Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Arboretum, Perpustakaan Alam di Taman Nasional Kelimutu

19 Juli 2024   04:50 Diperbarui: 19 Juli 2024   13:07 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elang Flores (sumber gambar : Balai TNK/www.kelimutu.id)

Setiap langkah adalah bagian dari perjalanan mencari jati diri dan kebahagiaan sejati, untuk melukiskan pemandangan terindah dalam jiwa (theodolfi)

Ini adalah perjalanan Saya yang ketiga kalinya menuju danau tiga warna, Kelimutu. Setiap perjalanan, sudah pasti punya cerita yang berbeda, karena teman perjalanan pun berbeda. 

Jam lima lebih tiga puluh menit di pagi hari, kami akhirnya meluncur di jalanan dari Ende menuju Danau Kelimutu. Om Berto mengantar kami penuh semangat. Cukup terlambat untuk menyaksikan sunrise, tapi tidak mengapa. Toh, Saya sudah pernah menyaksikan matahari terbit pada perjalanan sebelumnya.

Pemandangan menuju Danau Kelimutu (Foto : Theodolfi)
Pemandangan menuju Danau Kelimutu (Foto : Theodolfi)

Lagipula pemandangan pagi hari yang segar sepanjang perjalanan menuju Kelimutu benar-benar menyejukkan hati. Jalan lintas Flores yang mulus itu menyuguhkan pemandangan indah selama kurang lebih satu setengah jam. 

Setelah sampai di Moni, perjalanan menjadi menanjak dan berliku. Harus hati-hati dan tetap waspada dalam perjalanan. Beberapa papan peringatan rawan longsor berderet sepanjang jalan menuju kawasan Danau Kelimutu. 

Kami tiba di gerbang masuk kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK) jam 6.45 pagi. Kami masuk kawasan setelah membayar karcis masuk, Rp 7.500 per orang dan Rp 10.000 untuk kendaraan roda empat.

Pada loket karcis, tertera beberapa peraturan yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan juga bahasa Inggris. Diantaranya adalah untuk tidak memberi makan monyet yang ada di TNK dan tidak membuang sampah sembarangan. 

Mobil kemudian diparkir di tempat parkir yang tersedia. Pada sisi sebelah kanan, terdapat lapak penjual yang menyajikan makanan maupun tenunan warga lokal. 

Lembaran tenunan Kabupaten Ende yang menawan (Foto : Theodolfi)
Lembaran tenunan Kabupaten Ende yang menawan (Foto : Theodolfi)

Mama-mama dari daerah Moni maupun desa penyangga lainnya, menawarkan lembaran tenunan yang cantik. Tenunan yang pada perjalanan Saya sebelumnya dijual di Puncak Danau Kelimutu, telah ditertibkan dan disediakan tempat khusus untuk itu di area parkir. 

Zona kawasan di Taman Nasional Kelimutu

Kawasan TNK sendiri memiliki luas lebih dari 5 Ha, dan terbagi menjadi enam zona penting yaitu zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, zona rehabilitasi, zona budaya dan zona khusus.

Zona budaya merupakan situs-situs budaya Masyarakat Adat Suku Lio dalam kawasan TNK; dan zona khusus berupa akses jalan yang melintasi TNK bagi masyarakat sekitar. Danau Kelimutu sendiri termasuk dalam zona inti kawasan ini.

Danau Kelimutu (Foto : Theodolfi)
Danau Kelimutu (Foto : Theodolfi)

Pembagian kawasan dalam berbagai zona ini memudahkan pengelola untuk lebih fokus pada area tertentu. Selain untuk tujuan konservasi dan perlindungan ekosistem, rehabilitasi maupun pembatasan akses untuk menjaga kemananan, juga untuk kepentingan pendidikan maupun penelitian.

Kawasan TNK ini selain dibagi menjadi beberapa zona, juga didukung oleh kawasan penyangga di sekitarnya. Ada lima kecamatan yang menjadi penyangga kawasan TNK yaitu Kecamatan Wolojita, Kelimutu, Ndona, Ndona Timur, dan Kecamatan Detusoko. Kehadiran kawasan penyangga ini turut mendukung pengelolaan dan pelestarian TNK.

Fauna endemik

Perjalanan pagi itu dari tempat parkir menuju Danau Kelimutu, diselingi dengan suara burung yang indah. Saya benar-benar menikmatinya. Matahari pagi yang menyehatkan, menyembul diantara pepohonan. 

