa segala yang bernapas. Tetaplah bersyukur karena kita masih bernapas.Â
Memuji Tuhan saja, fokuslah kepada-Nya karena fokus Allah kepada kita saat ini. Jangan takut dan kuatir, sorga sedang turun tangan bagi kita dan keluarga. Selamat beraktivitas, tetap semangat, sampai jumpa di blog berikutnya. Haleluya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H