Aku
Aku, seperti hari kemarin, masih berdiri di sini, di ujung persimpangan. Â Sesak di dadaku belumlah sirna, meski kudengar ada namaku disebut dalam doamu.
Katamu, aku selalu penuh semangat. Impianku penuh seperti cahaya bulan yang memenuhi lingkaran harapan.
Aku, tertawa riang. Seperti matahari pagi yang memberi kehangatan  dan mempengaruhi dunia di sekelilingku. Begitu katamu. Lalu ketika aku menuliskan kata-kata manis yang kulukiskan di dinding semesta, kamu pun hanya tertawa.Â
Aku, sedikit kekanakan. Sedikit tidak peduli, namun selalu ingin dimanja. Katamu aku egois. Namun seberapa pun jauh aku melangkah pergi, aku tidak pernah benar-benar pergi.Â
Aku selalu menunggu pelukanmu yang hangat dan menenangkan.
Kamu
Kamu, teguh dan penuh dedikasi. Tegas dan tidak pernah ragu mengambil keputusan.Â
 Memiliki ambisi besar dan tak pernah ragu mengejar mimpimu. Dalam perjalananmu mencapai sukses, tak urung kamu melupakan arti dari cinta.Â
Kamu terlampau takut jika cinta akan menghalangi ambisimu dan menjadikanmu lemah. Kamu, kerap melihatku dari kejauhan, tapi tak pernah berani mendekat.
Kali ini kamu menyapa, .........bukan, kamu hanya terdiam, lebih tepatnya. Â Padahal aku menangkap riuhnya isi kepala, terhimpitnya rongga dada yang sisa sesaknya membuatmu megap.Â
Ah, kamu ternyata tidak baik baik saja.
Kupikir, ada jutaaan aksara tambahan di akhir terdiamnya dirimu. Mungkin saja bergantian megapnya berpindah ke diriku. Pun riuhnya menjadi tenang.Â
Harapku terlampau tinggi. Kamu hanya terdiam seribu bahasa dan  berlalu secepat itu.
Kita
Kita, melintasi jalur yang hampir bertemu, tapi selalu saja berpaling sebelum saling berhadapan. Kita, saling merasakan kehadiran satu sama lain, namun tidak pernah benar-benar bertemu.
Kita, melangkah ke ujung jalan yang hampir bertemu. Merasa ada yang hilang. Â Ada rasa ingin tahu yang tak pernah reda, pun rasa takut yang menghentikan langkah.
Kita, sering berpapasan, namun seperti terbatas dinding  yang menghalangi. Kita, duduk berdampingan, berbagi cerita, dan memahami satu sama lain dengan lebih baik. Seperti kumpulan puzzle yang akhirnya bersatu menjadi satu gambar utuh.
Mengapa pergi?
Kita, kamu dan aku, ingin mengakhiri masa lalu. Ingin membebat lukanya yang masih tersisa.
Nyeri.
Mencoba memulai kisah baru bersama. Â Memulai sebuah petualangan yang tak terduga. Â Mengisi kekosongan yang tak terdefinisikan.
Menggengam rindu yang tak berujung, Â melewati perjalanan yang tak selalu rata. Kadang terhempas dalam lara yang pedih. Dalam sejuta tanya yang tidak terjawab.
Mengapa  memilih untuk pergi?
Aku masih di sini. Di persimpangan jalan. Menunggumu memelukku.
Tulisan kolaborasi Ragu Theodolfi dan Ummi Kaltsum
Kupang, 6 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H