Setiap langkah adalah bagian dari perjalanan mencari jati diri dan kebahagiaan sejati, untuk melukiskan pemandangan terindah dalam jiwa (theodolfi)
Ini adalah perjalanan Saya yang ketiga kalinya menuju danau tiga warna, Kelimutu. Setiap perjalanan, sudah pasti punya cerita yang berbeda, karena teman perjalanan pun berbeda.Â
Jam lima lebih tiga puluh menit di pagi hari, kami akhirnya meluncur di jalanan dari Ende menuju Danau Kelimutu. Om Berto mengantar kami penuh semangat. Cukup terlambat untuk menyaksikan sunrise, tapi tidak mengapa. Toh, Saya sudah pernah menyaksikan matahari terbit pada perjalanan sebelumnya.
Lagipula pemandangan pagi hari yang segar sepanjang perjalanan menuju Kelimutu benar-benar menyejukkan hati. Jalan lintas Flores yang mulus itu menyuguhkan pemandangan indah selama kurang lebih satu setengah jam.Â
Setelah sampai di Moni, perjalanan menjadi menanjak dan berliku. Harus hati-hati dan tetap waspada dalam perjalanan. Beberapa papan peringatan rawan longsor berderet sepanjang jalan menuju kawasan Danau Kelimutu.Â
Kami tiba di gerbang masuk kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK) jam 6.45 pagi. Kami masuk kawasan setelah membayar karcis masuk, Rp 7.500 per orang dan Rp 10.000 untuk kendaraan roda empat.
Pada loket karcis, tertera beberapa peraturan yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan juga bahasa Inggris. Diantaranya adalah untuk tidak memberi makan monyet yang ada di TNK dan tidak membuang sampah sembarangan.Â
Mobil kemudian diparkir di tempat parkir yang tersedia. Pada sisi sebelah kanan, terdapat lapak penjual yang menyajikan makanan maupun tenunan warga lokal.Â
Mama-mama dari daerah Moni maupun desa penyangga lainnya, menawarkan lembaran tenunan yang cantik. Tenunan yang pada perjalanan Saya sebelumnya dijual di Puncak Danau Kelimutu, telah ditertibkan dan disediakan tempat khusus untuk itu di area parkir.Â
Zona kawasan di Taman Nasional Kelimutu
Kawasan TNK sendiri memiliki luas lebih dari 5 Ha, dan terbagi menjadi enam zona penting yaitu zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, zona rehabilitasi, zona budaya dan zona khusus.
Zona budaya merupakan situs-situs budaya Masyarakat Adat Suku Lio dalam kawasan TNK; dan zona khusus berupa akses jalan yang melintasi TNK bagi masyarakat sekitar. Danau Kelimutu sendiri termasuk dalam zona inti kawasan ini.
Pembagian kawasan dalam berbagai zona ini memudahkan pengelola untuk lebih fokus pada area tertentu. Selain untuk tujuan konservasi dan perlindungan ekosistem, rehabilitasi maupun pembatasan akses untuk menjaga kemananan, juga untuk kepentingan pendidikan maupun penelitian.
Kawasan TNK ini selain dibagi menjadi beberapa zona, juga didukung oleh kawasan penyangga di sekitarnya. Ada lima kecamatan yang menjadi penyangga kawasan TNK yaitu Kecamatan Wolojita, Kelimutu, Ndona, Ndona Timur, dan Kecamatan Detusoko. Kehadiran kawasan penyangga ini turut mendukung pengelolaan dan pelestarian TNK.
Fauna endemik
Perjalanan pagi itu dari tempat parkir menuju Danau Kelimutu, diselingi dengan suara burung yang indah. Saya benar-benar menikmatinya. Matahari pagi yang menyehatkan, menyembul diantara pepohonan.Â
Kawasan TNK memang kaya akan berbagai jenis burung, baik itu jenis pemangsa, pemakan biji-bijian, pemakan serangga, maupun burung penghisap madu. Data Balai TNK menyebutkan bahwa kawasan ini juga menjadi rumah bagi burung pemangsa paling terancam punah di dunia, Elang Flores (Nisaetus floris).Â
Terdapat tiga jenis mamalia yang merupakan hewan endemik Flores yang juga ada di sini, yaitu Tikus lawo (Rattus hainaldi ), Deke (Papagomys armandvillei) dan dan babi hutan Flores/wawi ndua (Sus heureni ).
Beberapa hewan endemik yang terancam punah lainnya adalah Tikus lawo dan Otomop alor (Otomops johnstonei).Â
Arboretum dan koleksi floraÂ
Menyusuri lintasan menuju puncak Danau Kelimutu, Saya menemukan beberapa kotak batu yang ditutupi kaca, berisi informasi tentang flora dalam kawasan TNK.Â
Pada pintu masuk tempat parkir pun sudah ada papan penunjuk bertuliskan Arboretum. Arboretum menurut KBBI adalah tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.
 Artinya, di kawasan ini menyediakan perpustakaan alam yang terbuka bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih banyak tentang flora yang ada.
Tidaklah mengherankan. Kawasan ini memiliki 100 jenis pohon di dalamnya yang tergabung dalam 41 suku dan didominasi oleh Euphorbiaceae (pohon jarak, pohon karet dan kastuba), Moraceae (pohon ara, sukun) dan Lauraceae (kayu manis, daun salam, alpukat) dan lainnya.
Tumbuhan yang hidup dalam kawasan ini menjadi sumber belajar terbaik, tidak saja berbentuk pepohonan, namun juga tanaman perdu maupun semak. Bunga edelweis maupun cemara gunung juga bisa dilihat di kawasan ini.Â
Uta onga (Begonia kelimutuensis), salah satu jenis flora endemik Kelimutu serta satu ekosistem spesifik Kelimutu, Ekosistem Vaccinium dan Rhododendron (EkosVR) ada di tempat ini.Â
Namun, kita juga perlu ekstra hati-hati dan menjaga ekosistem yang ada, mengingat kawasan ini menjadi habitat bagi dua jenis flora yang diwaspadai status kelangkaannya yaitu Jita/Pulai (Alstonia scholaris ) dan Upe/Ketimun (Timonius timon).Â
Sayangnya, Saya tidak punya cukup waktu untuk berlama-lama di sana. Perut sudah mulai sulit diajak kompromi. Kami segera menuju tempat parkir. Aroma mie dari warung lokal menambah penderitaan perut ini.
Kami harus menahan kuat-kuat rasa lapar ini. Om Berto berkeras menawarkan untuk singgah sebentar ke rumah tantanya di Moni. Sekaligus mengantarkan beras pada keluarganya yang mengalami kedukaan.
Benar saja, tidak berapa lama setelah kami menunggu, kopi Sokoria yang nikmat terhidang di meja di depan kami. Sebentar kemudian, semangkuk sayur labu jepang yang baru dipetik dari kebun, menghadirkan aroma yang bikin ketagihan.Â
Disampingnya, potongan ayam kampung yang digoreng benar-benar membuat kami bertiga tak bisa menahan diri lagi. Suapan demi suapan terus berlalu. Mamayoooo....Sayur labunya memang tiada duanya.Â
Akhirnya kami berpamitan, dan segera balik ke Ende sambil mengantongi ubi kayu khas dari Moni yang rasanya lembut dan lumer di mulut. Berharap suatu saat, bisa kembali lagi ke sini dengan cerita yang berbeda.
Datanya dari sini
Kupang, 19 Juli 2024
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H