Kawasan TNK memang kaya akan berbagai jenis burung, baik itu jenis pemangsa, pemakan biji-bijian, pemakan serangga, maupun burung penghisap madu. Data Balai TNK menyebutkan bahwa kawasan ini juga menjadi rumah bagi burung pemangsa paling terancam punah di dunia, Elang Flores (Nisaetus floris). 

Elang Flores (sumber gambar : Balai TNK/www.kelimutu.id)
Elang Flores (sumber gambar : Balai TNK/www.kelimutu.id)

Terdapat tiga jenis mamalia yang merupakan hewan endemik Flores yang juga ada di sini, yaitu Tikus lawo (Rattus hainaldi ), Deke (Papagomys armandvillei) dan dan babi hutan Flores/wawi ndua (Sus heureni ).

Beberapa hewan endemik yang terancam punah lainnya adalah Tikus lawo dan Otomop alor (Otomops johnstonei). 

Arboretum dan koleksi flora 

Menyusuri lintasan menuju puncak Danau Kelimutu, Saya menemukan beberapa kotak batu yang ditutupi kaca, berisi informasi tentang flora dalam kawasan TNK. 

Pada pintu masuk tempat parkir pun sudah ada papan penunjuk bertuliskan Arboretum. Arboretum menurut KBBI adalah tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.

Flora dalam kawasan TNK (Foto : Theodolfi)
Flora dalam kawasan TNK (Foto : Theodolfi)

 Artinya, di kawasan ini menyediakan perpustakaan alam yang terbuka bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih banyak tentang flora yang ada.

Tidaklah mengherankan. Kawasan ini memiliki 100 jenis pohon di dalamnya yang tergabung dalam 41 suku dan didominasi oleh Euphorbiaceae (pohon jarak, pohon karet dan kastuba), Moraceae (pohon ara, sukun) dan Lauraceae (kayu manis, daun salam, alpukat) dan lainnya.

Tumbuhan yang hidup dalam kawasan ini menjadi sumber belajar terbaik, tidak saja berbentuk pepohonan, namun juga tanaman perdu maupun semak. Bunga edelweis maupun cemara gunung juga bisa dilihat di kawasan ini. 

Foto : Theodolfi
Foto : Theodolfi

Uta onga (Begonia kelimutuensis), salah satu jenis flora endemik Kelimutu serta satu ekosistem spesifik Kelimutu, Ekosistem Vaccinium dan Rhododendron (EkosVR) ada di tempat ini. 

Namun, kita juga perlu ekstra hati-hati dan menjaga ekosistem yang ada, mengingat kawasan ini menjadi habitat bagi dua jenis flora yang diwaspadai status kelangkaannya yaitu Jita/Pulai (Alstonia scholaris ) dan Upe/Ketimun (Timonius timon). 

Sayangnya, Saya tidak punya cukup waktu untuk berlama-lama di sana. Perut sudah mulai sulit diajak kompromi. Kami segera menuju tempat parkir. Aroma mie dari warung lokal menambah penderitaan perut ini.

Kami harus menahan kuat-kuat rasa lapar ini. Om Berto berkeras menawarkan untuk singgah sebentar ke rumah tantanya di Moni. Sekaligus mengantarkan beras pada keluarganya yang mengalami kedukaan.

Sayur labu, ayam goreng dan sambal hijau (Foto : Theodolfi)
Sayur labu, ayam goreng dan sambal hijau (Foto : Theodolfi)

Benar saja, tidak berapa lama setelah kami menunggu, kopi Sokoria yang nikmat terhidang di meja di depan kami. Sebentar kemudian, semangkuk sayur labu jepang yang baru dipetik dari kebun, menghadirkan aroma yang bikin ketagihan. 

Disampingnya, potongan ayam kampung yang digoreng benar-benar membuat kami bertiga tak bisa menahan diri lagi. Suapan demi suapan terus berlalu. Mamayoooo....Sayur labunya memang tiada duanya. 

Akhirnya kami berpamitan, dan segera balik ke Ende sambil mengantongi ubi kayu khas dari Moni yang rasanya lembut dan lumer di mulut. Berharap suatu saat, bisa kembali lagi ke sini dengan cerita yang berbeda.

Datanya dari sini

Kupang, 19 Juli 2024

Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun