"Penerbangan dengan nomor XX1234 dari Tambolaka menuju Kupang ditunda karena alasan operasional hingga pukul 12 waktu setempat. Kami mohon maaf atas keterlambatan ini".Â
 Suara petugas bandara terdengar dari pengeras suara, setelah kami menunggu dua setengah jam di ruang tunggu bandara.Â
Beberapa penumpang menggerutu, menanyakan kompensasi yang ditawarkan oleh maskapai selama masa tunggu yang cukup lama, kurang lebih hampir lima jam. Â Â
Rasanya kesal juga sih sebenarnya, menunggu selama itu di bandara. Saya tidak berani kemana-mana. Mau menyusuri pantai wisata di SBD, tapi kok takut waktunya tidak cukup, karena jaraknya lumayan jauh. Akhirnya keputusan untuk menunggu adalah pilihan yang paling tepat saat itu.
Kondisi ruang tunggu yang tidak terlalu dingin, membuat Saya memilih untuk menyusuri etalase di dalam ruang tunggu. Ngobrol dengan para penjaga etalase dan juga pemilik etalase sambil menyesap  kopi Sumba yang nikmat.
Beberapa etalase menawarkan produk lokal yang khas. Beberapa lainnya menjual makanan khas SBD, kacang mete, kue pia serta minuman seperti kopi maupun teh juga telur rebus.Â
Yungga, alat musik nan unik
Saya berhenti pada sebuah etalase yang menarik. Membuka obrolan dengan pemilik etalase. Sebut saja Pak Sipri. Cerita pun mengalir dari mulut seorang mantan guru yang akhirnya memutuskan untuk fokus pada penjualan tenun beserta pernak-pernik pelengkapnya.
Pandangan Saya terhenti pada sebuah alat musik yang unik. Sekilas mirip Sape, alat musik khas dari Kalimantan. Dua buah alat musik yang dipajang di etalase Pak Sipri, Â memiliki bentuk yang berbeda.Â
Kayunya diukir dengan ukiran Sumba. Salah satunya memiliki bentuk rumah adat Sumba. Alat musik ini diberi nama Yungga, dan dimainkan dengan cara dipetik.
Jumlah senar yang ada pada alat musik Yungga berjumlah empat buah yang dilengkapi dengan kayu untuk menyetel nada yang tepat pada bagian ujungnya.Â
Pemilik etalase berbaik hati untuk membunyikan nada pada alat musik itu. Bunyinya sama seperti alat musik petik lainnya. Saya menikmati alunan musik  indah yang mengalir dari Yungga, meskipun cuma sesaat.
Pernak-pernik imut yang wadidaw
Pulau Sumba memang selalu memiliki kekhasan tertentu pada benda yang bernilai seni. Rasa tertarik Saya pada deretan benda yang terbuat dari bambu dengan tutupan kayu membangkitkan rasa penasaran Saya. Â
Penutup bambu dari kayu tersebut dibuat menyerupai bentuk kepala manusia. Sekeliling bambu dibuat motif yang cantik dan berbeda antara satu dengan lainnya. Bila diperhatikan, seperti seseorang yang sedang  mengenakan sarung tenun.Â
Bambu dengan panjang 30 cm dengan tutup kepala dari kayu berbentuk manusia itu disebut Tandikap. Oleh masyarakat setempat, tandikap digunakan sebagai tempat untuk menyimpan kapur untuk sirih.
Saat ini, keberadaan tandikap sudah semakin berkurang. Tandikap umumnya digunakan oleh generasi yang lebih tua, sedangkan generasi yang lebih muda, cenderung menggantikannya dengan alat-alat yang terbuat dari plastik serta material lainnya.Â
Tidak semua tempat di Sumba memiliki tandikap. Pak Sipri sendiri mengakui bahwa tandikap yang ada, diperoleh dari kampung adat Ratenggaro.Â
Selain tandikap, etalase Pak Sipri juga diramaikan oleh manisnya pernak-pernik seperti patung kayu. Diantaranya adalah tanduk rumah.
Tanduk rumah adalah benda yang menyerupai kepala dan biasanya digunakan pada bubungan atap rumah adat di Sumba. Tanduk rumah pada atap, biasanya sepasang, sebagai simbol laki-laki dan perempuan dan saling berhadapan.
Mata jeli Saya juga menangkap deretan pernak-pernik pemanis kepala. Sisir sirkam berukuran cukup besar terbuat dari tulang ikan hiu.
Sisir sirkam ini biasanya digunakan sebagai hiasan kepala perempuan yang digunakan pada acara adat tertentu. Selain sisir sirkam, ada juga tulang ikan hiu yang dibentuk menyerupai stik atau tongkat ramping dengan ujung yang agak runcing dan disisipkan pada rambut.Â
Masih banyak pernak pernik unik lainnya yang menjadi pemanis etalase. Semanis harganya juga. Kalung terbuat dari batu, hiasan mamuli (lambang kesuburan wanita) terbuat dari bahan imitasi dan tas anyaman pandan yang diberi tali selendang Sumba.
Cantiknya tenunan berbahan kapas
 Kalau sedang berkunjung ke Sumba, pastikan kantong celana terisi penuh. Tenunan cantiknya, tanpa terasa, bisa menguras isi kantong dalam sekejap.Â
Lihat sana, tengok sini, harus kuat iman. Agar tidak tergoda dengan motif dan corak yang menari-nari di depan mata. Saya pun sering pulang dengan kekalahan kantong yang mendalam.Â
Untuk selembar selendang tenun yang agak lebar, harganya bisa lima atau enam angka nol. Apalagi kalau bahan yang dipakai adalah bahan alami, dari kapas atau menggunakan pewarna alam, harganya bisa lebih dari itu.
Untuk tenunan yang terbuat dari kapas, waktu pembuatannya relatif lebih lama karena harus memintal benang terlebih dahulu, merendamnya dalam bahan pewarna alami, baru bisa menenun berdasarkan motif yang dibuat. Tidak mengherankan bila harganya bisa seperti itu.
Pak Sipri bercerita bahwa pembeli paling banyak biasanya  turis asing. Mereka bisa membeli tenun dari bahan alam,  tanpa menawar. Namun ada juga turis domestik dari Jakarta yang memborong tenunan hingga puluhan juta dalam sekejap. Waaaahh....
 Dari kejauhan, Saya melihat dua orang pramugari dengan seragam berwarna merah cerah bersama pilot dan co pilot, melintas menuju lokasi parkir pesawat.
Saya pun pamit dari hadapan Pak Sipri setelah membayar secangkir kopi dan kue pia untuk dibawa pulang. Kali ini, iman Saya lebih kuat. Kantong celana Saya tidak ingin bolong lagi.
Kupang, 29 November 2023
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H