Menelusuri kembali Jogjakarta. Kota yang penuh kenangan. "Jogja terbuat dari rindu", katanya. Â Memanggil pulang semua kenangan dalam rasa yang penuh haru. Â
Seperti mimpi rasanya, bisa merasakan kembali sensasi musik jalanan di Jogja yang menggetarkan kalbu. Bersyukur, saat ini  dapat menikmati kembali suasana yang mengantarku sampai ke titik ini, setelah melewati pandemi Covid yang panjang dan meresahkan.
Bagi mereka yang pernah berkencan dengan kota ini, pasti akan sepakat. Ada 'sesuatu' yang selalu membawa  kembali ke sini, seakan terus terhubung. "Jogja itu, ibarat pacar. Ditinggal,  kok ngangenin." Aiiihh...
Mungkinkah gudeg manisnya yang manis, semanis kenangan di dalamnya? Â Mungkin pula angkringan yang selalu nangkring dengan setia menunggu mereka yang ingin mengisi perut, meski dengan isi kantong terbatas. Â Entahlah.
Banyak perubahan
Sebagai seseorang yang pernah berada di kota ini selama dua tahun, tentu sangat merasakan perbedaan yang besar kali ini.
Melintasi Jalan Solo menuju pusat kota, Â lampu hias yang indah dan bangku taman seolah menawarkan kehangatan dalam perjalanan. Â
Deretan pedagang kaki lima yang dulunya memenuhi trotoar sepanjang RS Bethesda hingga perempatan Gramedia, kini berganti dengan area bagi pejalan kaki yang tertata rapi. Â
Pejalan kaki kini mendapatkan ruang yang cukup luas dan nyaman untuk melintas di sana. Bangku taman dan lampu hias berderet indah sepanjang jalan.
Memasuki kawasan Malioboro, pemandangan berbeda dari biasanya, terpampang nyata. Emperan toko yang sebelumnya digunakan pedagang untuk memajang barang dagangannya, kini telah lengang. Bersih. Wajah toko yang dulunya tertutup, sekarang terlihat jelas dari seberang jalan.