Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Refleksi Seorang Peneliti Perempuan

9 Desember 2024   23:22 Diperbarui: 11 Desember 2024   03:09 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi survey jentik malaria (Foto: Dokumentasi Pribadi/Theodolfi)

Menjadi seorang perempuan saja sudah hebat. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan keluarga juga jauh lebih hebat. 

Perempuan telah terbiasa melakukan pekerjaan yang sulit dilakukan oleh laki-laki. Hanya perempuan yang bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus. Memasak sambil mengurus anak, atau sambil bersih-bersih. 

Mereka kaya dengan ide-ide cemerlang, ketika menjadi ibu rumah tangga atau saat menjadi wanita karir, semua ada porsinya masing-masing. Wah, luar biasa banget!

Kehebatan perempuan tidak terbatas disitu. Tidak sedikit perempuan yang berani menembus batas untuk mengembangkan diri mereka, salah satunya menjadi peneliti. 

Yeps, menjadi seorang perempuan yang terlibat dalam penelitian bukanlah hal yang baru. Sudah banyak perempuan yang memberi kontribusi besar dalam dunia penelitian.

Sebut saja Dr. Adi Utarini yang terlibat dalam proyek eliminasi demam berdarah menggunakan bakteri Wolbachia, atau Dr. Tri Mumpuni, si Kartini Mikrohidro yang memanfaatkan aliran air kecil di pedesaan untuk menghasilkan listrik, dan masih banyak perempuan hebat lainnya.

Menjadi seorang peneliti perempuan, selalu ada kisah menarik, dan ada drama-drama lain yang mengikuti, yang menjadi penarik atau penghambat dalam perjalanan penelitian itu sendiri.

Dipandang sebelah mata

Dalam dunia kerja seperti penelitian, perempuan kerap dihadapkan pada stereotip yang melekat pada dirinya. Stereotip bahwa perempuan tidak kuat secara fisik, atau lebih lemah daripada laki-laki, menjadi penghambat dalam penelitian lapangan yang menuntut mobilitas yang tinggi. 

Perjalanan penelitian di Alor (Foto: Dokumentasi Pribadi/Theodolfi)
Perjalanan penelitian di Alor (Foto: Dokumentasi Pribadi/Theodolfi)

Perempuan sering tidak dilirik untuk proyek penelitian yang membutuhkan perjalanan menuju wilayah yang jauh dari tempat tinggal atau sulit terjangkau, adanya anggapan bahwa perempuan lebih cocok untuk urusan administrasi, padahal kemampuan yang dimiliki setara dengan laki-laki.

Karena batasan ini, pada akhirnya berdampak pada tidak dipilihnya perempuan sebagai 'leader' dalam sebuah penelitian. Perempuan sering dianggap kurang tegas atau emosional dalam pengambilan keputusan, terlebih karena perempuan adalah makhluk yang mengedepankan rasa daripada logika.

Beban ganda perempuan

Berbeda dengan laki-laki, perempuan sering dihadapkan pada beban ganda yang dimiliki. Sebagai ibu yang harus mengurus urusan rumah tangga sekaligus sebagai peneliti. Kondisi ini akan menguras energi dan mengurangi produktivitas dalam penelitian.

Ilustrasi ibu yang bekerja sambil mengurus anak (Foto : Ketut Subiyanto/Pexels)
Ilustrasi ibu yang bekerja sambil mengurus anak (Foto : Ketut Subiyanto/Pexels)

Pada beberapa kasus, kurangnya dukungan pasangan dan keluarga juga menjadi catatan tersendiri. Tidak sedikit perempuan yang harus membatasi diri karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari orang-orang terdekat mereka. 

Stigma, norma dan budaya yang menghambat

Munculnya stigma dalam masyarakat tertentu terhadap perempuan yang memiliki ambisi untuk selangkah lebih maju dalam dunia penelitian, dianggap melawan kodratnya sebagai ibu dan perempuan. Bukan tidak mungkin hal ini dapat menimbulkan tekanan sosial kepada perempuan itu sendiri.

Adanya aggapan dalam kelompok masyarakat tertentu yang diklaim sebagai norma dan budaya setempat, tentang kepantasan seorang perempuan untuk bepergian atau melakukan pekerjaan di daerah tertentu juga menjadi faktor penghambat yang membatasi gerak perempuan untuk melakukan penelitian secara langsung hingga ke daerah sulit terjangkau. 

Jurnal predator dan tuntutan publikasi

Maraknya kehadiran jurnal predator serta tingginya tuntutan untuk mempublikasikan artikel ilmiah yang berkualitas, juga menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti perempuan.

Bila tidak teliti, maka publikasi di jurnal predator akan menimbulkan banyak kerugian. Selain kerugian akademik karena dinilai tidak valid, juga menimbulkan kerugian finansial akibat membayar sejumlah uang untuk kemudahan publikasi.

Parahnya lagi akan berdampak pada hilangnya rasa percaya diri yang berakibat pada menurunnya motivasi atau gairah untuk melakukan penelitian kembali. 

Mari beri ruang pada perempuan untuk menjadi diri mereka sendiri. Jangan jadikan fisiknya sebagai pembatas gerak mereka, tapi lihatlah potensi yang ada dalam diri mereka. Biarkan mereka bersinar dan memberi kekuatan baru bagi dunia!

Kupang, 9 Desember 2024

Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun