Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kue Natal dan Memori yang Terus Hidup

15 Desember 2024   09:07 Diperbarui: 15 Desember 2024   13:17 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dekorasi kue Natal  | Image by Daria-Yakovleva from Pixabay 

Lagu-lagu masa Adven bergema lembut dalam ruangan. Pohon Natal dan hiasannya belum dipasang di ruang tamu, namun aroma kue dari tetangga memenuhi rumah, dan membawa kembali memori ke masa lampau.

Seperti majik yang menghadirkan kembali kenangan-kenangan indah di masa kecil, antara aroma kue kering dan aroma arang kayu yang diletakkan pada bagian atas pemanggang kue.

Antara kandang natal sederhana yang dibuat dari lumut, sisa kantong semen yang dicat, dan dahan cemara sebagai pohon Natal, tanpa lampu. Hanya lampion kertas minyak yang tergantung di pintu rumah setengah tembok kami, sesekali berkilau terkena cahaya lampu petromaks.

Kue yang terasa istimewa

Pada era tahun 70an hingga akhir 80an, di kampung Saya, Ruteng Flores, kue kering untuk Natal benar-benar menjadi benda yang sangat istimewa. Untuk menyajikannya pun hanya setahun sekali, itupun kalau ada uang yang disisihkan.

Biasanya mama membuatkan kue ‘taart’, cake yang terbuat dari mentega terbaik dan kuning telur ayam kampung, dibakar di atas kompor yang juga hanya dikeluarkan setahun sekali untuk membuat kue taart.  Sisanya mama memilih masak menggunakan tungku tradisional.

Rumah kami yang biasanya selalu ramai menjelang hari Natal, karena sepupu kami akan tinggal, berkumpul bersama, bahkan hingga tahun baru. 

Biasanya kami akan duduk manis dengan setia di atas tikar yang hangat, menunggu taart buatan mama dikeluarkan dari oven. Tidak sabar menunggu kue keluar dari loyangnya. 

Ketika taart diletakkan di piring, aroma frambozen menyeruak lembut. Sungguh kami tidak sabaran, dan....sebentar kemudian sisa-sisa taart yang menempel di loyang, sudah berpindah ke perut kami. Enak sekali rasanya. 

Sebagai kompensasinya, kami harus mencuci loyang tersebut karena akan dipakai kembali, uhh...padahal airnya sedingin es!

Kue kering jadul yang ikonik

Kue kering saat itu sangat terbatas, kami belum mengenal aneka jenis kue kering seperti saat ini.  Saat itu, kue kering yang tersedia di toples  hanya ada beberapa jenis saja.

Salah satu kue kering andalan mama adalah nastar. Tidak seperti nastar saat ini yang bentuknya imut,  nastar buatan mama sedikt lebih besar dari ukuran tomat cherry. 

Kue kering nastar yang cantik  (Foto: Raihan Habibi/Pixabay)
Kue kering nastar yang cantik  (Foto: Raihan Habibi/Pixabay)

Selai nanas sebagai isian nastar, adalah hasil olahan nanas segar  dari kebun sendiri. Mama selalu membuat selai ini, sebelum membuat nastar dan menyimpannya dalam toples kaca. 

Saya sangat senang ketika diminta untuk mengoleskan kuning telur pada permukaan nastar kami, kemudian menancapkan satu biji cengkeh untuk setiap bulatan yang dibuat. Nastar sekarang tidak menggunakan cengkeh. 

Entah kenapa, perpaduan antara aroma nanas dan cengkeh sangat kental terasa ketika mencicipi nastar dan membuat rasanya jadi berbeda dengan nastar lainnya. 

Mama menyimpan kue kering hasil olahannya dalam kaleng bekas biskuit, dan ditata dalam toples kaca pada hari Natal. Kadang kami iseng mengambil kue kering diam-diam, tanpa sepengetahuan mama. 

Kue semprit jadul, model dan bentuknya sederhana. Berbeda dengan kue semprit jaman sekarang yang sangat bervariasi dan beraneka rasa. Kue semprit jadul, hanya dicetak lurus, sepanjang 5 cm, dengan warna coklat dan putih yang berjejer. Rasanya sangat luarbiasa.  

Satu lagi kue favorit kami yang selalu ditunggu. Kue cicinggo. Kue cicinggo terbuat dari adonan tepung, kacang dan mentega. Adonan ini sedikit berminyak, namun sangat menggoda untuk dicomot. Kue ini bisa dicetak dalam bentuk apa saja, bintang, bulat, segitiga, tergantung selera.

Kue cicinggo relatif lebih mudah ditemukan, dibandingkan dengan kue kering lainnya, tapi tetap saja masa itu menjadi harta yang ditunggu. Perpaduan aroma kacang dan mentega memberi citarasa gurih dan khas.

Mengapa kue kering jadul terasa enak?

Kue kering jadul terasa lebih enak, kata mama saya karena dibuat dari bahan yang terbaik. 

Selain itu, mungkin karena dibuat dengan kasih sayang, seluruh anggota keluarga turut terlibat. Ada yang mengoles kuning telur, ada yang menggilas bahan, menambahkan gula atau mengocok telur secara manual.

 Ini menjadi momen yang berharga bagi keluarga dan menciptakan ikatan yang lebih kuat. 

Kue kering jadul ini adalah perpaduan sempurna antara rasa, tekstur, kenangan dan kesederhanaan yang ada di dalamnya..

Ah, jadi tambah rindu rumah masa kecil kami.

Raknamo-Kupang,  15 Desember 2024

Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun